Bab 5. Kesedihan Luna

1246 Kata
Sementara itu, Luna yang diantarkan sopir pun tiba di rumah. Ia mengucapkan terima kasih kepada sopir tersebut lalu segera turun. Ia membuang napas panjang dengan berat karena pulang ke rumah ayahnya tidak selalu menyenangkan. Ia memiliki seorang ibu tiri yang galak bernama Lestari dan saudari tiri yang menyebalkan. Siapa yang betah tinggal di sini? Luna hampir mengetuk pintu rumah, tetapi ia menahan dirinya. Ia menurunkan tangannya yang semula sudah terangkat. Tanpa sengaja ia mendengar obrolan Mira dengan Lestari yang menyinggung tentang dirinya dan Dimas. Jadi, ia memutuskan untuk menguping lebih dulu. "Untung aja papa mau dibujuk kemarin." Suara Mira terdengar di telinga Luna. "Kalau nggak, aku yang harus jadi tunangan tuan Dimas. Ih, ogah banget!" Luna yang berdiri di depan pintu langsung mengepalkan tangannya karena ia baru mengetahui fakta itu. Rupanya, bukan ia yang seharusnya datang ke vila malam itu, melainkan Mira. Apalagi ia mendengar nada jijik dari ucapan Mira. Seolah-olah, bertunangan dengan Dimas adalah hal yang paling mengerikan. "Ya. Kamu tahu sendiri kalau papa kamu lebih sayang sama kamu dibandingkan sama Luna. Mana mungkin kami tega biarin kamu disentuh sama pria tua jelek itu." Kali ini Lestari yang bicara. Sama seperti Mira, ia juga bicara dengan nada jijik. "Kamu berhak mendapatkan pria muda tampan yang jauh lebih kaya raya dibandingkan Dimas." "Tapi, Ma. Kalau nanti Luna akhirnya nikah sama tuan Dimas, berarti dia bakal jadi tante aku dong. Aku 'kan lagi pacaran sama Fabian. Aku nggak mau punya tante kayak Luna!" gerutu Mira. Di luar pintu, Luna mencoba mencerna ucapan mereka. Ia tak pernah mendengar nama Fabian sebelumnya, tetapi ia menebak bahwa pria itu adalah keponakan dari Dimas. Benar juga, jika ia menikah dengan Dimas suatu hari, maka ia akan menjadi bibi dari Fabian dan Mira. "Luna bukan apa-apa. Mama yakin Dimas nggak bakalan serius sama Luna. Yang Mama denger, Dimas sering memainkan wanita walaupun dia jelek. Kamu tahu sendiri dia langsung meminta Luna malam itu juga. Mama yakin dia cuma main-main sama tubuh Luna," ujar Lestari dengan nada menebak-nebak. Luna mengepalkan tangannya. Ia yang sudah dikorbankan oleh keluarga ini. Padahal, ia melakukan semuanya untuk menyelamatkan kelangsungan perusahaan kecil ayahnya. "Kamu tenang aja," lanjut Lestari. "Fabian 'kan calon pewaris harta keluarga Erlangga. Sedangkan Dimas, dia cuma putra ketiga yang nggak bisa diharapkan. Kamu bisa menjadi nyonya keluarga Erlangga di masa depan. Sementara Luna, dia nggak bakal jadi apa-apa. Luna lalu mendengar Lestari dan Mira tertawa bersama. "Ya. Apes banget Luna harus nikah sama pria jelek, tua lagi. Dan dia juga nggak bakal dapat warisan apapun dari keluarga Erlangga. Tapi aku tetep aja kesel, Ma. Kalau suatu hari nanti dia bakal jadi tante aku. Gimanapun, aku nggak mau harus hormat ke dia. Enak aja! Dia 'kan cuma anak haram!" Kedua mata Luna memanas mendengar ucapan Mira. Ia merasa bahwa mimpi buruknya tengah hadir lagi. Anak haram, anak tidak sah dari keluarga ayahnya. Sungguh sial nasib yang ia miliki! "Itu kamu tahu, dia cuma anak haram. Kamu nggak perlu minder sama anak kayak Luna. Dia aja udah dibuang dan ditinggalin sama ibu kandungnya. Kamu nggak lupa 'kan sama cerita Mama? Dulu, Luna diberikan ke sini sama ibunya karena dia nggak mau besarin Luna. Jadi, Mama yakin suatu hari nanti Dimas juga bakal kayak gitu. Gadis kayak Luna emang pantes ditinggalin." Luna semakin geram dengan ucapan ibu tirinya. Tanpa sadar, ia sudah menangis di muka pintu. Hanya karena ia anak haram, tak pantaskah ia mendapatkan kasih sayang? Bahkan, ayahnya tega mengirim ia pada pria seperti Dimas. Luna membatalkan niatnya untuk masuk ke rumah. Ia segera keluar dari gerbang lalu berjalan dengan langkah cepat. Sembari terisak-isak, ia terus melangkah. "Mama aku tega ninggalin aku di keluarga ini!" batin Luna dengan penuh rasa kesedihan. Ingatannya memutar mimpi semalam yang telah ia lupakan. Ia tak pernah ingin tinggal di sini. "Papa juga jahat sama aku! Harusnya Mira yang jadi tunangan om Dimas! Bukan aku! Tapi ... aku lagi harus dikorbankan! Padahal, aku juga anak papa. Apa aku nggak berhak hidup bahagia dan disayangi?" Luna masih terisak-isak ketika tanpa ia sadari seseorang telah mengikutinya sejak tadi. Yah, Dimas yang masih penasaran dengan asal-usul Luna pun berniat melihat langsung bagaimana keluarga Luna. Sayangnya, ketika ia tiba di depan pintu gerbang rumah Luna, ia justru melihat gadis itu setengah berlari menjauh dari rumah—sambil menangis. "Kenapa dia nangis sambil jalan gitu? Bukannya dia mau kuliah?" Dimas bertanya dalam hati. Ia meninggalkan mobilnya lalu ikut berjalan menyusul langkah cepat Luna. Dimas terus mengikuti Luna tanpa peduli mereka sudah berjalan cukup jauh dari rumah Luna. Ia sengaja menjaga jarak karena ia merasa Luna butuh waktu untuk mengatasi kesedihannya. Dan kini, Luna berhenti di sebuah kedai kue dan es krim. Dimas menelengkan kepalanya, ia ingin sekali menghibur Luna, tetapi ia masih menunggu waktu yang tepat. "Dia mau ngapain sih?" Dimas menebak-nebak sementara kedua matanya terus terpaku pada Luna. "Dia pasti mau jajan kue." Yah, Luna sedang kebingungan untuk menentukan menu dessert yang hendak ia pilih. Ia ingin menjernihkan kepalanya dengan makanan yang manis. Jadi, ia menunduk pada banner menu yang ada di depan kedai. Jemarinya yang lentik menunjuk menu satu persatu sambil berpikir. Dimas yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa tertawa karena merasa Luna sangat menggemaskan. Ia baru saja hendak mendekati Luna, tetapi tiba-tiba sesuatu menabraknya dengan keras. "Aahh!" Pekikan dan suara keras terdengar di hadapan Dimas. Ia pun menunduk pada bocah laki-laki yang terduduk di depannya. Bocah itu mungkin baru berumur 7 atau 8 tahun. Dan bocah itu terlihat sangat kesakitan akibat mendarat di trotoar yang keras. Dimas menatapnya dengan cemas. "Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Dimas seraya membungkukkan tubuhnya. Ia berniat membantu bocah laki-laki itu untuk bangun. "Ya, aku ...." Bocah itu menengadah untuk menatap Dimas. Kedua matanya langsung melebar sempurna melihat sosok mengerikan di depannya. Sontak, mata besarnya itu langsung gemetar dan ia mengepalkan tangannya. "Nggak apa-apa, ayo aku bantu berdiri," ujar Dimas. Ia mengulurkan tangannya pada si bocah, tetapi bocah itu langsung menepis tangannya. "Hei, apa ada yang sakit?" "Jangan! Jangan, Om! Aku takut!" pekik bocah itu seraya menyeret tubuhnya ke belakang. "Aku nggak bakal ngelukain kamu. Aku cuma mau tolong kamu," ujar Dimas lagi. Alih-alih tenang, bocah itu semakin keras menjerit karena takut dengan wajah rusak Dimas. Tangisannya melengking dan kerumunan pun tak terelakkan. Seorang wanita setengah baya tiba-tiba menyeruak dan terkaget karena melihat cucunya terduduk gemetar di trotoar dengan tangan teracung ke arah Dimas. "Apa yang terjadi?" tanya si nenek pada cucunya. "Om itu ... om itu ...." Si anak hanya terbata seraya menunjuk wajah Dimas. "Apa yang kamu lakukan sama cucu saya?" Wanita itu langsung berdiri dan menatap sengit Dimas. "Kenapa cucu saya bisa jatuh? Kamu apakan cucu saya?" Dimas ingin menjelaskan bahwa ini hanyalah kecelakaan, tetapi wanita itu lebih dulu melayangkan pukulan ke arah Dimas. Ia terlihat tidak terima karena cucunya jatuh di pinggir jalan dan sangat ketakutan. Atau barangkali, ia dianggap sudah menakut-nakuti cucunya. Dimas mengepalkan tangannya, ia menahan pukulan di wanita dengan lengan terlipat di depan wajahnya. Sungguh sial! Wajah buruknya sudah membuat masalah lagi! "Apa kamu udah pukul cucu saya sampai jatuh? Apa kamu melecehkan dia?" tanya wanita itu tanpa ampun. "Dasar pria kasar jelek!" Dimas masih menahan hinaan yang dilayangkan oleh wanita itu. Apalagi ditambah decakan dan gumaman yang ia dengar dari orang-orang yang mulai berkerumun. Ditambah bocah itu hanya bisa menangis. Sungguh mengesalkan! Reza yang melihat kejadian itu dari kejauhan pun melangkah, ia hendak menyelamatkan tuannya dari masalah. Namun, langkahnya terhenti karena melihat Luna ada di sekitar sana. Ia tersenyum miring karena penasaran akankah Luna bisa menunjukkan ketulusannya pada Dimas kali ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN