Bricana masih tidak mengerti mengenai keterkaitan Theodore dan tiga orang ini, pria itu juga tidak terlihat ingin menjelaskan sesuatu. Jadi ia hanya diam saja sampai ketika kereta rusa yang membawanya berhenti disebuah lorong panjang nan gelap, awalnya ia ragu untuk berhenti di sana jika bukan Theodore yang memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jangan takut, keselamatanmu tanggung jawab saya.” Baru setelah Theodore berkata demikian Bricana menganggukkan kepala setuju untuk turun.
Tiga orang yang menumpangi kereta serigala berjalan mendahului di depan, mereka masuk ke dalam lorong itu dengan santainya. Sementara Theodore memegang tangan gadis itu untuk memberi kekuatan sekaligus menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Pemandangan yang mengejutkan mampu membuat mata Bricana kagum sekaligus mendecakkan lidah. Di sana ia melihat bahwa lorong panjang ini tidak gelap sama sekali, justru semakin ke dalam maka semakin terang karena adanya obor yang menyala disetiap dinding berbatu.
Namun, satu hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sepanjang jalan lorong ini, pinggiran kanan dan kiri dipenuhi oleh orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran, mata mereka menelisik hingga tajam nan dalam. Oleh sebab itu refleks dirinya memberingsut makin menempel pada sang pelatih, begitu tahu bahwa Bricana tidak nyaman dengan suasana ini, Theodore sigap merangkul pundak gadis itu untuk melindunginya.
“Abaikan saja, tetap berjalan tanpa memerhatikan sekitar.” Bisikan dari Theodore setidaknya mampu membuat Bricana tenang, sedikit tapi cukup untuk membuatnya tak lagi kaku.
“Coach, sebenarnya mereka siapa dan kita dibawa ke mana?” Setelah sejak perjalanan tadi diam, kini Bricana mulai ingin tahu ke mana mereka akan dibawa.
“Ini adalah pemukiman Eleftheros,” jawab Theodore dengan singkat. Bukan apa-apa, ia hanya akan merasakan sakit jika mengingat mengenai orang-orang di sini.
“Anda serius? Jadi di sini klan Eleftheros tinggal.”
“Bukan klan, hanya beberapa kawanan. Tidak semua Eleftheros mampu tinggal di pemukiman yang sama, mereka boleh berpencar tanpa bergerombol.”
Bricana menganggukkan kepala. Ini adalah Eleftheros adalah anggota yang bebas tanpa terikat aturan klan, Eleftheros yang diserang oleh Machitis juga berbeda dengan yang ini karena pada dasarnya suatu Eleftheros akan berpencar tempat tinggal.
Bricana tidak bertanya lagi. Semakin mereka masuk ke dalam, semakin pula raut wajah Theodore yang tidak sedap dipandang, sepertinya pria itu memiliki masalah tersendiri mengenai klan ini.
Hingga akhirnya mereka berada di paling ujung. Dilihatnya tiga orang tadi membungkuk pada seorang wanita yang tengah duduk di kursi kebesarannya, Bricana mengintip wanita itu dari celah si tiga pria, nampak masih muda dengan perawakan badan yang bagus.
“Kami sudah membawa tuan muda Aston ke sini, Nyonya.”
“Kalian boleh pergi untuk menyiapkan makan malam nanti.”
“Baik.”
Hingga akhirnya si penghalang tadi pergi, kini terlihat lah wajah wanita itu dengan sepenuhnya. Memang cantik dan terlihat muda, siapa gerangan wanita itu?
Pegangan tangan Theodore terhadap Bricana makin mengetat, Bricana bisa merasakan aura yang begitu kental menguar dari dalam diri pria itu.
Wanita tadi berdiri dari singgasananya lalu berjalan menapaki anak tangga dengan perlahan, satu demi satu dipijaki dengan langkah anggun.
“Aston, sudah lama kita tidak bertemu, Nak.” Satu kalimat yang keluar dari bibir merah cemerlang itu.
Bricana mencermati perkataannya. Aston, Nak?
Theodore Blaston Maximiliano, Blaston—Aston. Gotcha! Akhirnya Bricana mampu menemukan titik terang dari nama ‘Aston’.
Lalu, Nak? Apa jangan-jangan wanita ini adalah ibu dari Theodore?!
“Bertahun-tahun yang lalu aku mencarimu, meskipun kita pernah terpisah namun jalinan antara ibu dan anak tidak akan pernah terputus dan menghilang.” Satu lagi kalimat panjang yang mampu membuat mereka makin berpikir dalam diam.
Theodore dengan pemikirannya yang penuh aura amarah karena pernah disia-siakan oleh Eleah hingga ia tumbuh sebagai anak yang keras dan penuh perjuangan untuk hidup.
Eleah dengan pemikiran bahwa ia sangat menyesali perbuatannya dan ingin mengabdikan sisa hidupnya demi sang anak.
Lalu Bricana yang terkaget-kaget karena wanita yang masih terlihat muda nan ayu ini ternyata ibu dari Theodore.
“Tidak usah banyak bicara, apa tujuanmu menghalangi jalan kami?” Suara Theodore begitu dingin, tidak ada kesan hangat selayaknya ibu dan anak pada umumnya.
Eleah terlihat muram beberapa detik, namun buru-buru ia mengubah ekspresinya menjadi sumringah.
“Ada hal yang perlu kita bahas, ini menyangkut taktik Adriana dan Patricio untuk menghancurkan Teleios.”
Theodore membuang muka tidak tertarik dengan ajakan ibunya. Dibandingkan bekerja sama dengan mereka, lebih baik ia mencaritahu sendiri bagaimana cara melawan dua orang dalang dibalik kejahatan ini.
“Aku tahu kau belum bisa menerimaku sepenuhnya. Tapi tolong demi kelangsungan bersama, sekali ini kita bisa menjadi rekan kerjasama.” Bisa terlihat ekspresi memohon yang dikeluarkan oleh wanita itu.
“Coach, jika apa yang dikatakannya memang benar, tidak ada salahnya untuk bekerjasama?” Bricana memberanikan diri untuk memberi masukan.
Theodore menoleh memandangi gadis manis itu, menatap dalam pada mata anggun tersebut. Ia pun menghela napas kasar lalu mengangguk pelan.
“Baik, hanya untuk kali ini saja.” Katanya dengan nada acuh.
Meskipun begitu mampu membuat Eleah senang.
“Terima kasih, Nak. Kalian bisa beristirahat dulu di sini, Sandro akan menyiapkan tempat istirahat sekaligus makan malam nanti.” Eleah sambil menatap Bricana, ia penasaran dengan gadis itu tapi tak berani bertanya untuk sekarang. Biarlah Theodore mengabaikannya tapi masih memberikan kesempatan Eleah untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
Sandro merupakan kaki tangan Eleah, ia langsung membawa keduanya ke tempat yang telah disediakan.
Di sepanjang jalan ini Theodore menarik napas beberapa kali hingga entah tak terhitung berapa kali jumlahnya.
“Nona Adley, jika ada yang ingin kau tanyakan maka katakanlah.” Akhirnya Theodore memberi kesempatan Bricana untuk bertanya.
“Siapa wanita tadi sebenarnya dan apa hubungannya dengan masalah Patricio-Adriana?”
“Seperti yang kau dengarkan tadi, yah dia adalah ibuku. Dia memimpin Eleftheros dan bisa dikatakan memiliki andil besar untuk mendapatkan informasi,” jawab Theodore dengan tidak bersemangat.
“Apa dia adalah Nyonya Maximiliano?”
“Ya, lebih tepatnya Eleah Maximiliano.”
“Ohh baiklah. Nyonya Maximiliano bisa membantu kita untuk mencari keberadaan Adriana untuk menuntut tanggung jawab?”
“Katakanlah begitu, meskipun aku sendiri tidak ingin mengakuinya.”
“Coach, jika boleh saya memberi saran. Untuk sekali ini kita coba untuk mengikuti rencana Nyonya Eleah, dengan status beliau saat ini maka mampu untuk membantu kita. Ini semua demi anggota klan yang telah dimanipulasi oleh mereka, teman-teman saya di akademi pantas mendapatkan nama baiknya kembali.” Bricana sedikit merayu pria itu.
Theodore juga memikirkan hal yang sama, ia tak boleh egois menolak permintaan Eleah hanya karena masalah pribadinya. Anggota baru Machitis perlu dikembalikan citra serta nama baiknya, ia tak mau menjadi egois.
“Ya, lakukan saja seperti keinginanmu.”
“Terima kasih, Coach.” Bricana tertawa renyah.