8 : Teleios Yang Diburu

1147 Kata
Theodore mengulas senyum menyeringai tipis, Bricana menyeka bibirnya yang basah oleh air mineral. Ia harus bersikap senetral mungkin, tak boleh gugup. “Pertanyaan Anda sangat mengganggu saya, Teleios adalah klan sempurna, mana mungkin masuk ke akademi Machitis.” Setelah mendapatkan kembali ketenangannya akhirnya ia berujar dengan nada tenang, matanya menatap netra milik pria yang menjadi pelatihnya selama berada di akademi klan Machitis ini. “Kau harus pandai berekspresi, Nona Adley. Saat aku mengajukan pertanyaan padamu pertama kali, raut wajahmu terlihat gamang serta ada lipatan kejut pada matamu. Jika orang lain yang mengajukan pertanyaan ini dan mendapatkan reaksi seperti itu maka nyawamu akan berakhir.” Tandas Theodore yang kembali membuat Bricana lagi-lagi terbungkam beberapa saat. Ia pun menarik napas panjang-panjang lalu dihembuskan secara perlahan. “Sebenarnya apa tujuan Anda menanyakan hal ini jika sudah tahu jawabannya?” Theodore tersenyum kecut lalu berujar, “Karena kita sama.” Bricana mengerutkan keningnya penasaran. “Maksudnya Anda seorang,” Bricana menghentikan kalimatnya sebelum selesai diucapkan, matanya membelalak dan mulutnya sedikit terbuka. Theodore mengangguk, padahal selama ini ia tak pernah secara sukarela dengan mudahnya memberitahu identitas dan darah asli yang mengalir pada tubuhnya. Namun, entah kenapa hari ini saat ia berbincang dengan gadis ini secara mudah mulutnya berkata dengan lancar bahwa ia merupakan pemilik darah Teleios yang diburu oleh petinggi klan untuk dimusnahkan. “Kenapa Anda memberitahukan identitas pada saya?” “Untuk berhati-hati.” Bricana mengangguk paham, ia tertarik dengan pembicaraan Theodore sebelumnya. “Saya sering mendengar kabar bahwa saat ini petinggi klan tengah memburu Teleios murni, apakah itu benar?” Bricana ingin memastikan tentang kebenaran kabar itu, meskipun ia sudah menebak jawabannya. Namun, ia ingin mendengarkan jawaban langsung dari seorang pelatih klan Machitis yang ternyata menyembunyikan identitas aslinya. “Itu benar, maka dari itu berhati-hatilah karena kaum Teleios pasti akan diburu jika sampai ketahuan keberadaannya.” “Terima kasih sudah mengingatkan. Apakah Coach Patricio mengetahui identitas Anda?” “Dia bahkan termasuk salah satu orang yang ingin menghabisi Teleios.” Mendengar pernyataan Theodore lagi-lagi membuat Bricana terkaget-kaget. Jadi selama ini Theodore mampu menyembunyikan statusnya secara diam-diam dari Patricio? Sungguh tak disangka. Dan satu hal lagi, ternyata Patricio adalah orang yang menjadi dalang atas terganggunya keamanan Teleios. “Jangan percaya siapapun di klan ini, bahkan pada saya sekalipun.” Theodore bertandas. “Bagaimana jika saya mempercayai Anda?” Bukan tidak mungkin Bricana akan meminta bantuan jikalau sewaktu-waktu nyawanya terancam akibat identitasnya. Mengetahui bahwa Patricio merupakan orang yang bisa membahayakan dirinya suatu hari nanti, mau tak mau Bricana harus hati-hati dan memiliki tempat untuk berlindung serta bekerja sama. “Kenapa? Kita hanya orang asing, bagaimana jika aku menipumu?” tanya Theodore balik. “Saya percaya Anda. Selain itu, apakah ada orang lain lagi yang memiliki darah Teleios?” “Di sini hanya kita, klan Teleios sendiri semakin hari semakin berkurang karena terus diburu dan dihabisi.” “Apakah klan Teleios membuat perkumpulan sendiri untuk berlindung?” Brica akhirnya harus mengubah halauan, yang tadinya di sini ia hanya ingin mengasah kemampuan Machitisnya maka bertambah pula untuk bertahan hidup. “Ya. Mereka membentuk klan sendiri dan menjauh dari klan-klan lain untuk bertahan hidup serta mencari jalan keluar agar tak terus diburu.” “Saya mengerti, terima kasih sudah memberitahukan hal ini pada saya.” “Satu hal lagi, entah dalam dua atau tiga hari ke depan akan ada test kemurnian diri, di sana adalah jebakan untuk para Machitis yang ternyata merupakan Teleios.” “Apakah itu berbahaya untuk kita?” Theodore melirik ke sekitar, para tim sebelah yang diutus Patricio untuk keliling bukit akan melewati tempat ini juga. “Akan ku jelaskan nanti, suasana tidak kondusif.” “Baik, Coach.” Mereka pun akhirnya kembali berlatih lagi. Dilihatnya tim sebelah terengah-engah dan kelelahan dengan teramat. Sedikitnya mereka iri dengan tim Theodore yang lebih manusiawi dibandingkan didikan Patricio. Latihan siang itu berakhir tepat pukul dua siang, para anggota diperkenankan istirahat dan makan siang terlebih dulu. Pelatihan akan dilanjutkan lagi nanti sore, selama pendidikan di akademi Machitis berlangsung akan membutuhkan waktu sekitar dua bulan hingga usai, itu pun dengan penyaringan ketat. Bricana mengambil jatah makan siangnya, dibelakangnya ada Fonix dan Alesandra. Gadis berambut ikal sepunggung itu terus berceloteh mengenai latihan kerasnya seharian ini. Mereka bertiga duduk di meja panjang dekat dapur, khusus makan siang memang para anggota diwajibkan berkumpul di ruang makan yang bersebelahan dekat dapur. Ada lima iris kentang, telur setengah matang dan juga kacang-kacangan, ditambah dengan segelas s**u putih. “Energiku sudah habis terbuang saat latihan pagi tadi, tapi makan siang pun tak mengenyangkan.” Fonix mengeluh. Alesandra hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Ia mengalihkan tatapan pada Bricana yang sejak selepas latihan gadis itu terlihat lebih banyak diam dan murung. “Brice, apa ada masalah denganmu?” Bricana hanya menusuk-nusuk irisan kentangnya dengan garpu. Ia masih mencerna ucapan Theodore, daripada memikirkan dirinya sendiri ia lebih mengkhawatirkan rekan-rekan seklannya yang lain. Beberapa temannya merupakan seorang Teleios yang juga berkamuflase masuk di akademi klan lain, semoga saja mereka aman-aman di sana. Bricana sama sekali tak menyangka bahwa pelatih utama klan Machitis ternyata salah satu orang yang perlu ia hindari, ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ia masuk ke klan ini tentu sudah tahu resikonya dengan pelatihan yang keras. Namun, ia tak pernah terpikir sebelumnya mengenai pemburuan Machitis sejelas ini. “Brice?!” Karena tak mendapat jawaban apapun dari temannya, Alesandra menyentuh pergelangan tangan gadis itu hingga membuat si empunya terhenyak. “Eh, ada apa?” “Ckck, kamu melamunkan apa?” “Tidak ada, hanya rindu rumah dan orangtuaku.” Bahu Alesandra meluruh, jika berbicara soal keluarga, ia juga merindukannya. Meskipun ayahnya menyebalkan saat memaksanya masuk ke akademi ini, tapi bagaimana pun juga itu adalah orangtua yang merawatnya dengan kasih sayang, hanya saja caranya agak unik memang. “Aku pun merindukan mereka.” “Kalian punya orangtua?” Fonix menyela sambil memasukkan potongan telur ke dalam mulutnya. Sontak saja Alesandra dan Bricana menoleh serentak hingga mengangguk. “Punya.” Gadis itu tersenyum kecut. “Aku tidak, orangtuaku membuangku saat lahir di dunia ini.” “Aku turut bersedih untukmu.” Bricana menepuk pundak Fonix. “Tidak apa-apa, santai saja. Semua sudah berlalu dan aku menemukan keluarga yang lebih baik dari orangtuaku yang menyebalkan itu. Aku dibesarkan di panti asuhan, ibu panti dan anak-anak lainnya adalah keluarga yang terbaik.” Fonix bercerita dengan nada yang riang seolah tak ada beban dipundaknya, padahal dalam hati ia juga ingin melihat bagaimana rupa orangtua yang tega membuangnya. “Kau beruntung memiliki keluarga baru. Tapi apakah ibu pantimu tahu kau memilih Machitis?” “Mereka tahu, ini adalah jati diriku sejak dulu. Meskipun berat tapi mereka mengizinkanku untuk menempuk pelatihan di sini, aku memang beruntung mengenal mereka dan menjadi bagian dari panti.” “Hidup ini keras, kau harus membanggakan mereka.” “Tentu, terima kasih atas nasehatmu.” Akhirnya mereka pun melanjutkan makan siangnya, dengan Bricana yang masih terpikirkan mengenai omongan Theodore yang belum selesai karena terpotong tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN