19 : Suhu Dingin

1041 Kata
Eleah bersimpuh di hadapan Theodore, seorang pemimpin klan merendahkan dirinya sendiri demi membuujuk putranya. Semua orang terkejut tak terkecuali Bricana, mata gadis itu membulat seperti tomat. “Madam!” teriak beberapa anggota klan Eleftheros yang terkejut dengan sikap pemimpin mereka. Bricana menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia pun menolehkan kepala pada sang pelatih yang nampak menegang namun ditutupi oleh raut biasa saja. Tangan Bricana masih digenggam oleh Theodore, gadis itu merinding sekaligus bergedik ngeri dengan pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya. Eleah tak memedulikan pekikan dari anggotanya yang melarang dia untuk merendah di depan orang lain, meskipun itu anak sendiri. “Aston, maafkan aku karena sudah membuatmu menderita sejak kecil hingga dewasa ini. Aku bersalah, aku ibu yang buruk. Bertahun-tahun ini aku hidup dalam penyesalan, kesalahan yang ku perbuat padamu bahkan membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak setiap harinya. Ibu mohon untuk berikan kesempatan agar kita hidup selayaknya orangtua dan anak, aku akan membuktikan padamu bahwa kau adalah satu-satunya anak yang ku sayangi.” Ekspresi Eleah begitu menyedihkan, setiap kata yang terucap dari bibirnya penuh menyayat hati. “Coach, Anda yakin tidak ingin memberi kesempatan kedua?” tanya Bricana dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Ia memang tidak tahu akar permasalahan keduanya, namun sebagai anak ia merasa turut sedih jika ada orangtua yang sampai memohon ampun pada anaknya sendiri. Ia teringat dengan ibunya, bagaimana Sivana akhir-akhir ini? “Nona Adley, kau hanya perlu mengikuti langkahku saja. Untuk urusan ini bukan ranahmu,” jawab Theodore dengan nada yang dibuat tenang meskipun dalam hatinya bergemuruh. Bricana pun akhirnya diam setelah mendengar jawaban Theodore demikian, ia tak ingin ikut campur lagi. “Tuan muda, tolong beri Nyonya kesempatan.” Itu Sandro yang berucap, ia tidak tega melihat majikannya seperti ini. Ia memandang ibunya sekali lagi, sedikit terbesit rasa iba dalam dirinya. Namun, Theodore masih memendam dendam yang begitu dalam padanya. Daripada ia terus ada di sini dan makin mengeluarkan kata tak enak didengar pada sang ibu, lebih baik dirinya menjauh untuk sementara waktu. “Di dunia ini akan ada waktu untuk membahas segalanya, kalau tidak sekarang, mungkin nanti.” Setelah berkata demikian Theodore pun langsung beranjak pergi dari sana. Bricana menoleh menatapnya singkat karena agak kaget dengan prinsip batu pria itu, Theodore benar-benar sukar diberitahu. Bricana menatap Eleah sekali lagi, tatapan matanya mengisyaratkan pamit. Namun, dalam hati Bricana akan membantu membujuk pria bebal ini sekali lagi. Meskipun pertemuan mereka sangat singkat tapi Eleah menjamunya dengan baik. Theodore pergi dari sana, melenggang tanpa beban seolah tak ada masalah. Beberapa anggota Eleftheros melihatnya dengan pandangan benci, benci karena bisa-bisanya hanya demi anak tak tau diuntung membuat pemimpin klan mereka sampai berlutut minta pengampunan. Tcih, memang siapa Theodore jika bukan terbantu oleh statusnya sebagai anak dari Eleah? Hanya seorang Machitis buruan yang nyawanya bisa terombang-ambing kapan pun, harusnya pria itu senang karena diberikan tempat penampungan yang bisa melindunginya dari serangan Machitis kejam. Namun, ia justru memilih pergi dari sini dan menyia-nyiakan kesempatan emas. “Aston! Aston.” Eleah bersuara pelan, sangat lirih menyayat hati. Sesampainya mereka di luar, tanpa terasa air mata Theodore pun mengalir. Tidak dapat dipungkiri bahwa ingin sekali dirinya mendekap ke pelukan sang ibu, namun sangat nihi. Rasanya hatinya begitu berkobar dan tak ingin berdamai, tapi di sisi lain bagaimana pun juga dalam dirinya mengalir darah Eleah, ikatan batin antara ibu dan anak tak bisa dibohongi. “Kita ke mana, Coach?” tanya Bricana dengan agak kesal. Sudah bagus mereka ditampung di sini, malah Theodore tidak berterima kasih. “Kita lanjutkan perjalanan menuju Exypnos. Kita harus bisa menemukan mereka secepat mungkin,” balas Theodore. Ia yakin bahwa orang-orang suruhan Grivin pasti tak akan mudah menemukan keberadaan mereka. Untuk itu lah Theodore ingin menemukannya dengan cepat. Bricana terlihat lesuh, sejujurnya ia ingin tidur dan meregangkan bahunya pada kasur, namun apa daya. “Kau keberatan?” Theodore memerhatikan ekspresi lesuh gadis itu, seperti tak ada semangat-semangatnya. Ke mana semangat seorang Bricana Adley yang menggebu-gebu sejak kemarin? Baru beberapa jam di sini sudah ikut termakan rayuan Eleah. Buru-buru gadis itu menggeleng. Bukan keberatan, hanya saja tubuhnya terasa letih teramat. “Kalau boleh jujur, saya sangat lelah.” “Kita akan beristirahat di jalan, ayo selagi senja belum larut.” Akhirnya mereka kembali menaiki kereta rusa yang masih terawat sama seperti sedia kala. Bricana menatap lorong yang menjadi mukim para Eleftheros, ia pun menarik oksigen panjang dan membuangnya. “Hidup yang amat sulit.” Kereta rusa kembali menyusuri jalanan bersalju, Bricana menyesal karena ia mengenakan setelan yang tipis hingga membuatnya membeku. Berbeda dengan Theodore yang mengenakan pakaian berlapis-lapis, mulai dari hoodie, sweater hingga jaket bulu tebalnya. Menyadari bahwa gadis disebelahnya menggigil, pria itu peka dan langsung mengenakan jaket bulunya pada tubuh gadis mungil itu. “Bertahan lah beberapa saat, kita akan membuat perapian di depan sana.” Bricana hanya mengangguk. Kereta itu terus berjalan membelah salju yang mulai menebal. Rintik-rintik bunga es berwarna putih kelam itu terus mengguyur, daun-daun sekitar tertutup oleh indahnya es di sana. Lama kelamaan mata Bricana berat dan mengantuk, tubuhnya sangat lelah karena ia sendiri tak terbiasa melakukan banyak aktivitas di luar saat musim dingin tiba seperti ini. Selain cepat lelah, ia juga merasa flu ditandai dengan bersin berkali-kali. “Are you okay, Bricana?” Ini kali pertama Theodore menyebut namanya tanpa embel-embel ‘Nona Adley’ sama seperti sebelumnya. Pria itu merasa bersalah karena membawa Bricana di saat hujan badai salju seperti ini. “S-saya baik-baik saja, Coach.” Bibir gadis itu gemetar saking kuatnya menahan diri agar tak menggigil. Hal ini semakin membuat Theodore khawatir dan penuh rasa menyesal, andai saja sebentar saja ia bisa meredam emosinya, mungkin Bricana masih bisa tinggal di klan Eleftheros selama sejenak untuk menunggu badai ini reda. “Kau terlihat demam dan flu, pipimu memerah.” Benar saja bahwa pipi gadis itu memerah khas orang kedinginan, saat disentuh tangannya pun terasa amat panas. Otomatis Theodore langsung menghentikan keretanya, udara dingin yang langsung mengenai Bricana juga tidak baik. “Coach kenapa berhenti?” tanyanya. Setahunya lokasi yang ingin ia tuju masih jauh tempatnya. “Kita beristirahat dulu di sini. Saya akan membuat perapian untuk menghangatkan tubuhmu.” “Baik coach.” Tak bisa dipungkiri bahwa Bricana sangat kedinginan. Ia pun turun dari kereta rusa dan menepi di bawah pohon, sambil mengeratkan jaket pemberian Theodore agar lebih nan lebih menghangatkan tubuhnya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN