Mereka berjalan dengan pandangan kosong ke depan, senjata laras panjang tertera ditangan masing-masing. Adriana sengaja meracik ramuan yang dicampurkan ke dalam oatmeal untuk memanulipasi otak dan pikiran mereka agar mampu dikendalikan. Dengan ini ia juga bisa mengetahui siapa saja Teleios yang bersembunyi di klan Machitis. Beruntungnya hanya satu orang saja, ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ada banyak Teleios yang masih ada, mungkin saja upayanya untuk menjadi klan terkuat dan terhebat tidak akan bisa diwujudkan.
Ia melirik ke samping di mana ada Patricio dan Jeff sedang mengobrol, matanya berkilat dengan penuh arah tujuan. Ini memang salah satu keinginan Adriana untuk memengaruhi Patricio agar ia mau terus berkolaborasi membumihanguskan Teleios, selain mendapatkan keuntungan dari musnahnya Teleios, Adriana juga dapat memanfaatkan Patricio untuk kepentingan bersaingnya. Tidak sulit menggunakan pria itu sebagai alat, dengan begini maka pria tersebut fokusnya akan terpecah, dan di sinilah momen Adriana membuat Exypnos lebih unggul daripada Machitis.
Sedangkan di tanah lapang yang begitu luas, para anggota Machitis terus berjalan untuk menuju ke pemukiman berbagai klan. Sampai di titik ini Bricana belum menemukan keberadaan Theodore, ada di mana pria itu sebenarnya?
“Alesandra, sadar lah.” Ia berusaha menggoyangkan bahu gadis itu namun tak ada respon sama sekali dari Alesandra. Semua orang di sini benar-benar dikuasai dan dimanipulasi pikirannya.
Para anggota terbagi menjadi beberapa bagian, ada yang menuju ke akademi klan Timios Oudeteros dan juga Eleftheros. Ditengah-tengah sekumpulan orang dengan kebingungannya, Bricana ingin menangis dan berteriak. Jika sampai orang-orang ini meneror klan lain maka akan membahayakan mereka, belum lagi keselamatan antar klan. Dengan begini Machitis bisa dituntut oleh pemimpin klan lain karena dianggap merusuh, Bricana sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Patricio yang justru ingin menghancurkan klannya sendiri dengan berbuat demikian.
“Fonix, ayo lah kalian sadar.” Bricana frustasi, di antara sekumpulan ini hanya dia yang masih mempertahankan kewarasan otaknya.
Matanya terus berkeliling ke segala penjuru arah, dilihatnya punggung seseorang yang sangat ia kenali.
Buru-buru Bricana berjalan mendekat pada orang itu, yang juga sama berjalannya dengan anggota lain. Saat keduanya sudah saling berdampingan, Bricana langsung melirik ke arahnya.
“Ke mana saja Anda, Coach?” bisiknya dengan penuh kebimbangan.
Theodore hanya diam, tapi jari-jarinya berusaha menautkan pada jari Bricana. Terasa dingin merasuk ke dalam kulit, Bricana menggigit bibir bawahnya.
“Di sini hanya Anda yang bisa saya percaya. Sebenarnya apa tujuan Patricio dan Adriana melakukan ini? Apakah kita benar-benar akan menyerang klan lain?” Sulit diterima nalar, selama ini antar klan hidup dengan rukun dan baik-baik saja tapi kenapa malah harus disulut dengan peneroran seperti ini.
“Tetap lah bersandiwara untuk keamanan,” balas Theodore dengan sama berbisiknya. Ia masih berusaha fokus ke depan sama seperti anggota lain yang sudah dimanipulasi pikirannya.
“Mereka akan menuju ke pemukiman Oudeteros, orangtuaku ada di sana!” Sentak Bricana yang mulai kehilangan ketenangan, pasalnya langkah kaki sebagian orang mulai berpencar. Ada bagian yang berjalan menuju barat daya yang mana menjadi pemukiman klan Oudeteros yang hidup dengan damai di sana. Bricana panik bukan main, ia mencemaskan kedua orangtuanya serta kerabat yang lain. Belum lagi ditambah dengan senjata laras panjang yang mereka bawa, sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan nyawa klan lain.
“Tenang lah,” jawab Theodore masih mempertahankan ketenangannya, ia masih perlu terus sandiwara agar bisa mencari titik kelemahan Adriana dan Patricio. Di antara semua petinggi dan pengurus klan Machitis, ada beberapa orang yang perlu ditest lagi dengan pendeteksi Teleios. Dan Theodore menjadi salah satu orang itu, sudah ketiga kalinya Theodore mendapatkan hal macam ini dan dirinya terus berpura-pura agar selamat.
Bahkan ditahun ketiganya pun sampai detik ini Patricio tidak mempercayainya dengan penuh. Pria itu sangat detal dan hati-hati takut kecolongan, bisa saja bibit-bibit Teleios baru muncul setelah sekian tahun, untuk itu lah Patricio masih menyuruh mereka untuk mengkonsumsi oatmeal yang sudah dicampur dengan serum buatan.
“Nona Adley, jika kau terus berteriak maka akan membuat sekumpulan orang berambisi itu sadar bahwa kita merupakan Teleios. Diam lah dan ikuti saja permainan ini, mereka tidak akan berani mempertaruhkan nyawa di sini.”
Bricana terdiam sejenak, pikirannya sungguh buntu.
“Kau bilang bahwa hanya diriku yang dapat kau percaya di sini, lalu bisakah kau melakukannya sampai akhir permainan ini?” tanya Theodore masih dengan raut wajah datar dan hanya menatap ke depan dengan fokus.
“Baik, saya akan melakukan itu semua. Nyawa dan kehidupan saya adalah tanggung jawab Anda!” tukas Bricana dengan final. Ia akan menyerahkan kepercayaan pada pria itu, entah sampai mana para anggota yang teracuni otaknya ini akan berhenti.
Theodore mengangguk sekali, hanya satu kali! Selebihnya mereka pun fokus untuk berpura-pura menyerang Oudeteros. Tentu saja kepanikan melanda pemukiman klan itu, mereka terkejut karena tiba-tiba sekumpulan anggota baru Machitis menodongkan laras panjang, mendobrak pintu dan bahkan merusak bangunan.
Bricana tidak tega melakukannya, ia pun lebih banyak diam dibandingkan beraktivitas brutal seperti yang lain. Tangannya saling mengepal dengan erat, semoga saja orangtuanya sedang tidak ada di pemukiman sehingga tak mengetahui kejadian ini.
“Nona, bersandiwara lah dengan baik.” Peringat Theodore, ia tak mau jika sandiwaranya gagal begitu saja karena Bricana yang masih diambang kebingungan.
“Coach, saya tidak bisa.”
“Kau harus bisa, ini adalah satu-satunya cara bila kau ingin menyelamatkan seluruh klan.”
Bricana menarik napas dengan dalam lalu akhirnya mengangguk pasrah. Pun dirinya mulai ikut berpartisipasi atas kesedihan rakyat Oudeteros karena serangan dan juga peneroran ini, Bricana menodongkan senjata ke masing-masing kepala mereka.
“Apa salah kami? Kenapa kalian menggunakan senjata?” tanya salah satu dari mereka, nampak sekali ketakutan dan kebingungan menghiasi wajahnya.
Para anggota Machitis hanya diam tentu saja, karena otak dan pikiran sudah disabotase.
“Kalian semena-mena menggunakan kekuasaan untuk hal buruk.” Pasalnya penggunaan senjata hanya dikhususkan untuk Machitis saja, sedangkan klan lain tidak. Maka dari itu mereka menuduh Machitis menggunakan kekuasaan dengan salah.
Bricana gemetar sekujur tubuhnya, ia ingin menjawab bahwa ini adalah akibat dari petinggi egois itu. Namun, bibirnya terus terkatup dengan rapat.
“Akan ku adukan perbuatan kalian pada pemimpin, ini adalah tindak kekerasan.”
Maaf, hanya satu kata yang bisa Bricana ucapkan dalam hati.
“Machitis bertindak sewenang-wenang!”
“Machitis memberontak!”
DUGH
Alesandra memukul kepala seorang pria paruh baya yang sejak tadi memprovokasi, dengan ujung senjata laras panjang mampu membuat kepala pria itu berdarah dan robek. Andai saja Alesandra sadar dengan perlakuannya, maka pasti gadis itu akan terkejut dengan tingkahnya sendiri.
Mereka yang masih sadar hanya bisa berharap agar kekejaman ini segera usai!