13 : Masih Terpengaruh

1076 Kata
Bricana membuang muka, ia tidak tega saat rekanan seanggotanya menyakiti orang-orang yang tidak bersalah. Bricana pun melanjutkan keinginannya untuk mencaritahu ada di mana ibu dan ayahnya, semoga saja mereka tidak menjadi korban keganasan ini. Saat-saat ingin mencari keluarganya, tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menarik lengannya dengan erat, gadis itu ingin berteriak namun bibirnya lebih dulu dibungkam. “Ssttt, diam lah.” Itu suara Theodore. Akhhirnya Bricana bisa bertemu dengan pria itu, ia menangis dengan terisak lalu tanpa babibu lagi langsung memeluknya dengan erat. Ya, Bricana memeluk Theodore dan menumpahkan air mata didada pria itu. “Coach, saya tidak bisa melakukan ini.” Bricana bahkan tak bisa untuk bersandiwara kejam, hati kecilnya yang penuh kasih sayang dan rasa kasihan tak dapat membuatnya bisa semena-mena meski hanya dalam sandiwara semata. Theodore mengangkat telapak tangannya membalas pelukan gadis itu, tanpa sadar tangannya juga ikut mengelus surai indah tersebut. “Saya mengerti perasaanmu, kita ada di takdir yang sama. Saya tahu pasti kamu sudah berusaha sebaik mungkin untuk bersandiwara, namun jika pada dasarnya hatimu bersih, sebesar apapun dirimu berusaha maka takkan tega melakukan kejahatan.” Ini adalah kalimat panjang lebar dan penuh kedamaian hati yang disampaikan Theodore terhadap gadis itu, masih dengan tangan yang sama yakni posisi mengelus rambut Bricana yang kini tergugu dipelukannya. “Selain itu saya juga tidak menemukan orangtua saya.” “Saya akan membantumu mencari mereka, ayo sekarang.” Bricana pun akhirnya tersadar bahwa sejak tadi ia menangis dipelukan pria itu, buru-buru ia mengangkat kepala dan mendongak. Dilihatnya jaket yang dikenakan Theodore basah oleh air matanya, ia meringis tidak enak hati. “Maaf, Coach. Baju Anda basah,” Masih dengan sisa-sisa kesedihan dan air mata, Bricana meminta maaf karena telah mengotori jaket berharga milik pelatihnya. Theodore tersenyum tipis. “Tidak apa-apa,” jawabnya. Jari-jari kokohnya meraba mata Bricana dan menghapus jejak air mata yang masih bersarang. Sejenak membuat gadis itu terpaku ditempat, setelahnya Theodore pun menarik jarinya dan bersikap seolah tak ada yang terjadi. “Coach?!” “Ya?” Bricana menggeleng kecil. “Tidak ada apapun.” “Ayo, kita cari orangtuamu, di mana rumah kalian?” “Coach bisa mengikuti saya.” Akhirnya keduanya pun berjalan dengan cepat menuju ke rumah Bricana, sejenak melupakan perihal sandiwaranya. Sejak tadi Theodore memeriksa keadaan terlebih dulu, dipikirnya sekawanan orang-orang licik itu sedang memantau kelompok lain yang sudah menyebar. Beruntung lah ia bisa menemukan Bricana dengan cepat, Theodore mengkhawatirkan keselamatannya. Setelah cukup jauh berjalan akhirnya mereka sampai tepat disebuah rumah bergaya klasik khas Oudeteros. “Ini tempat tinggalmu?” “Ya, saya bersama orangtua dan adik di sini.” Bricana pun membuka pintu, ia segera masuk dan mencari-cari keberadaan ayah dan ibunya. “Ibu, Ayah?” Bricana mencoba memanggil Sivana dan Andreas, tapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Ia makin masuk ke dalam, mencari ke seluru penjuru sudut ruangan. Di kamar mandi nihil, kamar orangtuanya nihil, bahkan dalam lemari pun tak ada. Bricana mengacak rambutnya dengan frustrasi, ada dua kemungkinan yang ada. Orangtuanya sudah berhasil menyelamatkan diri atau bahkan sudah tertangkap oleh klan Machitis yang sedang membabi buta. Opsi kedua sangat membuatnya hancur dan patah, meskipun ia tidak ingin hal tersebut terjadi namun bagaimana pun juga kemungkinan-kemungkinan terburuk masih menghantui pikirannya. Theodore mengamati ke sekitar rumah, memang tidak ada siapapun di sini karena para Oudeteros yang tertangkap akan digelandang di depan sana. Bricana datang menghampiri pelatihnya sambil memberi gelengan perlahan. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa mungkin orangtuamu sudah berhasil kabur terlebih dulu?” Bukan hal yang mustahil bila Andreas dan Sivana lebih dulu kabur, keduanya memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan dengan yang lainnya. Mungkin saja mereka sudah bisa menebak bahwa hari ini akan terjadi, dan secepatnya pergi menyelamatkan diri. Sesaat setelah Bricana berpikir, tiba-tiba saja Theodore melihat secarik kertas yang memiliki goresan tinta di atasnya, ia pun memungutnya yang terselip di antara laci rak. “Nona Adley, lihat ini. Apakah ini tulisan tangan orangtuamu?” Ia menyerahkan surat itu pada sang anak didik. Bricana pun mengambil dan membacanya. “Benar, ini adalah tulisan ayah. Mereka memberi pesan bahwa sudah menyelamatkan diri, firasat ibuku sangat kuat sehingga dapat menebak bahwa hari ini akan terjadi.” Nada bicara Bricana terdengar lega dan sangat tenang, syukurlah orangtuanya sudah bisa pergi sebelum kekacauan ini terjadi. Theodore ikut senang mendengarnya. “Ibu dan ayahmu pasti sudah bersembunyi di tempat aman, kau bisa lebih tenang sekarang.” “Benar, terima kasih atas bantuan Anda, Coach!” Kepala Theodore manggut-manggut, ia senang jika Bricana senang, senyuman anggun itu turut menghiasi bibirnya. “Ahh ya, kita harus segera keluar dari sini dan kembali bersandiwara bahwa kita turut terpengaruh oleh zat pendeteksi itu.” Jalan mereka masih panjang, Bricana dan Theodore harus kembali berpura-pura. “Sampai kapan kita akan terus dimanipulasi seperti ini?” “Zat serum yang terkandung dalam oatmeal tersebut akan pudar setidaknya sepuluh jam sejak dikonsumsi. Kurang lebih dua jam lagi maka pengaruh ini akan hilang, di saat itu terjadi maka semua anggota klan akan tersadar lagi dan mereka tidak ingat dengan apapun yang terjadi. Ini adalah konspirasi antara Patricio dan Adriana,” jawab Theodore panjang lebar. “Untuk apa Patricio melakukan ini, dia sama saja menghancurkan klan sendiri.” “Perlu kau ketahui bahwa Patricio memiliki dua jenis klan dalam dirinya, Machitis dan Exypnos. Untuk itu lah ia ingin menimbang-nimbang klan mana yang lebih unggul dan untung, maka ia akan menghancurkan salah satunya dan menetap dilainnya.” Bricana agak kaget dengan fakta yang ia terima, ia sama sekali tak mengetahui bahwa sesungguhnya Patricio memiliki dua klan dalam dirinya. Pantas saja ia ingin mempertaruhkan Machitis, jika klan ini hancur maka masih ada Exypnos yang akan menampungnya, sungguh licik. “Apakah ada seorang Telios yang tertangkap oleh mereka?” tanya Theodore. Bricana mengangguk. “Ya, seorang Teleios pria yang ditembak tepat dikepalanya.” Masih dikenangnya dengan baik, saat seorang pria yang sama sekali tak terpengaruh oleh zat yang diracik oleh Exypnos itu. Alhasil, pria itu meregang nyawa seketika. Theodore sudah biasa melihat hal itu, ia hanya bisa menghela napas dengan pasrah. “Lupakan kejadian tadi dan anggap lah sebagai pengalaman.” “Apakah hal semacam ini sering terjadi di klan Machitis?” “Ya, dan juga klan Exypnos.” “Exypnos?” Bricana langsung teringat dengan adiknya. “Bukan hanya Machitis saja yang diberikan zat pendeteksi Teleios, klan Exypnos juga, hanya saja dengan cara yang halus.” Bricana paham, beruntungnya Austin tak memiliki darah Teleios sama sekali. Dikeluarganya, hanya ia dan Sivana saja yang merupakan manusia berdarah klan sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN