Bab 4. Rahasia Dimas

1367 Kata
Luna menggeleng lagi. "Aku nggak takut sama Om." Luna mengulurkan tangannya ke wajah Dimas jadi ia bisa menyentuh bekas luka bakar itu. Sensasi unik menjalari tangan Luna, kulit berparut kemerahan begitu lembut dan terkesan tipis. Sangat berbeda dengan sisi wajah Dimas yang baik-baik saja. Luna memiringkan wajahnya untuk melihat lebih jeli wajah Dimas. Setelah ia memperhatikan, bekas luka Dimas tidaklah mengerikan seperti yang pertama kali ia lihat. Bahkan jika ia merasa takut, ia pasti bisa mengatasi itu nanti. Dimas pun tersenyum karena reaksi yang ditunjukkan oleh Luna. "Kayaknya Luna bener-bener nggak takut sama aku," batin Dimas yang masih mengagumi wajah cantik Luna. Kini, ia sangat ingin mencium bibir gadis belia itu. Napas Luna tertahan ketika Dimas melepaskan pakaiannya yang hampir terbuka. Sesaat tadi, ia mengira Dimas akan melakukan hal seperti tadi malam. Namun, Dimas ternyata hanya mencium bibirnya. Berbeda dengan semalam, kini Dimas mencium bibir Luna dengan hati-hati dan begitu lembut. Rasa takut Luna semakin luntur karena kelembutan yang diberikan oleh Dimas di tubuhnya. Usai mencium bibir Luna, Dimas menarik diri. Namun, Luna masih melingkarkan kedua lengannya di bahu Dimas hingga keduanya bisa saling menatap. Luna berdebar tak terkira karena ini adalah momen terdekat dirinya dengan seorang pria. Dan pria itu adalah tunangannya. Luna membelai pelan wajah Dimas lagi. "Om punya mata yang indah. Dan ini ... bekas luka ini nggak bakal bikin aku takut. Ini indah." Luna ingin Dimas tahu ia benar-benar menyesali sikapnya kemarin yang tidak sopan. Ia juga ingin Dimas melihat ketulusannya. Jadi, mengenyahkan rasa takutnya, Luna segera mencium sisi kanan wajah Dimas yang memiliki luka bakar. Dimas terkesiap. Ia cukup terkejut dengan aksi Luna yang mendadak. Ia tak tahu apakah gadis ini sedang berpura-pura atau tidak, tetapi ketika Luna melepaskan ciumannya, ia bisa melihat ketulusan di kedua mata bening Luna. Dimas pun tersenyum tipis. Luna, benar-benar adalah gadis yang berbeda. Barangkali, Luna bisa menerima kekurangannya. Mereka masih bertatapan dalam posisi yang sangat dekat ketika tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Keduanya spontan menoleh ke arah pintu dengan kaget. Dimas mendesis pelan lalu menegakkan dirinya dari tubuh Luna. "Sebentar, itu pasti pelayan," kata Dimas pada Luna yang ikut-ikutan duduk lalu merapikan bajunya dengan malu-malu. "Ya," tukas Luna. Luna menatap ke arah Dimas. Pria itu berjalan dengan anggun ke arah pintu lalu bicara sejenak dengan pelayan yang begitu hormat padanya. Tak lama, Dimas kembali ke ranjang. Ia duduk di sana lalu melempar senyum. "Kamu ada kuliah pagi ini?" tanya Dimas. "Ya. Aku harus pulang, Om. Buku-buku aku di rumah," jawab Luna. "Kamu bisa mandi di sini. Kita sarapan bersama," ujar Dimas. Luna menelan keras. Ia tak pernah mandi di rumah orang lain. Dan kini, Dimas memintanya untuk mandi di sini. Ia bahkan tak membawa baju ganti dan ia tak yakin apakah di sini ada pakaian perempuan. "Aku cuci muka aja, Om. Aku bisa mandi di rumah nanti kalau aku pulang." "Oke, ya udah. Aku mandi dulu. Kamu bisa tunggu bentar. Kita turun bareng nanti." Dimas mengulurkan tangannya ke puncak kepala Luna lalu mengacaknya pelan. Ia tertawa kecil karena merasa Luna begitu menggemaskan. Luna menjadi salah tingkah. Bahkan setelah Dimas berlalu ke kamar mandinya, ia masih merasa gugup. Ia berharap keputusannya tidak salah. Ia sudah menerima pertunangan ini. Itu artinya ia juga harus menerima seperti apakah sosok tunangannya. Luna menunggu Dimas selesai mandi lalu ia bergiliran membersihkan diri di kamar mandi mewah itu. "Ayo kita sarapan," ajak Dimas pada Luna yang malu-malu keluar dari kamar mandi. Dimas tersenyum melihat wajah Luna sudah sangat segar meskipun gadis itu hanya mencuci wajahnya. "Ya, ayo." Luna tak mengalihkan tatapannya dari Dimas yang berjalan lebih dulu menuruni anak tangga. Dimas berbadan tinggi tegap dengan rambut hitam kelam yang lebat. Bahkan, punggung pria itu begitu lebar dan sepertinya sangat nyaman untuk dijadikan sandaran. Dan bahunya juga terlihat sangat kokoh apalagi dadanya. Ia sudah menyentuhnya. Itu adalah tempat yang paling cocok untuk merebahkan diri. Luna menggeleng keras ketika imajinasinya semakin liar. Ia pun memilih untuk berjalan lebih cepat menyusul Dimas ke ruang makan. "Kamu bermimpi semalam," ujar Dimas membuka obrolan. "Apa?" Luna yang sedang mengunyah pancake pun terkejut. "Aku mimpi apa?" "Kenapa kamu tanya sama aku?" Dimas melayangkan tatapan heran pada Luna. "Aku denger kamu nangis-nangis di luar kamar makanya aku bawa kamu ke dalam. Aku kira kamu nangis gara-gara aku nyuruh kamu pulang, ternyata kamu tidur sambil nangis. Apa kamu dapet mimpi buruk?" Luna mencoba mengingat-ingat mimpinya. Ia hanya membuang napas panjang karena ia yakin mimpi itu berhubungan dengan ibu kandungnya. "Aku nggak inget, Om," jawab Luna. "Kamu nggak cuma nangis, kamu juga ngomong nggak jelas selagi tidur. Aku khawatir sama kamu. Aku yakin, kamu pasti udah mimpi buruk." Luna mengerjap pelan. "Apa aku udah ganggu istirahat Om?" "Ehm ... bisa dibilang kayak gitu. Tadinya aku mau bangunin kamu, tapi aku nggak tega. Kamu ternyata bisa tidur nyenyak di kamar aku," ujar Dimas. Luna langsung memerah. Ia tak sadar bagaimana tubuhnya bisa dipindahkan ke kamar Dimas. Namun, kamar itu memang sangat nyaman. Atau barangkali, dekapan si empunya kamar yang telah membuatnya nyaman. Sembari makan, Luna mencuri pandang ke arah Dimas yang sedang menikmati kopi paginya. Ia menatap wajah Dimas dan ia sadar separuh wajah Dimas begitu indah. Dimas memiliki mata yang tajam, hidung mancung dan bibir tebal yang sangat seksi. Andai saja separuh wajahnya lagi tidak rusak pastilah Dimas akan terlihat begitu tampan dan sempurna. "Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Dimas yang merasa kedua manik Luna terus bertuju ke arahnya. Ia sudah sering mendapatkan tatapan dari orang lain, jadi aksi Luna itu tak asing lagi baginya. Luna menggeleng cepat. "Aku tahu, Om ganteng." Dimas hampir tersedak dan segera meneguk kopinya. Ia melirik Luna. Gadis itu tersenyum manis padanya dan itu membuat hati Dimas semakin hangat. Sepertinya gadis ini memang tepat untuknya. "Aku nggak bohong. Om ganteng," ulang Luna lagi. "Aku udah bilang tadi, Om punya mata yang indah." "Kamu bisa aja kalau ngomong, awas kalau kamu tarik kembali omongan kamu," ujar Dimas. "Nggaklah, Om. Aku bukan pembual," tukas Luna. "Aku udah selesai makan. Aku harus pulang, Om." Dimas mengangguk. Ia juga sudah selesai menikmati kopinya. Usai sarapan, Dimas mengantarkan Luna ke mobil. Ia sudah meminta sopir untuk mengantarkan Luna pulang. "Jaga baik-baik tunanganku!" "Baik, Tuan. Anda tidak usah khawatir. Saya akan mengantarkan nona Luna dengan selamat," ujar sopir itu. Luna melambaikan tangannya pada Dimas. "Aku pulang dulu, Om." "Ehm, baik-baik kuliahnya." *** Dimas kini telah berada di ruang kerjanya bersama Reza, sopir pribadi sekaligus sekretarisnya. Reza adalah orang kepercayaan Dimas. Karena ia tak tahu apa-apa mengenai latar belakang Luna, ia meminta Reza untuk mengumpulkan semua hal yang berkaitan dengan tunangannya itu. "Apa kamu udah ngumpulin semua informasi tentang Luna dan keluarganya?" tanya Dimas pada Reza. "Ya, Tuan." Reza memberikan beberapa berkas pada Dimas yang langsung membacanya. "Luna Gitari Rahmat, 19 tahun," gumam Dimas membaca berkas. "Ya, nona Luna adalah putri tidak sah dari Pak Rahmat pemilik PT Sinar Mentari. Perusahaan itu menjalankan bisnis frozen food dan hampir bangkrut. Ibu kandung nona Luna tidak diketahui dengan pasti. Dan nona Luna memiliki ibu tiri bernama Lestari. Beliau juga memiliki satu saudari tiri bernama Mira. Keduanya seumuran." "Ehm, ya. Dia ... baru mulai kuliah tahun ini?" tanya Dimas yang memeriksa berkas Luna. "Ya, Tuan. Saya baru tahu kalau Mira memiliki hubungan khusus dengan Fabian, keponakan Anda. Tampaknya mereka berpacaran," lapor Reza. Alis mata Dimas seketika terangkat mendengar nama Fabian, putra dari Farhan, kakaknya. Karena ia tidak dekat dengan Farhan, ia juga tak begitu menyukai Fabian. Reza kini menatap tuannya dengan penasaran. "Semalam, nona Luna benar-benar menunggu Anda di depan kamar dan nggak mau pulang. Jadi, apakah dia sudah sesuai dengan kriteria yang Anda harapkan?" Dimas membuang napas panjang lalu mengangguk. "Ya. Kayaknya dia beneran nggak takut sama muka rusak aku. Dia bisa menerima aku apa adanya. Dia juga bilang kalau aku ganteng." Reza tersenyum lega mendengar ucapan Dimas. "Kalau Anda udah yakin dengan perasaan nona Luna, kenapa Anda tidak menunjukkan jati diri Anda yang sebenarnya?" Dimas tersenyum miring. "Itu ... belum saatnya." Dimas segera berdiri. Ia mengulurkan tangannya ke arah leher lalu menarik sesuatu dari sana. Dalam sekejap, Dimas melepaskan topeng kulit yang selalu ia kenakan diam-diam. Tak seorang pun tahu bahwa ia hanya berpura-pura memiliki wajah cacat. Hanya Reza yang tahu rahasianya. Selama ini, Dimas selalu menyembunyikan wajah tampannya yang asli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN