Pukul lima pagi suara berisik yang berasal dari deritan ranjang memenuhi telinga Bricana, gadis itu mengerjapkan mata yang sangat terasa pedih. Bagaimana tidak? Baru beberapa jam sejak ia tertidur semalam, tubuhnya terasa lelah dan matanya masih ingin terpejam.
Ia melirik ke sekitar, hampir semua orang di dalam asrama ini tengah berganti pakaian dan bersiap-siap ingin pergi. Tatapan mereka terlihat kosong, badannya seperti dikendalikan oleh sesuatu. Namun, Bricana tidak, dia baik-baik saja.
“Hei, Fonix?” Bricana bangkit dari tidurnya, ia berjalan mendekati Fonix dan menepuk bahu perempuan tersebut. Fonix menoleh, tapi tatapannya juga sama kosongnya seperti yang lain.
Fonix hanya diam sambil memandangnya, tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Selanjutnya ia mengepak baju yang telah tak terpakai lalu meletakkannya secara asal, Bricana bingung, ia menoleh ke segala penjuru arah dan menemukan Alesandra yang sama seperti yang lain.
Ia harus bertanya pada siapa? Tak ada lagi yang bisa ia tanyakan, mereka semua seperti tengah dikendalikan oleh sesuatu.
Bricana mengacak rambutnya dengan asal, tak mau larut dalam kebimbangan akhirnya ia pun turut mengganti pakaiannya dan menyusul orang-orang yang mulai keluar dari ruangan ini. Ke mana mereka pergi, entah lah Bricana tidak tahu.
Semua anggota mengenakan jaket hitam tebal dan juga celana panjang, masing-masing dari mereka membawa senjata yang ditenteng di pundak semacam tas. Bricana mengikuti barisan itu untuk berkumpul di aulai, semilir angin langsng merangsek dalam dirinya, benar-benar musim yang sulit. Di saat seperti ini seharusnya orang-orang ada di rumah untuk menghangatkan badan, atau minimal diberikan kelonggaran dalam pelatihan.
Namun, Bricana langsung teringat dengan ucapan Theodore kemarin, ia harus berhati-hati. Mungkin saja kesadaran para anggota terenggut akibat dari efek pendeteksi tersebut. Ahh bodohnya ia lupa bahwa semalam menghabiskan sebuah oatmeal yang konon katanya untuk stamina, Bricana menebak bahwa ini adalah efek dari makanan cair yang diberikan Patricio semalam, sungguh ia harus mengikuti alur sekarang.
Saat ini para anggota perempuan menuruni anak tangga untuk dibawa berkumpul, di bawah sana juga sudah ada para anggota pria yang lebih dulu datang. Semuanya dalam keadaan tak sadarkan diri akalnya, sementara tubuhnya terlihat terus dikendalikan oleh suatu hal.
Dilihatnya ada Jeff dan yang lainnya, namun tak ada Adriana di sana. Mungkin karena ini terlalu pagi dan perempuan sosialita elit itu masih beristirahat di singgasananya.
“Orang-orang ini sudah terpengaruh oleh zat yang diatur oleh Exypnos, mereka bisa mendengar dan melakukan perintah kita dalam keadaan tak sadar sepenuhnya.” Jeff berbisik ditelinga teman lamanya—Patricio. Nampak ia puas karena telah berhasil menguasai para anggota baru klan Machitis ini.
“Hei, ada apa ini? Kenapa kalian berbaris seperti ini,” ucap seorang pria yang terlihat kebingungan. Sepertinya ia adalah satu-satunya orang yang masih bisa mempertahankan kesadarannya, tapi itu justru bukan hal yang baik.
Sontak saja Jeff dan Patricio saling bertatapan dengan mata berkilat.
“Teleios,” tegas keduanya.
Ini yang Patricio cari, seorang Teleios yang berani berkamuflase di Machitis. Ia akan menghabisinya!
“Ke mari,” suruhnya pada pemuda usia sekitar duapuluh satu tahun di sana.
Pemuda itu datang dengan seluruh kebingungan yang berkumpul dalam pikirannya. “Coach, ada apa ini? Kenapa mereka tidak sadar?”
“Kau Teleios.” Bukan menjawab pertanyaan pemuda tadi, Patricio justru mengatakan hal lain. Sontak saja pemuda itu membulatkan mata kaget.
“Coach!”
Jeff mengeluarkan senjata api dari saku celananya, tanpa babibu lagi langsung ditodongkan ke kepala si pemuda.
DOR!
Tepat peluru menembus kepalanya hingga berlubang. Bricana tentu saja terkejut karena hanya dirinya satu-satunya orang waras yang masih sadar ada kasus perenggutan nyawa seseorang di sini, tapi ia tak dapat berbuat lebih karena diri sendiri masih harus bersikap seolah-olah dikendalikan oleh sistem mereka.
“Bagus, Jeff! Kau melakukannya dengan sangat baik, tidak boleh ada bibit-bibit Teleios di sini, semua harus patuh terhadap Machitis.” Ia berkata dengan penuh bangga, melupakan fakta bahwa orang yang berada tepat di sampingnya merupakan klan Exypnos yang mana sama-sama ingin menjadi klan terdepan dan paling utama.
Ya, dalam diam kedua klan itu saling berusaha menjadi klan terbaik. Tidak ada kandidat lain selain Exypnos, klan lain tak begitu tertarik menguasai dunia, mereka hanya ingin hidup damai tentram dan jauh dari masalah. Menjadi ketua dari asosiasi seluruh klan sama dengan mencari bahaya, jika ada sedikit saja masalah yang tak bisa diselesaikan maka seluruh klan akan menanggung akibatnya. Selain itu, memang dua klan ini lah yang terkuat sejak zaman dulu hingga sekarang, maka keduanya bersaing dan berlomba-lomba ingin menjadi yang terdepan.
Meskipun terlihat akur di luar, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?
Mereka pun berbaris seperti biasanya, Jeff melihat-lihat dan memeriksa mereka apakah kecolongan seorang Teleios lagi?
“Dalam hal ini pendeteksian perlu dilakukan, lihat saja meskipun seleksi akademi ketat namun masih saja kecolongan seorang Teleios. Mereka harus dibumihanguskan tak bersisa, Teleios hanya akan meruntuhkan keseimbangan dunia ini.” Jeff berkata dengan nada sinis, ia paling membenci klan Teleios.
Diam-diam Bricana mengepalkan tangannya dengan erat, mendapatkan takdir menjadi Teleios bukan lah salah manusia. Sedangkan ketidaksukaan mereka terhadap Teleios adalah disebabkan oleh iri dengki dan ketidakmampuan dalam bersaing dalam hal kekuatan. Ini salah mereka sendiri, bukan klannya! Bricana ingin berteriak dengan lantang namun otak warasnya masih bisa mengendalikan bibirnya, ia tak boleh membongkar jati diri sekarang atau perjuangannya akan sia-sia saja.
Masih ada keluarga, rekan dan juga Theodore yang perlu ia temui. Bricana tak mau mati sekarang. Ia masih terus berpura-pura.
“Anggota Machitis sekalian, kalian harus mendengar dan melaksanakan perintahku.”
“Siap, Coach!”
“Buat ancaman dan teror bagi seluruh klan, cukup menakuti mereka dengan senjata. Untuk sekarang tak perlu nyawa untuk dikorbankan.” Intruksi dari Patricio benar-benar membuat Bricana naik pitam, jadi selain ingin mendeteksi adanya darah Teleios, mereka juga ingin menggunakan para anggota untuk berbuat kerusuhan?
“Baik, Coach.” Jawab mereka serentak. Mereka dikuasai sepenuhnya oleh Exypnos, maka dengan mudahnya mau melakukan apapun yang diperintahkan tanpa membangkang. Tubuh bagai robot, otak yang dikendalikan!
Benar-benar gila, Bricana tidak habis pikir.
Ia mengetatkan rahangnya, matanya maish tetap menatap lurus. Belum lagi keberadaan Theodore yang entah ada di mana, pria itu tidak ada di dalam barisan.
Apakah Theodore juga sama seperti dirinya? Berpura-pura tak sadarkan diri seperti ini.
Mereka pun digiring keluar dari akademi, jalan mereka sangat serentak disertai derit langkah kaki yang begitu menggema. Bricana mencuri-curi pandang sambil mencari keberadaan Theodore sekali lagi, ia ingin kejelasan dan juga teman untuk berbagi beban. Di sini hanya Theodore yang bisa ia andalkan, meskipun pria itu sendiri mengatakan bahwa untuk tidak memercayainya.