14 : Akhirnya Tersadar

1044 Kata
Andreas mengintip dari sela-sela sebuah pintu rahasia yang terhubung dengan dunia luar, ia menghela napas berat tatkala melihat sang istri yang juga tengah menyembunyikan dirinya. Kini mereka sedang berada disebuah tempat persembunyian para Teleios, Sivana yang merupakan percampuran Teleios pun sudah bisa menebak akan ada peristiwa besar ini terjadi. Ia pun segera mengajak suaminya untuk menyembunyikan diri dan tak kembali ke pemukiman sampai keadaan kondusif. “Sudah aman,” ujar Andreas pada sang istri. Tempat persembunyian itu berada di bawah tanah, tak ada orang lain yang bisa menebak bahwa persembunyian ini terhubung dengan saluran air di perkotaan. Ini memang disediakan secara mendadak untuk para Teleios bersembunyi sementara dari kejaran para pemburu. “Aku masih mencemaskan Bricana dan Austin,” ujar Sivana sambil menarik napas dalam-dalam. Pikirannya hanya tertuju pada anak-anaknya, bagaimana seorang ibu selalu bersikap, yang ada dalam hatinya adalah sang buah hati. Terutama Bricana, putrinya merupakan seorang berdarah Teleios, ia takut jika Bricana dicelakai di sana. Mengenai Exypnos yang telah membuat suatu zat pendeteksi ini, apakah Austin ikut terlibat di dalamnya? Jika ya, kemungkinan besar anak itu tidak tahu apa yang telah dilakukannya ternyata justru membuat orang lain celaka. “Mereka pasti baik-baik saja, Bricana anak yang cerdas, pasti ia bisa mengendalikan keadaan di sana.” Andreas mencoba menenangkan sang istri. Selain itu, memang Bricana adalah anak yang cerdas dibanding lainnya. Gadis itu pasti sudah memikirkan cara agar tidak ketahuan mengenai identitas dan jati dirinya. Keadaan di luar sangat kacau, ada beberapa fasilitas umum yang dirusak oleh para anggota baru Machitis. Kebrutalan mereka merugikan banyak pihak, belum lagi para anak kecil dan orangtua yang trauma dengan perlakuan mereka. “Adriana sungguh keterlaluan, hanya demi mencari bibit-bibit Teleios ia sampai melakukan kekejaman luar biasa,” seru salah seorang Teleios yang juga bersembunyi di sana. “Apakah kita akan terus bersembunyi seperti ini? Sampai kapan?” lanjut yang lain. Sivana menatap Andreas dengan nelangsa, ia juga lelah hidup dalam kejar-kejaran dan persembunyian. Kapan mereka sadar bahwa Teleios juga ingin hidup dengan baik tanpa dikejar-kejar seperti ini, memang salah bila terlahir menjadi sempurna dan memiliki kemampuan lebih daripada lainnya? “Tenang lah dulu, kita bisa membahas hal ini setelah keadaan aman. Kita harus bersatu melawan mereka yang ingin menghancurkan kaum Teleios, dengan cara yang bagus dan hati-hati tentunya.” Sivana menenangkan rekanannya. “Aku mendengar bahwa putraku mati di tangan pelatih Machitis hanya karena ia ketahuan bahwa darahnya merupakan Teleios. Aku sangat membenci mereka, orang-orang yang ikut andil dalam kematian putraku harus membalasnya dengan sepadan, darah dibalas dengan darah, nyawa dibalas nyawa!” geramnya penuh dengan emosi. Bahkan ia tidak melihat jasad anaknya terakhir kali, entah ke mana Machitis kejam itu membuang putranya. Mendengar hal itu justru membuat Sivana ketar-ketir dengan nasib putrinya, apakah Bricana juga ketahuan? Tangannya saling bertaut dengan gemetar, Andreas meraih jemari istrinya dan mengelusnya dengan perlahan. “Jangan pikirkan hal buruk, ingat bahwa anak-anak kita merupakan sosok yang pemberani. Apalagi Bricana, ia sama seperti dirimu, sama-sama kuat.” Akhirnya mau tak mau Sivana pun menganggukkan kepalanya paham. Mereka akan bersembunyi di sini sampai situasi di luar sudah kondusif. Sementara itu di pemukiman, semua kota itu terlihat hancur dan berantakan. Puing-puing bangunan bahkan terbang terbawa angin karena telah ringsek ditembaki para Machitis, sedangkan Theodore dan Bricana masih mempertahankan kepura-puraan mereka dengan baik sambil menunggu semuanya usai. Hingga tak lama kemudian para anggota Machitis yang sebelumnya terpengaruh oleh zat pun akhirnya sadar. Ditandai dengan kepala yang sangat berat dan sakit, mereka menatap ke sekitar dengan pandangan bingung dan terkejut. Lalu saat tangan-tangan itu membawa senjata laras panjang, tentunya raut terkejut terpasang di wajah mereka. Fonix dan Alesandra saling menatap dengan kebingungan penuh. “Ada apa ini?” Alesandra sangat bingung. Pasalnya mereka tengah berdiri mengelilingi para Oudeteros yang dengan pemukiman rusak parah. “Jangan-jangan kita ...” perkataan Fonix terpotong, ia tak mau menduga-duga hal buruk. “Kita melakukan ini semua,” sambung Aleandra. Buru-buru Fonix melempar senjata laras panjang yang ia bawa, lalu menggelengkan kepala seolah tak ingin percaya bahwa tangannya telah mencelakai orang lain. “Katakan bahwa ini mimpi belaka.” “Bukan, ini nyata. Kita yang telah menghancurkan pemukiman Oudeteros, lihat saja tatapan kebencian yang mereka arahkan pada kita.” Alesandra langsung menimpali. Setelah otaknya mencerna dengan baik keadaan ini, ia langsung sadar bahwa ini perbuatan anggota Machitis. Fonix memegang kepalanya yang pening. “Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak ingat sama sekali. Senjata ini, aku bahkan tidak bisa menggunakannya sebelum ini.” Kebingungan mereka juga dialami oleh anggota lain, mereka merasa berdosa karena telah mencelakai klan lain. “Karena kita telah dikendalikan.” “Maksudmu?” “Jika aku tidak salah ingat, semalam kita diberi oatmeal dengan iming-iming stamina. Memang benar sangat berstamina, untuk menghancurkan klan lain. Sungguh jahat mereka yang memanfaatkan tangan kita untuk mencelakai orang lain.” Tangisan anak kecil yang ketakutan serta tatapan marah nan benci menjadi satu di mata para Oudeteros. Fonix berjongkok untuk meraih tangan seorang anak lelaki yang terluka. Namun tindakannya langsung ditepis oleh sang ibu dari anak itu. “Jangan menyentuh kami! Apa tidak puas kalian telah menghancurkan pemukiman?” tanyanya dengan nada sangat garang. Hati Fonix hancur mendengarnya, ia merasa bersalah dan menyesal kenapa semalam mau-mau saja diminta untuk menenggak oatmeal penuh kesialan itu. Akhirnya ia pun menoleh ke sana dan ke mari untuk mencari dalang utama, Adriana dan Patricio, namun nihil tidak ada salah satu dari mereka. “Alesandra, di mana Bricana?!” tanya Fonix dengan kebingungan. “Ahh ya, Brice. Aku tidak melihatnya sama sekali, apakah dirinya baik-baik saja?” Di saat yang genting seperti ini mereka masih memikirkan kondisi sang teman, dilihatnya sepanjang penjuru pemukiman tak ada Bricana. “Kita harus mencarinya.” Saat ingin mencari sang teman, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan suara bising yang amat mengganggu telinga. Tak terkecuali para Oudeteros yang sudah lelah dengan keributan ini. “Berhenti di sana, jangan ada yang bergerak!” Suara itu sangat tegas, mampu membuat Machitis yang hendak pergi akhirnya terdiam di tempat masing-masing. Ya, itu adalah perintah khusus untuk para Machitis yang berbuat kerusakan. Mata mereka memandang ke satu objek yang sama. Yakni ketua dan jajaran agung perwakilan seluruh klan, hal ini pasti akan berdampak buruk karena mereka akan memberikan sanksi besar-besaran pada anggota Machitis karena disinyalir membuat kerusuhan hingga menebar teror mengerikan semacam ini. "Gawat, kita akan mendapat hukuman!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN