Semalaman Bricana dan Theodore tertidur di sana, paginya kedua manusia itu melanjutkan perjalanan menuju ke klan Exypnos.
“Bricana, apapun yang terjadi jangan sampai kita berpisah, di sana berbahaya. Jika pun memang Adriana bersembunyi di akademinya maka aku rasa anak buahnya tidak akan membiarkan kita masuk.” Mereka sudah sampai di area akademi Exypnos. Memang tampak depan saja sudah mewah dan terlihat penuh oleh teknologi, tempat penampung seluruh pengetahuan yang ada di bumi memang memiliki alat lengkap yang canggih. Bisa dikatakan bahwa Bricana cukup terkesan dengan adanya tempat ini, baru pertama kali lihat langsung dibuat terpana oleh kecanggihan teknologinya.
Di luar ada air mancur yang mengandalkan tenaga surya, meskipun saat ini musim dingin tapi air mancur itu masih terus hidup dengan cadangan energi surya yang sudah ditampung sebelumnya. Entah bagaimana mereka memutar otak untuk mendapatkan ide tersebut, namun yang pasti semuanya berkat dari dedikasi tinggi para anggotanya.
“Baik, Theo.”
Mereka bersembunyi di antara patung-patung buatan tangan para anggota, dilihatnya dari kejauhan bahwa akademi Exypnos dijaga oleh segerombol pria bertubuh tinggi tegap mengenakan kacamata hitam. Mereka berjejer di sana seperti tidak membiarkan orang lain masuk, melainkan hanya para anggotanya saja yang diperbolehkan.
“Bagaimana cara kita untuk masuk sedangkan lokasi sudah diamankan,” bisik Bricana pada Theodore.
“Ada jalan pintas,” tukas pria itu.
Ia mengamati sekitar selama beberapa saat, dilihatnya sudah tidak ada lalu lalang anggota, pria itu menarik pergelangan tangan Bricana untuk merunduk dan mengendap-endap dengan cara berjongkok.
“Ehh.. Coach?!” Bricana yang memang lidahnya belum terbiasa untuk memanggil Theodore dengan nama saja pun terkadang masih keceplosan.
“Kita akan melewati lorong bawah tanah.”
“Ohh begitu.” Bricana sekarang paham kenapa mereka harus menunduk seperti ini.
Ada sebuah lubang udara yang bisa menampung satu orang dewasa yang terhubung dengan area laboratorium Exypnos, dari sana mereka akan masuk. Mengingat bahwa bendera perang sudah dikibarkan, itu berarti semua non-Exypnos akan dilarang masuk ke sini, jika pun diizinkan maka perlu alasan yang kuat.
“Theo, apa kau yakin jika Adriana ada di sini?”
“Ya, melihat penjagaan yang cukup ketat membuatku curiga bahwa ada hal yang disembunyikan di sini. Jika bukan Adriana, maka siapa lagi?”
“Apakah mereka akan bersembunyi di kandang sendiri, bukankah itu lebih beresiko.”
“Ingat bahwa tempat yang beresiko merupakan tempat teraman pula.” Balas Theodore. Kini keduanya menyusuri lubang udara bawah tanah dengan merunduk, kaki Bricana sempat kesemutan tapi ia tetap melanjutkan aktivitasnya.
Hingga sampai lah mereka pada titik cahaya yang disinyalir lampu dari laboratoriu, Theodore mendongakkan kepalanya pelan untuk memantau situasi, dilihatnya di luar aman ia pun keluar dari lubang itu terlebih dulu, baru lah membantu Bricana turut berdiri.
“Huh...” Akhirnya mereka sudah berada di laboratorium. Ada sebuah pipa sepanjang dua meter menampung entah cairan apa, di sana ada gelembung udara seperti mendidih.
Theodore mengamati benda itu dengan saksama, meskipun ia bukan lah Exypnos, namun pengetahuannya mengenai hal-hal umum cukup diacungi jempol.
“Ini adalah ramuan yang sama seperti yang kita tenggak kemarin.” Ujarnya sambil memerhatikan cairan bergelembung itu.
“Benarkah? Gara-gara ini Machitis membuat kesalahan besar?” Bricana tidak habis pikir dengan orang-orang ini, mereka membuat ramuan yang dapat memecah belah persatuan.
“Ya.”
“Apakah Austin juga terlibat?” Ia menutup bibirnya dengan getir.
“Kemungkinan ya. Adriana memanfaatkan anggota baru Exypnos untuk membuat ramuan ini, tangan mereka digunakan untuk hal keburukan.”
Bricana merunduk sedih, mustahil adiknya tahu mengenai hal ini. Saat keduanya tengah sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing tiba-tiba saja pintu laboratorium terbuka, sontak saja keduanya pun bersembunyi dengan segera.
Suara derap langkah sepasang kaki terngiang ditelinga, sosok yang mengenakan jubah putih panjang itu tengah memeriksa listrik untuk memastikan bahwa energi di sana masih aktif.
Mata Bricana membulat dengan senang. Itu Austin, ia harus segera menyadarkan adiknya.
Melihat bahwa Bricana hendak menemui adiknya membuat Theodore ingin menghentikan langkah wanita itu, namun nihil. Bricana sudah terlebih dulu keluar dari tempat persembunyian, Theodore hanya tidak ingin melihat kekecewaan gadis itu, hal terburuk adalah Austin sudah dicuci otaknya agar lebih memilih klan daripada keluarganya.
“Austin.” Bricana memekik dengan kegirangan, jujur saja ia merindukan adik laki-lakinya ini.
Austin tentu saja kaget luar biasa saat melihat Bricana di sana, keterkejutan itu disusul dengan ekspresi yang cukup sengit.
“Kak kenapa ada di sini?” Pria itu tidak suka ada Bricana di sini, bahkan nadanya terdengar cukup ketus.
Bricana mengabaikan hal itu, ia segera meraih tangan adiknya dan menatapnya lekat. “Kau harus pergi dari sini, Adriana adalah penjahat. Anggota klan ini sebagian besar adalah mata-matanya untuk menghancurkan Machitis, keselamatanmu dalam bahaya karena akan ada pertengkaran besar nantinya.” Bricana begitu ingin meyakinkan Austin.
Namun, pria itu justru menukikkan alisnya dengan penuh. “Maksudmu datang ke sini untuk menyuruhku pergi? Apa yang ku dapatkan dengan itu? Di sini aku bisa mengembangkan pengetahuan dan kemampuanku.”
“Adriana memanfaatkanmu untuk melakukan kejahatan. Ramuan yang kau buat ini mengandung bahan manipulatif. Kami diberikan oatmel yang mengandung ramuan ini, alhasil Machitis seperti termanipulasi, kami diminta untuk menyerang Outdeteros. Kau tahu? Ayah dan ibu bahkan sampai mengungsi, terlebih lagi ibu merupakan seorang Teleios yang akan diburu habis-habisan oleh Adriana. Austin, ayo kita bersama-sama melawan kejahatan Adriana. Katakan padaku apakah ia bersembunyi di akademi ini?”
Bricana berbicara panjang lebar tapi ekspresi Austin tetap sama—tidak peduli sedikit pun.
Austin melepaskan genggaman tangan kakaknya lalu menggelengkan kepala. “Aku tidak mau pergi, Exypnos adalah tempatku. Mengenai Machitis bukan lah urusanku, tugasku hanya lah menyelesaikan project membuat ramuan ini. Selain itu ... jika pun Adriana bersembunyi di sini apa hak kakak untuk menyerbunya? Ini adalah urusan Mr. Grivin.”
Bricana terlihat kaget bercampur sedih mendengar penuturan adiknya yang menolak pergi. Tatapan mata Austin seperti bukan adiknya, entah ke mana sosok saudara yang selalu ingin melindungi dirinya.
“Austin, ini benar-benar kau? Adriana dan klan ini berbahaya, cepat atau lambat pasti akan hancur. Selain itu kalian juga dimanfaatkan untuk keburukan, ayo lah kita pergi dari sini.” Sekali lagi Bricana meraih tangan adiknya, namun nihil. Pria itu justru menghempaskan tangan Bricana dengan kasar.
“Aku tidak mau. Pilihan hidupku akan ku tentukan sendiri, tolong kakak mengerti hal ini.”
Bricana tersenyum kecut. Merasa bahwa suasana mulai tak kondusif, akhirnya Theodore pun muncul. Ia menarik lengan Bricana untuk menjauh, tentunya Austin terkejut dengan keberadaan Theodore, pantas saja Bricana bisa menyelinap ke sini.