Theodore menyalakan api untuk menghangatkan tubuh, pria itu membawa setumpuk kayu untuk dibakar. Bricana sendiri sudah duduk memeluk dirinya sendiri, jaket berbulu tebal ini hampir tidak bisa digunakan untuk menutup tubuhnya dari rasa dingin yang melanda.
Ia berkali-kali bersin hingga hidungnya terasa pengar, napasnya pun menjadi pendek disertai kepala pusing berkunang-kunang.
“Kau mendekat lah ke sini,” ungkap Theodore pada gadis itu agar Bricana mendekat pada perapian.
Bricana mengangguk patuh, ia pun mendekati perapian lalu mengusapkan telapak tangan diatasnya. Theodore turut duduk di samping gadis itu dengan mengadahkan kepalanya ke atas langit.
“Maafkan saya.” Dua kata yang keluar dari bibir Theodore mampu menghentikan pergerakan Bricana untuk mengusapkan.
“Untuk apa?”
“Karena keegoisan saya, kau harus mengalami hal ini.” Ia merasa egois karena membawa anak orang untuk bersusah payah. Seharusnya Theodore tidak keras kepala, harusnya ia lebih mengalah dan tak tersulut emosi.
Bricana sekarang paham, ternyata sang pelatih tengah merasa bersalah pada dirinya. Namun, ia merasa tak pantas mendapat kalimat permintaan maaf itu.
“Anda tidak perlu merasa bersalah, saya juga berjuang demi klan Machitis agar nama baiknya bisa pulih.”
Pria itu menganggukkan kepala paham, detik selanjutnya ia pun menarik napas dalam-dalam lalu menghempaskannya secara kasar.
“Mau mendengar sebuah kisah?” tawar Theodore.
Bricana mengiyakan.
“Kau pasti bertanya-tanya mengenai masalah saya dengan Eleah. Ya, kami memang tidak pernah bersama sejak dulu. Eleah sengaja membuang saya ke klan Machitis untuk diadopsi oleh orang-orang itu, setelah saya tumbuh dewasa orangtua angkat saya di Machitis memberitahu bahwa Eleah adalah ibu kandung. Sekarang mereka telah meninggal, tinggal lah saya yang dititipkan pada akademi sejak usia enam belas tahun.”
Bricana diam mencerna sambil mendengarkan ucapan pria itu. Ia tak ingin menanggapi lebih cepat, ia memilih untuk memahami dengan betul-betul.
“Sebelum ini saya pernah bertemu dengan Eleah, tidak ada rasa rindu ataupun kekecewaan yang terluap. Hanya seperti orang asing yang baru bertemu saat itu juga, meskipun Eleah menggunakan banyak alasan untuk menutupi kesalahannya tapi saya tetap tidak bisa menerimanya. Terlalu sakit saat seorang anak kecil tidak diharapkan oleh orangtuanya,” lanjut Theodore.
Bricana penasaran karena sejak tadi pria itu hanya membicarakan perihal ibu, lalu di mana ayahnya?
“Maaf saya menyela. Mengenai ayah Anda?”
“Edison merupakan seorang Teleios murni sama seperti saya. Keduanya berpisah saat itu, Eleah memilih untuk membuangku dan Edison entah ada dipersembunyian mana.”
Bricana paham alur dari keluarga pria itu sekarang. Ayah dari Theodore merupakan seorang Teleios murni yang mana harus bersembunyi demi kelangsungan hidupnya, sementara itu entah apa alasan pasti Eleah menelantarkan putranya.
Theodore menceritakan kisah hidupnya selama ia dirawat oleh orangtua angkat di Machitis, lalu tumbuh dan besar di sana. Pria itu tidak menceritakan detail kronologis alasan kenapa Eleah meninggalkannya di Machitis.
Bricana tersentuh dengan kisah hidup pelatihnya itu. Di balik kehebatan seorang Theodore menyimpan hal yang begitu menyakitkan, pantas saja pria itu lebih sering diam dibandingkan dengan Patricio.
Omong-omong soal Patricio, entah berapa lama waktu yang bisa ia perkirakan untuk menemukan pria itu. Saat ini saja ia harus terjebak dalam dinginnya badai salju, belum lagi melewati jalanan menuju akademi Exypnos untuk mencaritahu.
“Coach, maaf jika saya boleh memberikan saran pada Anda.”
“Ya, katakan saja?”
“Apakah Anda tidak mau memberikan kesempatan kedua pada Nyonya Eleah?” Ia bertanya dengan hati-hati. Seharusnya bantuan dari Eleah cukup mampu membuatnya meringankan beban mencari keberadaan dua orang dalam kejam itu, namun siapa sangka jika Theodore justru buru-buru melenggang pergi dari pemukiman ibunya.
Theodore menatap Bricana dengan pandangan menajam, membuat gadis itu kikuk seketika.
“Untuk apa?” tanyanya setelah memindai gadis itu cukup lama.
“Untuk mengetahui alasan pasti. Di balik keputusan Nyonya Eleah pasti ada alasan kuat di dalamnya, bagaimana jika ia melakukan ini demi kebaikan Anda?”
“Saya belum bisa menerimanya, rasanya sakit dan sulit sekali. Dia mampu menampung puluhan anak buahnya, namun merawat satu anak kandung saja tidak bisa.” Perkataan Theodore begitu miris didengar, pria itu bahkan tersenyum kecut pada nasibnya sendiri.
Bricana juga tidak menyalahkan keputusan pria itu. Ya, seperti yang ia bilang bahwa merawat satu anak kandung saja tidak mampu. Rasanya hati Bricana tercubit mendengarnya, ia yang dilimpahi kasih sayang takkan pernah tahu rasa sakit saat berada di posisi Theodore.
“Suatu saat jika saya sudah berdamai dengan hati saya, mungkin kami akan bicara dengan baik-baik kedepannya.” Theodore bukan tidak mau berdamai, hanya saja hatinya belum ingin. Ada waktu yang tepat untuk melakukan itu.
“Baik, coach. Anda yang paling tahu bagaimana perasaan itu,” balas Bricana dengan senyuman teduh.
Lagi-lagi Theodore merasa terpikat oleh senyuman gadis manis ini. Begitu menawan dan menenangkan.
“Omong-omong soal panggilan kita, kau tidak perlu formal lagi. Di sini kita bukan lagi pelatih atau anggota, tapi rekan untuk menumpas kejahatan.” Theodore tersenyum kikuk saat berkata ‘menumpas kejahatan’.
“Saya tidak enak hati memanggil Anda dengan nama saja, bagaimana pun juga Anda lebih berpengalaman dari saya.”
“Tidak apa-apa, tidak perlu sungkan.”
“Baiklah, bagaimana jika saya memanggil Anda dengan sebutan Theo?”
“Hmm Theo? Nama penggalan yang bagus, aku suka.” Theodore pun menggunakan kata ‘aku’ sebagai pengganti agar tidak terkesan terlalu formal.
“Kau juga bisa memanggilku dengan sebutan Brice, orang-orang memanggilku demikian.”
“Baik, Brice. Mulai sekarang tidak ada kata formal di antara kita, kita berdua adalah rekan. Jangan sungkan dan tidak enak hati, apapun yang kau butuhkan maka katakan saja padaku.”
“Terima kasih, Coah. Ahh maksudku, Theo!”
Theodore tersenyum ringan, pria berlesung pipi itu makin tampan ketika tersenyum. Baru kali ini dirinya merasa bebas tersenyum tanpa membatasi diri, selama ini ia tumbuh sebagai anak yang lebih suka irit dalam hal komunikasi. Aktivitas di luar pun sekadar berlatih di akademi, dan selebihnya ia akan kembali ke asramanya.
Jika boleh mengulang waktu, ia tak mau orangtua angkatnya meninggal. Theodore menyesal karena dulu ia harus kehilangan mereka, kedua orangtua adopsi tapi lebih menyayanginya dibandingkan ibu kandung.
Tak terasa air mata pria itu menetes, selalu seperti ini tatkala ia mengingat memori dengan orangtua adopsinya.
Bricana sempat melihat air mata itu sebelum Theodore menghapusnya, namun ia pura-pura tidak tahu agar pria itu melanjutkan kenangannya bersama orang yang terkasih.
Akhirnya malam itu mereka menikmati kedinginan ini dengan diam dan sesekali mengobrol, perjalanan akan dilanjutkan esok hari ketika matahari tiba.