Deru napas seorang gadis terlihat hampir diujung tanduk, cuaca yang mendukung serta fisik yang belum siap untuk mendapatkan hukuman push up selama limapuluh kali membuatnya kepayahan. Alesandra akhirnya menyelesaikan hukuman yang diberikan Patricio dalam kurun waktu Sepuluh menit, cukup memakan waktu sebenarnya. Namun, hal itu digunakan sang pelatih untuk memberikan contoh disiplin pada anggota Machitis yang lain.
Mental, itu adalah ujian yang perlu diingat dengan betul-betul oleh mereka. Pasalnya tak mudah menjadi Machitis sejati jika sangat sensitif dengan mental, lemah mental sedikit saja maka akan dengan mudah membuat mereka kalah ataupun menyerah. Sedikitnya ada beberapa orang anggota yang berkali-kali menelan ludahnya, baru beberapa jam di sini sudah mendapatkan kedisiplinan yang luar biasa.
“Ini adalah contoh buruk, kalian yang tidak disiplin akan mendapatkan hukuman yang sama atau bahkan lebih.” Patricio mengucapkan kalimat itu sambil menunjuk Alesandra. Sengaja ingin menunjukkan contoh negatif atau bahkan berniat merendahkan citra gadis itu.
Alesandra bangkit dari posisinya, ia berdiri dengan tegap dan hanya diam saja. Masalah mental seperti ini takkan membuatnya goyah, kehidupan kerasnya bahkan lebih menyeramkan daripada sekadar push up ini. Ia memang bukan terlahir sebagai Machitis murni, darah dan gennya lebih condong Timios. Namun, ia dalam hatinya lebih menyukai tantangan dan petualangan, serta pengalaman hidup yang keras membuatnya ingin bergabung sebagai Machitis meski harus berdarah-darah sekalipun.
Bricana diam memerhatikan teman barunya ini, dalam hati ia melihat Alesandra yang biasa saja dan tak terprovokasi dengan ucapan Patricio. Ia mengacungkan empat jempol bagi gadis itu, dan Bricana juga mulai menandai Patricio agar dia tak membuat kesalahan pada si pelatih utama tersebut. Jika dilihat-lihat, Patricio ini cocok menjadi tokoh antagonis sebuah n****+. Ketegasannya lebih mengarah pada kesadisan, entah lah atau ini hanya perasaannya saja?
“Selanjutnya kalian bisa membentuk sebuah lingkaran rapi,” titah Patricio yang langsung dilaksanakan oleh anggota.
Theodore juga di sana, selain itu ada beberapa penjaga yang sesekali mengarahkan barisan mereka. Ada sekitar tiga penjaga atau bisa disebut Machitis Security yang bertanggung jawab untuk mengarahkan dan membantu pelatih utama bila dibutuhkan tenaganya.
Bricana akhirnya bisa bersampingan lagi dengan Alesandra, gadis manis berkulit kecokelatan itu menatap Bricana dengan senyuman menenangkan, memberi kode bahwa ia baik-baik saja dan tak perlu dikhawatirkan. Bricana mengangguk singkat, sedikit banyak ia sudah tahu karakter kuat gadis tersebut.
Patricio mengelilingi mereka satu per satu sambil menatap singkat, kepalanya mengangguk dengan pelan.
“Apa kalian tahu alasan dikumpulkan di sini?”
“Tidak, coach.”
Patricio menatap pergelangan tangannya yang dilingkari oleh jam. “Machitis sangat berbeda dengan klan-klan lain yang menyediakan jam malam sebagai waktu istirahat, bukan! Di sini tidak peduli pagi, siang, atau malam jika aku memberi perintah untuk berlatih, maka kapan pun kalian harus siap. Tidak ada alasan keterlambatan, tidak ada alasan absen dan lain-lain.”
Beberapa orang agak kaget bercampur bingung, diawal penjelasan tak ada keterangan seperti ini? Namun, mana berani mereka menyuarakan pendapat.
Berbeda dengan Patricio yang terus mengoceh, Theodore lebih banyak diam, ia memang tak ingin terlalu mendominasi pelatihan. Tugasnya adalah sebagai wakil, atau pelatih kedua. Yang mana semua urusan utama dihandle langsung oleh Patricio, selebihnya bisa ia kerjakan bila Patricio berhalangan.
Saat matanya menatap ke seluruh penjuru, tiba-tiba netra itu terkunci pada sepasang kornea indah yang juga tengah menatapnya. Mata abu-abu yang amat menenangkan, juga tatapan yang terlihat anggun. Theodore merasakan ada kesamaan antara dirinya dan gadis itu, namun ia belum bisa mengatakannya dengan pasti karena tak ingin bila salah menebak.
Bricana berkedip sekali, hal itu membuatnya langsung fokus ke pelatihan. Ia menggelengkan kepala kecil, kenapa ia malah saling berpandangan dengan wakil pelatihnya?
Theodore pun ikut tersadar, buru-buru ia mengalihkan pandangan.
“Apa kalian mengerti?”
“Siap mengerti, Coach!” ujar mereka serentak.
“Bagus. Sekarang kalian bisa memulai pelatihan dengan ujian fisik. Lakukan peregangan, ikuti gerakan split dan juga rolling. Malam ini hanya itu saja, hari-hari selanjutnya kalian bisa berlatih panah dan pedang.”
“Baik, Coach.”
Mereka tidak sabar untuk memegang panah dan pedang, senjata itu memang yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar anggota. Karena, hanya klan ini lah yang boleh mempelajarinya secara resmi, sedangkan klan lainnya tidak boleh. Jika pun ada, itu pun harus sesuai dengan pengawasan orang-orang Machitis yang diutus untuk memberikan pelatihan dasar dan singkat, tak sampai menyeluruh.
Selain dua benda itu, masih ada hal lain, yakni pistol. Itu adalah senjata emas di antara yang lain, tentunya puncak latihan berada di level tertinggi.
Mereka harus bisa bertahan sejauh mungkin untuk berada di puncak latihan level paling tinggi. Setelah semua pelatihan fisik dan kesenjataan telah dipelajari, maka saatnya mereka untuk bertarung dan mempraktikkan pembelajaran mereka selama ini. Tak jarang, untuk bisa memenangkan hal itu sampai ada yang meregang nyawa, bukan rahasia umum lagi karena bisa saja sesama anggota malah saling bunuh demi kemenangan masing-masing.
Bricana dan yang lainnya memulai pelatihan mereka dengan serius, meskipun ada yang sudah mengantuk berat tapi tak berani meleng sedikit pun karena tahu bahwa hukuman berat pasti akan menanti.
Bagi yang bukan Machitis murni ataupun jarang melakukan olahraga namun nekat mengambil klan ini, maka tubuh mereka akan kesulitan mengambil posisi split. Patricio menatap mereka satu persatu dengan intens, gelengan muncul dari kepalanya hingga decak lidah pun tak luput dari bibirnya. Ia mengutuk orang-orang yang dengan asal nekat memilih klan ini tapi tak pernah berlatih fisik sebelumnya, sungguh merepotkan.
Theodore ikut berkeliling melihat mereka, sesekali ia membantu anggota yang salah posisi. Jika Patricio hanya bisa memarahi saja, berbeda dengan Theodore yang ikut membenahi posisi mereka jika salah.
Hingga saatnya Theodore sampai tepat di depan Bricana, posisi gadis itu sudah pas dan tak ada yang salah, sebab ia sudah terlatih dan biasa melakukannya. Namun, entah kenapa mata Theodore tak bisa lepas dari sosok itu, gadis bertubuh sedang dan cenderung kuat dari yang lainnya. Ada suatu hal yang memikat hatinya, Bricana menahan posisi plitnya, rambutnya yang digerai pun berjatuham menutupi wajahnya.
Kaki Theodore melangkah makin dekat, ia berjongkok tepat di belakang gadis itu. Bricana awalnya tak menyadari kehadiran sosok pria tersebut, namun kala jari-jari Theodore bergerak untuk menggulung rambut-rambut Bricana yang terurai, seketika itu rasa sedingin es langsung menjalar ke kulit leher belakang gadis itu, jari-jari Theodore menempel tak sengaja.
Hingga saatnya ia menoleh ke belakang, lagi-lagi tatapannya terkunci pada sosok Theodore yang dengan lincah tangannya bergerak untuk merapikan anak rambut Bricana setelah selesai digulung.
Syok? Tentu saja, bahkan Bricana terdiam saking membekunya. Apa ini? Pikirnya dalam hati.