Beberapa saat lalu Sandro yang merupakan kaki tangan sekaligus pelayan kepercayaan Eleah sudah mengantarkan Bricana dan Theodore ke kamar mereka masing-masing. Jarak antar kamar keduanya sangat dekat, bahkan bisa dikatakan bejejeran jika bukan terpisah oleh tiang yang menyangga bangunan lorong ini.
Jika dari luar lorong ini terlihat gelap, kusam dan tak terawat, sangat berbeda dengan didalamnya yang nampak lebih elegan klasik nan bersih. Seperti halnya saat ini Bricana tengah duduk di atas ranjang kamarnya, ranjang ukuran single ini mampu menampung tubuhnya dan terasa empuk saat ditempati. Tidak buruk juga, ternyata klan Eleftheros yang terpecah-pecah menjadi beberapa bagian salah satunya bermukim di sini, cukup menambah wawasan tentang klan lain.
Meskipun begitu ia tak boleh melupakan tujuan awalnya datang ke sini yakni mencari bantuan untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan Adriana serta Patricio.
Ia menghela napas kasar, dirinya pun bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju ke lemari yang terbuat dari rak besi di sana, dilihatnya ada beberapa setelan pakaian perempuan beserta dalamannya lengkap. Gadis itu mengerutkan keningnya, bahkan ukuran tubuhnya pun sudah bisa diprediksi oleh Eleah ini, benar-benar wanita yang sulit untuk ditebak. Selain cerdas, wanita itu juga bisa memimpin pecahan klan ini, sepertinya Bricana juga perlu berhati-hati padanya.
Ia memutuskan untuk membersihkan diri, mandi air hangat di musim dingin adalah hal yang tepat. Selama kurang lebih lima belas menit ia berkutat di dalam toilet, ia pun menyelesaikan ritual mandinya.
Bricana akhirnya mengenakan setelan lengan pendek serta celana panjang berwarna coklat. Rambutnya ia cepol ke atas dengan asal, setelah merasa segar setelah beraktivitas berat seharian ini, ia pun ingin pergi keluar. Namun, sebelum itu sudah ada suara ketukan pintu yang terdengar terlebih dulu. Bricana pun membukanya untuk mencari tahu siapa yang mengetuknya.
Dan ternyata itu adalah Sandro, pria berusia sekitar tigapuluh lima tahunan. Ekspresi yang ditampilkan selalu datar-datar saja namun ia tetap memperlakukan tamunya dengan baik.
“Nona—“
“Bricana Adley,” sambung Bricana dengan cepat saat Sandro ingin mengucapkan namanya namun keduanya belum saling berkenalan.
“Nona Bricana dipersilahkan ikut makan malam, mari saya antar.” Meskipun menggunakan raut wajah super cuek, namun nada suara pria itu sangat sopan dan kelewat santun. Nampaknya Sandro ini tipikal pelayan yang hanya akan menuruti perintah majikannya saja, hal lain yang tidak berkaitan dengan itu maka akan bersikap masa bodo.
“Apakah Theodore sudah ada di sana?”
“Tuan muda Aston berbicara dengan Nyonya Eleah sejak setengah jam yang lalu.”
“Ahh baiklah, mari.” Bricana tidak bertanya lebih lanjut, ia hanya mengekori Sandro dengan pelan. Sesekali matanya masih memandangi dinding-dinding lorong panjang ini, dinding yang terbuat dari bebatuan ini sangat kokoh. Pemandanganya hampir mirip dengan akademi Machitis, ahh omong-omong soal klannya ia jadi bertanya-tanya apakah semuanya baik-baik saja? Bagaimana rekannya di sana, apakah mereka kebingungan mencari dirinya?
Bricana belum sempat mengirim surat atau melakukan apapun tuk menghubungi mereka. Semoga saja mereka baik-baik saja, terlebih lagi masalah sudah ditangani oleh Grivin.
Benar saja saat tiba di ruang makan terlihat Eleah dan Theodore saling bicara, hanya saja dari kejauhan terlihat ekspresi pria itu mengetat dengan rahang yang mengeras. Bricana bisa tebak bahwa hubungan antara anak dan ibu itu sangat tidak baik-baik saja, terlepas dari masalah itu Bricana tak ingin ikut campur, biarlah mereka berdua menyelesaikan masalahnya.
Sandro berdehem pelan, seolah memberitahu majikannya bahwa sekarang ada orang lain. Otomatis dua orang di sana menatap ke arah pintu, Bricana kikuk ditatap oleh ibu dan anak itu.
Eleah yang tadinya berekspresi lelah dan putus asa pun mengulas senyumnya dengan ramah.
“Mari silahkan duduk,” ujarnya sambil menatap Bricana dengan nada ramah dan senyum merekah.
Gadis itu pun mendekati meja makan, matanya melirik Theodore yang sudah menatap ke arah bawah dengan sorot tegang yang kental.
“Gadis manis, siapa namamu?” Eleah membuka obrolan untuk membuat suasana menjadi sejuk.
“Anda bisa memanggil saya Bricana, Nyonya.”
“Ahh nama yang indah, omong-omong jangan terlalu formal padaku.”
Bricana hanya tersenyum kaku saja, diliriknya Theodore berkali-kali tapi pria itu sama sekali tak berniat membuka mulut. Mungkin sebelum ia datang ke sini telah terjadi perdebatan alot, Bricana merasa canggung hingga rasanya ingin menenggelamkan diri di rawa-rawa.
Sandro sigap menyajikan masakan, Bricana bisa melihat menu yang cukup asing di matanya. Ya, tiap klan bisa memiliki menu sajian yang berbeda-beda, apalagi untuk klannya Eleah ini yang tinggal menjauh dari pemukiman lainnya. Masakannya cenderung khas daerah dingin.
“Ayo dimakan. Aston, kau juga makan makananmu.” Nada bicara Eleah berubah dingin saat berkata pada sang putra.
Bricana mengunyah sup wortel hangat, sambil sesekali matanya melirik pada Eleah.
Mereka makan dengan diam hampir tak ada suara sama sekali yang terdengar dari bibir masing-masing. Gadis itu entah sudah entah kesekian kalinya menarik napas dan membuangnya, ia benar-benar tak suka mode tenang seperti ini.
Dalam keluarganya, jika makan bersama masih ada selingan obrolan hangat dan candaan, bukan sepi senyap seperti ini. Rasanya tidak seperti keluarga, melainkan musuh yang telah lama tak bertemu.
“Nona Adley, kau sudah selesai?” Theodore yang sepanjang waktu tadi tak bicara akhirnya kini membuka mulutnya.
Bricana sedang mengusap bibirnya dengan tisu, ia pun mengangguk pelan.
“Ayo kita pergi.” Tanpa menunggu aba-aba lagi Theodore langsung menggenggam tangan Bricana untuk membawanya.
Mata gadis itu terbelalak, kenapa tiba-tiba sekali Theodore berubah pikiran? Apa yang terjadi sebelumnya.
“Aston, berhenti!” Teriak Eleah yang kesal dengan sikap keras kepala anaknya.
“Coach, apa yang terjadi?” Masih dengan kebingungan yang kental serta tarikan yang cukup kuat sehingga membuatnya terhuyung, gadis itu bertanya.
“Nanti saya ceritakan.”
Eleah memberi kode pada anggotanya untuk menghadang sang putra. Tatapan Theodore begitu marah dan benci, ia melibas semua yang menjadi penghalang jalannya.
“Minggir atau mati.”
Bricana merinding melihat tatapan dan aura mengintimidasi dari sang pelatih. Entah apa yang membuatnya begitu marah sebelumnya.
“Aston, jangan membangkang.” Akhirnya Eleah sudah berada tepat di depan sang putra, sementara orang-orang suruhan Eleah tadi sudah terkapar di lantai yang dingin karena kalah kemampuan dari seorang Theodore.
Theodore masih diam, tapi sorot matanya menatap sang ibu dengan amarah luar biasa.
“Ku mohon dengarkan perkataanku sekali saja. Coba lah untuk mengerti dari sisiku sebagai ibu, aku hanya ingin memperbaiki hubungan kita sebelumnya.” Eleah terlihat amat memohon.
Bricana menggigit bibir bawahnya, kasihan sekali Eleah ini.
“Ibu mana yang tega menghancurkan kehidupan putranya sendiri.”
Perkataan Theodore bagai petir yang menyambar, sangat tepat sasaran. Eleah menatapnya dengan getir, teringat masa lalu bodohnya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun, sulit sekali sang putra memaafkan hal itu, apakah ia tak pantas diberikan kesempatan tuk memperbaiki diri?
“Aku minta maaf padamu untuk hal itu, aku ingin memperbaikinya, ku mohon.” Eleah sangat menyayangi anak satu-satunya, ia tidak ingin kehilangan Theodore untuk kesekian kalinya.
Bricana benar-benar bingung dengan keadaan ini, haruskah ia turut membujuk Theodore untuk melunakkan hati?