Bab 6. Melindungi Dimas

1473 Kata
Luna yang tadinya hendak memilih menu makanan pun mendengar keributan tak jauh darinya. Ia mengusap pipinya lalu memicingkan mata. "Ada apa sih? Itu ... bukannya itu om Dimas?" Luna menutup bibirnya ketika melihat seorang anak kecil menangis keras sambil menunjuk ke arah Dimas dan seorang wanita tua memukuli lengan Dimas tanpa ampun. Kerumunan pun semakin sesak hingga Luna tak bisa melihat apapun. "Kenapa om Dimas bisa di sini? Apa yang terjadi sih?" Tergesa-gesa, Luna segera menyibak kerumunan orang yang menonton adanya keributan tersebut. "Dia jatuh! Dia cuma jatuh gara-gara nabrak saya!" Dimas berbicara keras di antara pukulan wanita tua itu. Sebenarnya ia bisa saja membalas pukulan tersebut, tetapi ia bukan pria yang akan memukul seorang wanita. "Hentikan!" Luna berteriak. Ia mendekati Dimas lalu merentangkan tangan di depan tubuhnya. "Jangan pukuli dia!" "Dia udah bikin cucu saya celaka dan nangis, Mbak," ujar si wanita. Luna menggeleng. Entah bagaimana, ia yakin Dimas tak akan melakukan itu. Ia masih bersikukuh merentangkan tangannya untuk melindungi tubuh Dimas. Sementara itu, di belakangnya Dimas tentu terkejut. Luna dengan berani menjadi tameng baginya ketika ia kesulitan. "Nggak mungkin om Dimas jahat sama anak kecil," bela Luna. "Ah, kamu kenal sama dia rupanya. Makanya kamu belain pria itu," kata si wanita sengit. "Ya, dia tunangan saya!" seru Luna dengan berani. Hati Dimas seolah diisi oleh puluhan kembang api yang meletup bersamaan. Luna yang melindungi dirinya saja sudah membuat ia senang, apalagi Luna yang dengan keras mengakui dirinya sebagai seorang tunangan. Padahal, kasak-kusuk di sekitar mereka terus terdengar. Tentu saja, ada orang yang tak percaya bahwa gadis semuda dan secantik Luna mau bertunangan dengan pria yang punya luka bakar mengerikan di wajahnya. "Kamu nggak liat ini, Mbak, cucu saya nangis ketakutan dan jatuh di trotoar!" hardik si wanita. "Semua orang di sini saksinya. Mereka liat cucu saya nangis-nangis gara-gara tunangan kamu itu! Pokoknya, saya mau ganti rugi, dia harus tanggung jawab!" Luna mendengkus keras. Ia menoleh pada Dimas dan mengangguk kecil. Hatinya seratus persen yakin wanita ini mengada-ada. "Kalau gitu, kita liat rekaman CCTV yang ada di sini. Saya nggak percaya kalau om Dimas tega sama anak sekecil cucu Anda." "Apa? CCTV?" Wanita itu mengerjap cepat. "Ya. Pasti ada di toko ini." Luna menoleh ke arah toko bunga yang ada di depan tempat kejadian perkara. Dan beruntung, ada kamera yang terpasang di dekat pintu masuk. Dimas diam-diam tersenyum kaena ucapan brilian Luna. Ia menjadi lebih percaya diri dan menggandeng tangan Luna yang masih terentang. Ia benar-benar bangga memiliki tunangan seperti Luna. "Oke, kita buktikan. Tapi, kalau benar tunangan kamu yang udah bikin cucu saya jatuh, saya bakal minta ganti rugi," kata si wanita itu. Luna mengangguk mantap. Ia merasakan genggaman tangan Dimas menguat. Kerumunan masih berbisik karena mereka juga sama-sama penasaran dengan kejadian yang sebenernya. "Kalian bisa lihat di sini," ujar salah satu orang yang ada di kerumunan. Ternyata, dia adalah pemilik toko bunga. Ia membawa Luna dan yang lain ke monitor besar yang ada di dekat pintu masuk. "Saya akan putarkan rekamannya." Dimas membasahi bibirnya. Ia tak sabar untuk menunjukkan pada wanita sombong itu bahwa bukan ia yang salah. Dan akhirnya ketika pemilik toko memutar video rekaman CCTV terungkap sudah bahwa memang benar bukan ia yang membuat anak itu jatuh. "Nah, itu, Nek. Cucu nenek yang lari-lari nggak ngeliat kanan-kiri. Tahu-tahu nabrak om Dimas," kata Luna seraya menunjuk ke arah layar monitor. Dimas kembali tersenyum. Luna benar-benar menjadi pahlawan hari ini. "Tapi ... tapi cucu saya nangis!" Wanita itu memeluk cucunya dengan posesif. Ia menoleh malu pada semua orang yang terlihat kecewa dengan tontonan ini. Kerumunan pun seketika bubar. "Dia mungkin cuma kaget," ujar Luna. Ia mendekati si bocah dan menyentuh pipinya sejenak. "Kamu nggak apa-apa, 'kan? Siapa nama kamu?" "Enda, Tante. Aku nggak apa-apa," jawab anak kecil itu malu-malu. Ia menunduk dan menghindari wajah Dimas. Luna pun berlutut di depan anak itu lalu menyentuh bahu kecilnya. "Om itu nggak jahat kok. Kamu nggak harus takut. Wajahnya cuma sakit." Enda mengangkat dagunya lalu bertatapan dengan Dimas yang melipat lengannya di depan d**a. Enda lalu berbisik, "Om itu serem, Tante." "Sstt!" Luna mengacungkan jarinya di depan bibir. "Kamu nggak boleh menilai orang dari fisik luarnya aja. Oke?" Enda mengangguk pelan. "Ya." "Kamu minta maaf sama om itu sekarang." Luna menarik tangan kecil Enda dan membawanya ke dekat Dimas. "Nggak apa-apa, sini." Enda mengulurkan tangannya pada Dimas dan wajah mungilnya kini menampakkan ekspresi penuh sesal. "Maaf, Om. Gara-gara aku, Om jadi malu." Dimas mengangguk pelan dan menerima tangan kecil Enda. "Nggak masalah." Ia dengan gemas mengusap kepala Enda dan tersenyum. "Nenek juga harus minta maaf sama om Dimas. Gara-gara tuduhan Nenek, om Dimas jadi dipojokkan. Padahal dia nggak salah. Harusnya Nenek lebih sabar dan mau dengerin penjelasan orang lain," kata Luna dengan nada kesal. Wanita itu membuang napas panjang. Ia memang kelewat marah dan cemas tadi. "Maaf, saya nggak bermaksud menyudutkan kamu." Dimas hanya mengangguk pelan. "Lebih baik Anda jaga baik-baik cucu Anda agar tidak berlarian kayak tadi. Beruntung yang ditabrak hanya saya, gimana kalau ada mobil atau motor di jalan?" Dimas tak menunggu respon wanita itu. Ia langsung menarik bahu Luna lalu membawanya ke luar toko bunga. Ia terus tersenyum bangga karena apa yang dilakukan oleh Luna untuknya. "Kenapa kamu di sini? Bukannya tadi kamu mau mandi dan siap-siap kuliah?" tanya Dimas begitu mereka keluar dari toko. "Ehm ... aku mau jajan," jawab Luna yang tak ingin Dimas tahu ia sedang sedih. Padahal, Dimas sudah melihatnya menangis sejak tadi. "Om ... Om kenapa bisa ke sini juga?" "Aku ngikutin kamu," jawab Dimas. "Hah?" Luna terkesiap. "Sejak kapan?" Dimas hanya tertawa kecil. "Bukannya kamu mau makan kue. Yuk, aku beliin buat kamu." Luna mengerjap bingung. Bahkan Dimas tahu ia hendak membeli kue. Dan tak lama, dengan digandeng oleh Dimas ia pun tiba di depan etalase aneka kue yang menggugah selera. "Kamu mau yang mana? Tiramisu?" tanya Dimas. "Ehm ... red velvet," jawab Luna. "Oke. Dua red velvet dan teh chamomile, tolong." Dimas memesan makanan dan minuman mereka. Biasanya ia menghindari tatapan orang lain di tempat umum, tetapi karena sikap Luna yang biasa saja di sebelahnya, ia menjadi jauh lebih percaya diri dan yakin bahwa Luna memiliki sifat tulus untuknya. "Aku tahu kamu baru sedih," kata Dimas ketika mereka menikmati makanan bersama. "Aku nggak apa-apa. Aku emang agak sedih tadi, tapi abis makan yang manis-manis gini, mood aku udah balik!" seru Luna sambil tersenyum. "Jadi, kamu mau kuliah apa nggak?" tanya Dimas. "Kuliah dong. Yang penting aku hadir aja. Aku mahasiswi baru, nggak boleh bolos," kata Luna seraya mempercepat makannya. "Aku anter kamu, nggak usah khawatir." Dimas mengirim pesan pada Reza untuk membawa mobilnya mendekat. "Om kenapa ngikutin aku?" tanya Luna. "Nggak tahu, aku khawatir dan penasaran sama kamu. Dan ternyata benar, kamu baru sedih, 'kan?" Luna tersenyum tipis. Menghabiskan waktu dengan Dimas ternyata tidak buruk-buruk amat. Bahkan Dimas juga datang karena mencemaskannya di saat semua orang hanya menginginkan keuntungan darinya. "Kalau kamu udah selesai makan, aku bisa anter kamu sekarang," kata Dimas. "Oke. Yuk! Aku udah kenyang, Om." Dimas kembali menggandeng tangan Luna. Ia meminta Reza untuk keluar dari mobil karena ia hanya ingin berduaan dengan Luna. Ia membukakan pintu mobil untuk Luna dan berlari memutari mobil untuk masuk ke belakang kemudi. "Kamu kuliah di jurusan apa?" tanya Dimas dengan nada penasaran. Padahal, sebenarnya ia sudah menyelidiki semuanya tentang Luna. "Seni lukis, Om. Aku suka gambar," jawab Luna. "Kamu pasti berbakat," puji Dimas. Luna hanya mengangkat bahunya karena hanya itu kelebihannya. Itu pun ia jarang mendapatkan pujian dari ayahnya. Apalagi ibu tirinya yang keji. "Kamu ternyata adalah gadis yang baik," kata Dimas. Ia telah tiba di depan gedung utama kampus Luna. "Maksud Om?" tanya Luna kaget. "Aku pikir ... nggak bakalan ada orang yang tulus sama aku. Tapi hari ini, kamu udah membuktikan kalau pemikiran aku tuh salah. Ternyata masih ada orang yang mau melindungi aku," ujar Dimas. Ia meraih tangan Luna dan menggenggamnya erat. Hatinya semakin berdebar saja melihat wajah cantik Luna. "Ehm ... aku yakin Om bukan orang yang jahat. Apalagi sama anak kecil," kata Luna malu-malu. Dimas melepaskan sabuk pengamannya. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Gadis itu sama sekali tak berjengit seperti pertama kali mereka berdekatan. Dan itu membuat Dimas semakin senang. "Kamu ... kamu mau cium aku?" tanya Dimas. Luna melebarkan kedua matanya. Ia agak terkejut dengan permintaan Dimas. Namun, ia mengangguk. Ia ingat Dimas adalah tunangan dan calon suaminya. Jadi, ia pun segera merengkuh wajah Dimas dan mendaratkan ciuman. Dimas tersenyum di sela ciuman mereka. Luna memang belum mahir berciuman, tetapi ia sangat berani melakukan itu padanya. Dimas membalas lumatan bibir Luna dengan lebih panas, ia menyelipkan lidahnya ke dalam bibir mungil Luna. Luna terkesiap, apalagi Dimas menarik tubuhnya untuk merapatkan posisi dan Dimas mulai menyentuh dadanya. Dimas meremasnya dan menciumnya lebih kasar. Keduanya terengah-engah ketika melepas ciuman dan Luna hanya bisa menelan keras akibat aksi m***m tunangannya. "Kamu bisa turun sekarang. Belajar dengan baik, Sayang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN