Patricio menaikkan sebelah alisnya kala melihat rekan seklannya terlihat memedulikan seorang gadis. Jika biasanya Theodore hanya membenahi posisi salah mereka, namun kini pria itu terlihat amat peduli. Sampai mengikat rambut Bricana, Patricio berjalan mendekat lalu disusul oleh deheman singkat miliknya.
Sontak saja Bricana langsung bergerak gelisah, ia tak mau mencari masalah dengan pelatih galak ini. Di sisi lain, Theodore sendiri tampak biasa saja dan seolah-olah tak terjadi apapun. Ia pun bangkit dari duduknya, matanya menatap gadis itu yang nampak gelisah.
“Rambutmu mengganggu pelatihan, lain kali ikat terlebih dulu sebelum memasuki aula.” Thedore berkata demikian sebelum ia benar-benar pergi dari sana. Meninggalkan gadis berambut sebahu itu dengan pandangan kental akan kebingungan, ia pun segera melupakan hal itu dan kembali fokus pada pelatihannya.
“Kau tampak perhatian dengan muridmu?” sindir Patricio.
Theodore hanya berlalu melewatinya saja, ia sudah terbiasa dengan rekanannya yang memiliki mulut khas sindiran. Patricio mengangkat sudut bibirnya lalu mengendikkan bahu, sebelum pergi ia melirik pada Bricana. Memang Machitis murni yang telah terlatih bisa merasakan aura yang berbeda dari dirinya, entah apa itu namun Patricio bisa merasa bahwa Bricana adalah bibit baru yang bisa diunggulkan di klan ini.
Setelah dua jam penuh latihan di tengah malam akhirnya selesai juga, mereka pun dipersilahkan kembali ke asrama masing-masing. Bricana mendapat kenalan baru saat latihan tadi, gadis berusia lebih muda satu tahun darinya yang bernama Fonix—ia merupakan seorang yang sukarela memasuki dunia Machitis ini tanpa paksaan siapapun, gadis itu ramah dan juga mudah bergaul.
“Apakah menurut kalian latihan tadi cukup keras?” tanya Alesandra dengan agak berbisik, kini ketiganya sudah berjalan kembali ke kamar di asrama. Di sisi itu Alesandra merasa tulang-tulangnya ingin remuk seketika, bagaimana tidak? Meskipun ia memiliki keahlian bertarung tapi ia lebih suka hidup damai dan tenang-tenang saja. Ia memang masuk ke Machitis salah satunya adalah dorongan dari orangtua, tapi di sisi lain bisa bertemu dengan teman-teman di sini juga tidak buruk juga.
Hanya saja ia menyesalkan dengan pelatih utama yang cukup ganas, Alesandra harus berhati-hati ke depannya agar tak mencari masalah dengan pria bernama Patricio.
“Jujur saja ya, namun bukan keras, melainkan ketegasan dan kedisiplinan untuk kita.” Fonix menimpali, ia juga sudah kenal dengan Alesandra meski dengan durasi perkenalan yang amat singkat. Ketiganya sudah memasuki ruang kamar, mereka membuka baju dan berganti ke pakaian kaos yang memudahkan untuk dibawa tidur.
“Omong-omong Brice, tadi aku sempat melihat Coach Theo mendekat padamu. Ia terlihat peduli padamu?” tanya Fonix dengan kening bertaut.
Alesandra yang sibuk mengganti pakaiannya pun ikut mengangguk membenarkan. “Ya, ku lihat coach kita yang bernama Theodore itu lebih ramah dibandingkan Patricio. Dia juga lebih manusiawi, saat salah gerakan pun dia membantuku untuk memperbaikinya, bukan mengomel sepanjang latihan seperti Patricio.”
Bricana menggigit bibir dalamnya, jika dipikir-pikir benar juga perkataan Alesandra, Thodore lebih baik daripada Patricio, namun entah bagaimana nantinya karena belum tentu pria itu sebaik yang dikatakan.
“Fonix, tempat tidurmu di mana?”
“Itu. Ada di sebelah utara,” jawab Fonix.
“Ahh, tidak terlalu jauh dari kami. Baiklah mari segera tidur karena esok hari adalah waktu yang berat, jangan sampai membuat Patricio marah-marah atau kalian bisa terkena imbasnya.” Alesandra menghela napas berat, ia bahkan kapok dan tak ingin berurusan dengan pelatih utamanya itu.
“Sayang sekali pelatih kelompokmu adalah Coach Patricio,” desah Fonix. Saat ada pembagian latihan kelompok maka keduanya akan dibagi-bagi menjadi dua. Satu dipimpin oleh Patricio langsung, selebihnya Theodore.
Namun, jika pelatihannya menyeluruh maka tak ada pengelompokan. Beruntungnya Alesandra dan Bricana dipimpin oleh kelompok Theodore.
“Aku turut berduka untuk nasibmu,” bisik Alesandra sambil menepuk bahu teman barunya. Mmereka bertiga pun terkekeh pelan.
“Ya ya, sekarang aku merasa iri pada kalian.” Ia agak berdecak lidah.
“Sudah-sudah jangan adu nasib, kasihan Fonix. Lebih baik kita segera istirahat,” ucap Bricana menengahi.
Akhirnya mereka pun kembali ke ranjang masing-masing, ranjang single yang tak cukup empuk. Hanya ada selembar bantal kusut dan juga keras, lebar ranjang pun hanya seukuran punggung orang dewasa, sangat pas dengan badan. Bergerak banyak saja maka akan terjatuh di lantai dingin.
Mereka pun menarik selimut, mata mulai tertutup diiringi dengan matinya lampu. Setiap masuk waktu tidur maka lampu akan dimatikan, dan tidak ada yang protes selama ini.
Mereka harus terbiasa hidup keras di klan ini, yang layaknya bak penampungan militer.
Lampu telah dimatikan oleh petugas yang berjaga. Malam itu mereka mulai tidur di jam dua dini hari dan akan mulai bangun di pukul enam pagi. Waktu yang sangat singkat, istirahat pun bisa dikatakan kurang. Namun, apa boleh buat?
***
Pagi hari menyingsing, ada sedikit celah yang dapat memancarkan sinar matahari untuk masuk. Bunyi lonceng menandakan bahwa mereka harus bangun dan bersiap untuk membersihkan diri, setelahnya sarapan bersama dan latihan.
Mereka terkejut dengan suara lonceng yang amat memekakkan telinga. Dengan mata yang mengantuk dan punggung yang masih ingin bergelung di atas ranjang, akhirnya mau tak mau mereka pun bangun dengan agak terpaksa.
Para gadis itu segera menyambar handuk di loker masing-masing dan masuk ke dalam pemandian. Ada beberapa bilik berjejer, sekitar lima tempat. Meskipun begitu tetap saja kurang karena para anggota berjumlah lebih.
Bricana mengantre kloter kedua, matanya terlihat sayu, bahkan sesekali ia menguap karena saking mengantuknya. Mata ingin terpejam saja rasanya, jika dihitung-hitung maka ia hanya tidur selama empat jam saja. Sekuat-kuatnya ia berlatih fisik, jam tidur adalah hal yang sangat sensitif. Ia perlu waktu tidur yang cukup seiring dengan keseimbangan fisiknya, setidaknya ia butuh tujuh jam tidur.
Di sini, jangan harap!
Setelah mandi kilat mereka segera disuguhkan dengan sarapan yang diantar oleh koki-koki yang hanya akan datang ketika jam makan tiba. Mereka tidak dikumpulkan disuatu tempat khusus untuk makan, melainkan diberikan dan diantar oleh para petugas bagian perdapuran.
“Roti selai kacang dan segelas s**u,” gumam salah satu anggota. Nampaknya ia tak puas dengan makanan yang disajikan ini bila dilihat dari raut wajahnya.
“Kenapa?”
“Aku tidak bisa makan kacang, tubuhku akan gatal-gatal. Tapi bagaimana lagi? Daripada tidak sarapan dan berakhir pingsan saat latihan.”
“Tapi kalau kau memaksanya maka sama saja kau meracuni tubuhmu.”
“Akan ku coba, terakhir kali aku makan selai kacang adalah tujuh tahun yang lalu, semoga saja sekarang tubuhku sudah bisa menerimanya lagi.” Gadis berpawakan tinggi itu segera menyantap sarapannya.
Ya, di sini mereka bahkan tidak bisa memilih makanan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Alergi atau tidak, itu bukan urusan klan. Yang penting mereka sudah melaksanakan kewajiban untuk menanggung makan mereka selama pelatihan dan pencarian jati diri berlangsung.