Selesai menyantap makan malam mereka, tiba-tiba saja dari arah pintu terdengar suara langkah kaki yang bergemuruh. Sontak saja semua mata langsung memandang ke sumber suara, di sana terlihat beberapa orang tengah berjalan menghampiri sekumpulan anggota ini, wajah mereka cukup tegang dan seram. Siapa lagi jika bukan pemimpin klan—Patricio, pria itu memang memiliki aura kejam dan tak terbantahkan.
“Berbaris semuanya!” teriaknya dengan nada suara yang meninggi.
Sontak saja semua anggota Machitis refleks bangun dari tempat duduk mereka dan segera berbaris dengan rapi. Bricana berbaris paling depan, ia bisa melihat sekumpulan orang yang datang dimalam hari ini. Hanya dua orang yang ia kenali untuk saat ini, Patricio dan Theodore, selebihnya sangat awam.
“Ketika kalian ditakdirkan dan memilih untuk menjadi Machitis murni, maka tidak ada kata bermalas-malasan, kalian harus menjadi petarung sejati dan memiliki jiwa keberanian yang tinggi.” Patricio membuka obrolan. Suaranya begitu menggelegar dan sarat akan perintah. Dari auranya saja sudah bisa dipastikan bahwa Patricio memiliki kuasa penuh atas klan ini, pria itu juga keras dan sangat disiplin.
Bricana menghela napas pelan, semoga saja pilihannya untuk masuk ke sini bukan menjadi penyesalan hidupnya.
“Setelah ini kalian harus berkumpul di aula pelatihan, segera bersiap untuk datang ke sana!” ujar Patricio memberi perintah yang mutlak.
Salah satu dari anggota klan menyela. “Maaf, ini sudah malam dan sudah waktunya untuk beristirahat.”
Mendengar hal itu membuat Patricio tersenyum, bukan senyum ramah—melainkan senyuman miring khas tokoh antagonis.
“Apakah kau sudah mempelajari peraturan klan ini? Tidak ada perbedaan antara siang dan malam, jika kami meminta kalian untuk berlatih, maka itu adalah titah mutlak yang tak bisa dibantah.”
Patricio berjalan mendekati anggota tadi, tangannya menepuk bahu pria bertubuh kurus itu. Lalu disusul dengan suara erangan tertahan, Patricio ternyata meremat pundak pria itu hingga si empunya merasa kesakitan.
“Ishh ... Arghh,” erangnya.
Dugh.
Selanjutnya Patricio menendang lutut pria itu hingga terjengkang ke belakang. Semua yang ada di sana juga menyaksikan, mereka hanya diam dan tak berani membantu, pasalnya Patricio sungguh mengerikan dengan aura kentalnya.
“Lemah! Orang seperti ini tidak bisa diharapkan menjadi Machitis sejati.” Cibir Patricio, ia mengusap tangannya seolah membersihkannya dari debu.
Alesandra yang berada tepat di samping orang itu pun meneguk ludahnya dengan kasar, bulu kuduknya jadi meremang. Ia tak boleh mencari masalah dengan Patricio ini, selain lidahnya yang setajam silet, juga agak bertindak kejam dan tak main-main dengan ucapannya.
“Bawa dia keluar dari klan!” ucap Patricio pada dua bawahannya.
Seketika itu dua bawahan tadi langsung menyeret pria itu dengan tak berperasaan.
“Tolong, jangan keluarkan aku!” teriaknya, namun tak ada respon sama sekali. Dikeluarkan dari klan sama saja dengan dibuang, orang buangan seperti dirinya dianggap sampah oleh masyarakat.
Bricana hanya bisa memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ia tak sengaja saling bertatapan dengan Theodore yang juga tengah menatap dirinya sekilas, setelahnya keduanya pun memutus pandang masing-masing. Bricana agak penasaran dengan Theodore, pria satu ini lebih irit bicara dan terkesan pendiam daripada Patricio.
Bricana merasa bahwa sedikitnya Theodore memiliki perbedaan dari Patricio. Yah, meskipun mereka baru saja saling bertemu kurang dari duapuluh empat jam, namun biasanya feeling Bricana tak pernah meleset saat meninjau seseorang. Sekilas memang pendiam, namun Theodore menyimpan begitu banyak rahasia dalam dirinya yang tak diketahui oleh orang luar, bahkan karib klannya sekalipun.
Patricio kembali ke depan sambil menatap ke seluruh anggota. “Itu adalah contoh bila kalian lemah dan lalai dalam berlatih, aku tidak akan segan membuang kalian sama seperti dirinya.”
Sontak saja semua anggota langsung terdiam, suasana menjadi menyeramkan seketika. Bahkan untuk bernapas pun mereka takut-takut, takut bila hal itu dianggap menyinggung Patricio.
“Aku memberi kalian waktu lima menit untuk berganti pakaian berlatih, setelahnya segera berkumpul di aula. Terlembat satu detik saja, kalian akan mendapat hukuman.”
Mendengar titah Patricio, sontak saja semua orang langsung berhambur ke loker masing-masing untuk mengambil pakaian. Patricio berlalu dari tempat itu, disusul oleh Theodore yang berdehem pelan.
“Apakah sikapmu tadi tidak begitu keterlaluan?” tanya Theodore.
Patricio menaikkan sebelah alisnya sambil terkekeh pelan. “Kau tahu sendiri bagaimana aku, Theo? Sampah seperti itu tidak pantas dipertahankan di klan kita.”
Mendengar jawaban dari Patricio sontak membungkam Theodore, ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Toh, semua yang memegang kendali adalah Patricio, sedangkan dirinya hanya pelatih yang tak ada andil dalam kepemimpinan utama klan ini.
Lima menit adalah waktu mutlak, bahkan Patricio menggunakan stopwatch untuk mengukur kedisiplinan para anggota Machitis. Pukul delapan tepat, semua anggota sudah berdiri dan berbaris rapi di aula pelatihan, malam itu suasana cukup dingin, beberapa anggota yang memang tak bertahan dengan kondisi ruangan pun sesekali terbatuk dan sesak. Pasalnya, klan Machitis berada di lembah dan bangunannya terdiri dari batu alam, tak heran bila tempat itu lebih sejuk daripada klan-klan lain.
Patricio membawa penggaris panjang yang ia tepuk-tepukkan pada tangannya, matanya dengan jeli menghitung anggota yang datang. Kurang lebih ada sekitar tigapuluh anggota yang masuk dalam Machitis, semua orang ini memang ada yang ditakdirkan, ada pula yang memilih menjadi Machitis dengan kemampuan seadanya namun bersamaan tekad yang bulat.
“Kau, push up limapuluh kali.” Patricio menunjuk Alesandra.
Gadis itu membulatkan mata terkejut, memangnya ia salah apa? Alesandra menunjuk dirinya sendiri dengan kebingungan, tapi tak urung ia pun melakukannya meski dengan terpaksa.
“Contoh yang tidak baik ini jangan ditiru, mengenakan pakaian secara terbalik dan berantakan.” Patricio menunjuk baju latihan yang dikenakan Alesandra, memang terbalik dan tidak rapi. Yang seharusnya dimasukkan ke dalam celana, tapi Alesandra tak melakukan itu.
Semua anggota di sana menahan napas sejenak, sambil melirik pakaian mereka apakah sudah rapi atau belum. Beberapa orang yang terburu-buru untuk berkumpul di aula memang tak memerhatikan pakaian mereka, hanya berfokus pada waktu yang ditentukan.
Bayangkan saja, lima menit bukan jangka yang panjang. Mereka bahkan harus saling sikut antar teman, jika bukan begitu maka tak ada waktu lagi untuk datang ke aula di waktu yang tepat.
Kembali pada Alesandra, gadis itu sudah terengah-engah dan berkeringat di saat cuaca sedang dingin-dinginnya. Melihat hal itu, membuat Bricana meringis tipis, ia sendiri tak bisa membantu temannya itu.
Alesandra menghitung dalam hati, ia baru mendapat duapuluh tiga push up, angka yang masih jauh dari permintaan Patricio. Namun, jika ia tidak bisa mendapatkan limapuluh push up maka hal terburuknya adalah dikeluarkan paksa dari sini, ia tak boleh gagal. Kesempatan menjadi Machitis ada pada tangannya dan nasibnya kali ini.