Adriana menyusuri lorong demi lorong di akademi Machitis, matanya menerawang jauh ke setiap sudut dan tata bangunan di sini. Machitis memang termasuk klan yang bisa hidup di manapun termasuk medan yang terjal, maka dari itu tak heran bila mereka lebih memilih membangun tempat latihan di tempat terjal dan berbahan batu goa. Di belakangnya terdapat pria-pria berbadan tinggi kekar nan tegap mengawal dirinya, sesampainya di pintu yang terbuat dari batu alam, ia disambut oleh Patricio dan anak buahnya, pria bertindik telinga itu menyapa Adriana dengan senyuman khas teman lama.
“Selamat datang di klan kami, Adriana.”
Adriana mengulurkan tangannya menyambut juluran tangan Patricio. “Terima kasih atas sambutan hangatmu, selalu seperti ini.”
Patricio mengangguk samar, ekor matanya menatap pergerakan Jeff—salah satu temannya juga yang menjadi kaki tangan Adriana.
“Lama tak bertemu, Jeff.” Selama ini Jeff ditugaskan untuk mengatur urusan dalam klan Exypnos dan jarang dibawa keluar oleh majikannya, suatu keberuntungan bila hari ini Adriana membawa Jeff sebagai pengawalan.
“Senang bertemu lagi denganmu, Path.” Selalu seperti itu, Path adalah nama panggilan khusus untuk Patricio dari Jeff.
Patricio terkekeh pelan, ia pun berjalan berdampingan dengan petinggi klan Exypnos tersebut. Ia berbisik di telinga Adriana, “Ku rasa kedatanganmu kali ini bukan untuk sekedar melihat-lihat akademi Machitis saja ‘kan?”
Adriana tersenyum penuh arti. “Kau mengenalku dengan baik, Patricio!”
Patricio mempersilahkan Adriana untuk masuk ke ruang pribadinya, sementara Jeff dan pengawal lain menunggu di depan pintu. Bricana sempat melewati lorong itu untuk kembali ke kamarnya di asrama, matanya sempat mendapati Adriana yang terlihat mendiskusikan sesuatu pada Patricio sebelum pintu benar-benar tertutup.
Kening gadis itu berkerut seolah bertanya-tanya, apa yang dilakukan Adriana di klan ini? Bukankah seharusnya ia berada di Exypnos karena dirinya merupakan petinggi di sana, dan terlihat ada orang-orang bertubuh kekar menjaga pintu yang sudah tertutup rapat di sana, nampaknya keduanya membahas masalah penting. Akan tetapi, kenapa tidak ada Theodore di sana? Jika ini merupakan kerja sama antar klan maka seharusnya pria itu ada di sana juga, tapi pertemuan ini nampak lebih privasi dari biasanya.
Apalah itu, seharusnya Bricana tidak ikut campur kan? Ia tidak tahu kenapa perasaannya mulai gelisah, apakah ini merupakan tanda-tanda alami yang diberikan insting Teleiosnya untuk dia berwaspada?
Bricana pun berlalu, ia akan kembali ke asramanya. Tapi tiba-tiba saja dari arah tembok bebatuan ada sebuah tangan yang menarik lengannya, Bricana membelalakkan mata dan ingin menjerit, namun ada telapak tangan besar yang menutup mulutnya sehingga tidak bisa berbuat banyak.
“Sttt, ini Theodore.” Pria itu melepaskan bungkaman pada bibir Bricana, seketika membuat si empunya makin membulatkan mata terkejut. Tadi ia mencari-cari keberadaan pria itu karena belum menyelesaikan ucapannya yang sempat terpotong, tapi menghilang begitu saja dan kini tiba-tiba muncul dengan sok misteriusnya.
“Coach, kenapa Anda?”
Theodore menarik tangan Bricana agar semakin menyembunyikan diri di antara bekas reruntuhan tembok agar tak ketahuan orang lain.
“Diam dan jangan banyak bertanya, cukup dengarkan aku!”
Bricana mengangguk, ia tak menjawab dengan suara sepatah kata pun.
“Kau sudah melihat keberadaan Adriana kan?”
Lagi-lagi Bricana mengangguk tanpa suara.
“Mereka sedang berdiskusi tentang pendeteksian klan Teleios di akademi Machitis ini, karena Machitis merupakan klan yang terkuat dan disinyalir terdapat Teleios bersembunyi di sini. Mereka akan melakukan pengujian, untuk itu berhati-hatilah dan waspada dengan saat-saat yang akan datang, persiapkan dirimu.” Theodore berkata dengan penuh keseriusan, matanya menatap kornea abu-abu milik gadis manis itu. Sempat ia tersihir dalam kelopak indah nan menenangkan tersebut, tapi ia segera mengambil kesadarannya dengan cepat.
Bricana berpikir, ternyata benar firasatnya. Adriana datang ke sini untuk melancarkan aksi buruknya, ia harus menjaga diri sebaik mungkin agar tak terdeteksi sebagai Teleios murni atau keberadaannya akan berbahaya dan mereka merasa terancam.
“Kau mengerti?”
“Saya paham, Coach.”
“Bagus.”
“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada Anda.”
“Katakan?!”
“Apa keuntungan Adriana dan Patricio bekerja sama mendeteksi klan Teleios?”
“Karena sejak dulu mereka adalah sekutu. Patricio tidak suka bila ada klan yang bisa mengungguli Machitis, pun dengan Adriana. Untuk sekarang ini hanya ada dua klan yang sama kuatnya dan saling mendominasi.”
“Exypnos dan Machitis?” tebak Bricana dengan mudah saya.
“Ya. Jadi mereka bekerja sama untuk makin memperkuat kekuasaan, entah jika dalam hati mereka saling bersaing untuk menunjukkan siapa yang terkuat dari keduanya.”
“Saling bersaing untuk menjadi yang terkuat? Bukankah ini mengasyikkan.” Bricana tersenyum samar.
Theodore tidak mengerti maksud ucapan Bricana. “Maksudmu?”
“Jika mereka yang awalnya kawan lalu menjadi lawan setelahnya, maka tidak sulit untuk menghancurkan keduanya.” Jika memang Adriana dan Patricio berniat membumihanguskan klan terkuat yakni Teleios, maka sudah sepatutnya mereka dihancurkan terlebih dulu.
Theodore sekarang mengerti arah pembicaraan muridnya ini, ternyata Bricana berpikir sampai sana.
“Dimengerti, namun tentunya tidak mudah untuk menghancurkan mereka selagi masih ada di dalam satu kapal yang sama. Hancurkan bagian kapal yang paling dasar, setelah kepercayaan hancur maka tak ada lagi alasan untuk bisa bekerja sama.”
“Saya paham, Coach.”
“Masalah itu kita bahas nanti, yang terpenting untuk akhir-akhir ini adalah cara agar klan Teleios tidak terdeteksi oleh mereka. Di sini aku merasakan beberapa Teleios, namun auranya tak sekental dirimu. Takutnya mereka tidak mengetahui bahwa Teleios murni akan diburu sehingga membuat mereka jatuh ke kubangan yang sudah disediakan oleh Adriana dan lainnya.”
Itu yang dikhawatirkan Theodore, di anggota fase ini ia bisa merasakan aura-aura Teleios. Namun, ia tak bisa memastikan siapa saja itu. Hanya Bricana saja yang memiliki aura sangat khas dan kental, jika ketidaktahuan mereka bisa membawanya dalam bahaya, maka Theodore adalah orang pertama yang tak dapat memaafkan diri sendiri.
“Lalu bagaimana caranya saya menemukan saudara Teleios yang lain?” tanya Bricana.
“Apakah instingmu selalu kau asah?”
“Hanya saat-saat tertentu,” balasnya.
Theodore menghela napas berat, amat berat. Insting Teleios yang jarang diasah maka tidak akan berfungsi, justru malah menyesatkan.
Melihat ekspresi Theodore yang pasrah membuat Bricana ikut pasrah. “Apakah tidak ada cara lain?”
“Sayangnya tidak, kita hanya bisa menunggu dan berharap pada uji pendeteksian itu. Semoga saja Teleios sadar bahwa itu adalah kesempatan mereka untuk hidup atau berakhir,” jawab Theodore yang membuat Bricana lemas. Bagaimana tidak? Itu terdengar semacam ambang antara hidup dan mati.
“Itu tidak boleh terjadi! Bagaimana jika mereka meninggal diburu?”
“Itu adalah nasib, tidak mungkin kau akan bertanya pada mereka satu persatu apakah mereka Teleios murni atau bukan.”
Bricana mengangguk putus asa. Memang tidak mungkin ia bertanya satu persatu, atau mereka akan curiga terhadapnya.
“Jadi, sekarang ini kau hanya bisa memikirkan dirimu sendiri. Nona Adley, kau pasti bisa selamat dan melewati jurang neraka ini.” Theodore menepuk-nepuk pundak Bricana, tatapan keduanya saling tertaut.
Bricana tersenyum dengan pasti, ia pasti bisa!