Bab 7. Digoda Fabian

1224 Kata
Wajah Luna merah padam akibat ciuman panasnya dengan Dimas. Ia masih sangat berdebar karena wajah Dimas berada tepat di depannya. Pria itu memasang tampang datar seolah ciuman tadi bukan apa-apa dan sekarang ia diminta keluar untuk masuk kuliah. Luna pun mendorong pintu mobil lalu keluar. Dengan perasaan tak keruan ia mulai mengumpat. "Ya ampun, ternyata tunangan aku m***m banget. Sumpah!" "Luna!" Luna terkesiap karena ternyata Dimas mengikuti langkahnya. Ia sontak menoleh malu. Ia yakin Dimas mendengar umpatannya tadi. Yah, tadinya ia pikir mereka akan berciuman dengan manis dan lembut seperti pagi tadi. Namun, Dimas justru terlihat begitu b*******h, padahal mereka ada di mobil—tepat di depan kampusnya! "Kamu bilang apa barusan?" tanya Dimas. "Hah? Ehm ... nggak kok!" Luna menggeleng lalu memasang senyuman lebar. "Om pinter banget ciumannya!" Dimas tertawa senang karena pujian dari Luna. Ia begitu gemas dengan gadis muda di depannya. Jadi, ia pun langsung menangkup pipi Luna lalu menciumnya sekali lagi. "Sampai jumpa! Belajar dengan baik, Sayang!" Dimas melambaikan tangannya pada Luna yang masih terlihat linglung dan memerah. Ia tertawa kecil karena berhasil membuat Luna seperti itu. Pagi harinya terasa semakin menyenangkan saja! *** Malam itu, Luna diminta datang ke kediaman keluarga Erlangga untuk makan malam bersama. Hendra, ayah Dimas, yang memintanya secara khusus untuk datang karena ia begitu menyukai tunangan putranya tersebut. Luna yang baru pertama kali dibawa ke kediaman besar keluarga Erlangga pun sangat gugup. Apalagi ketika ia melihat rumah mewah mereka, ia bertambah berdebar. Dimas sudah menunggunya dan Luna semakin malu saja karena ingat dengan ciuman panas mereka di mobil pagi tadi. "Papa masih di kediaman utama," kata Dimas mengumumkan. "Kamu bisa tunggu sebentar, aku mau panggil Papa. Kamu ... ehm, bisa jalan-jalan di sekitar rumah ini sama Ika, dia kepala pelayan di sini." Dimas menunjuk seorang wanita dengan seragam berwarna hitam putih yang langsung membungkuk hormat pada Luna. "Selamat malam, Nona Luna. Saya akan menemani Anda berjalan-jalan," kata Ika. Luna mengangguk pelan. Ia melempar senyum pada Dimas yang tak lama kemudian meninggalkannya berdua saja dengan Ika. Rumah ini sangat besar dan terdiri dari beberapa bagian. Ika menjelaskan bahwa ada rumah utama yang dipakai oleh Hendra, lalu ada rumah yang dihuni oleh Farhan, putra pertama keluarga Erlangga. Dan yang ini adalah yang ditempati oleh Dimas. "Anda bisa melihat-lihat semuanya, Nona. Semua yang Anda butuhkan sudah ada di sini, pasti Anda akan betah sekali jika tinggal di sini nantinya," kata Ika. Luna menelan keras. Ia tentu menyukai rumah mewah ini. Garasinya saja sangat besar dengan berbagai mobil mewah yang terparkir di sana. Lalu, ada ruang gym pribadi yang sangat luas. Luna terkesima, pantas saja tubuh Dimas begitu prima, pasti Dimas sering berolahraga di sini. "Kenapa gue mikir ke sana terus sih?" Luna menggeleng pelan. Ia harus menepis pemikiran kotor yang mampir ke kepalanya belakangan ini sejak ia mengenal Dimas. "Ini ruang bioskop pribadi, Nona. Anda tak akan bosan di sini karena bisa menonton aneka film kesukaan Anda," ujar Ika menerangkan. Luna mencoba untuk bersikap biasa saja, tetapi ini sungguh di luar nalar. Ia baru tahu ada rumah dengan konsep seperti itu. Keluarga Dimas pasti adalah konglomerat! Rasa takjub Luna tak berakhir di situ, karena ia baru saja disuguhi sebuah kolam renang outdoor yang begitu besar dan sangat indah. Bahkan ada papan seluncuran seperti yang ada di tempat wisata. Ah, rumah ini pasti harganya miliaran. "Ini taman rumah ini, Nona," kata Ika ketika ia membawa Luna ke taman belakang rumah yang sangat luas. "Wah, besar banget, Bi. Biasanya taman ginian buat apa?" tanya Luna. Ika tersenyum tipis melihat kepolosan dalam diri Luna. "Ehm, kadang tuan besar atau tuan muda jalan-jalan di sini untuk membuang penat. Kadang ada jamuan dengan para tamu pebisnis yang diadakan di sini. Kadang juga ada pesta yang diadakan di sini, Nona." "Oh, gitu," gumam Luna. Ia kembali melangkah untuk melihat-lihat tanaman hias yang mungkin harganya juga sangat mahal. Tiba-tiba, Ika merogoh kantong blazernya. "Ah, maaf, Nona. Sekarang saatnya saya mengatur menu untuk besok. Saya harus ke dapur sebentar. Bisa Anda jalan-jalan di sini dulu? Saya akan segera kembali." "Ehm, oke!" Luna mengangguk saja. Toh, ia juga sedang mengagumi tanaman-tanaman cantik di hadapannya. Luna menatap Ika berlari ke dalam rumah. Ia lalu mendongak ke puncak bangunan yang sangat megah itu. "Gila, rumahnya bagus banget. Apa suatu hari gue bakal tinggal di rumah ini?" Luna yang kini sendirian memutuskan untuk berjalan lagi, ia masih penasaran dengan banyaknya bunga cantik di taman. Tanpa ia sadari, sejak beberapa detik lalu seseorang tengah mengamatinya dari jauh. Pria itu adalah Fabian, dia baru pulang dari acara kumpul-kumpul dengan temannya di sebuah bar. Dan kini, ketika ia hendak masuk rumah, ia justru melihat sosok yang belum pernah ia temui sebelumnya. Dan sosok itu tampak begitu cantik. Dengan senyuman culas di wajahnya, Fabian pun mendekati Luna. Ia langsung merangkul pinggang Luna tanpa permisi. Sontak, Luna menoleh. Ia sempat mengira itu adalah Dimas, tetapi Luna sangat kaget karena yang memeluk pinggangnya adalah pria muda asing. "Siapa kamu?" tanya Luna panik. Ia mendorong d**a Fabian, tetapi pria itu justru mendekatkan wajahnya. Luna memalingkan muka, ia tak ingin kena cium pria mabuk di depannya. Fabian tertawa kecil. "Seharusnya aku yang tanya sama kamu, Cantik. Siapa kamu? Apa kamu pelayan baru di sini?" "Jangan sembarangan!" seru Luna. Ia kembali mendorong d**a Fabian. Jemari Fabian mendaratkan di pipi Luna dan membelai di sana. "Kamu nggak usah galak-galak, kamu nggak tahu siapa aku. Aku ... aku adalah calon pemilik rumah ini. Aku adalah calon pewaris grup Erlangga! Aku cucu dari Hendra Erlangga! Kalau kamu mau ... aku bisa jadikan kamu nyonya di rumah ini. Kamu nggak perlu jadi pelayan lagi." "Nggak usah ngelantur, minggir!" sergah Luna yang semakin risih dengan belaian Fabian. Pria itu semakin kurang ajar karena menarik tubuhnya lebih dekat hingga bibirnya benar-benar hampir tercium. Luna menghindar. "Kamu nggak usah jual mahal gini sama tuan muda keluarga Erlangga. Kamu yang bakalan rugi kalau nolak aku," kata Fabian. Ia menahan rahang Luna dan kembali mencoba menciumnya. Luna memberontak, ia berteriak lalu menginjak keras kaki Fabian. Pria itu langsung mengaduh kesakitan. "Makanya jangan m***m! Aku bukan pelayan di sini!" "Jadi ... kamu berani sama aku?" Fabian dengan marah menarik lengan Luna. Ia tak terima dengan penolakan Luna. Kembali, ia mencoba memeluk tubuh Luna. "Jangan kurang ajar!" tegur Luna keras. "Lepasin! Aku bakal teriak kalau kamu nggak mau lepasin aku!" "Kamu pikir, aku bakal nurut sama kamu. Dasar pelayan murahan!" hardik Fabian dengan licik. Luna tak mau menjadi mangsa Fabian malam itu, ia kembali menyerang Fabian, kali ini ia mengangkat lututnya untuk menendang aset Fabian. Dan berhasil! Ia langsung melepaskan dirinya dari pelukan pria mabuk itu. "Tolong! Tolong!" teriak Luna meminta bantuan pada siapa saja. Pada saat itu, Ika yang hendak kembali menemani Luna pun mendengar teriakan Luna. Dengan panik, ia mengajak beberapa orang pelayan lain untuk melihat situasi. "Ada apa, Tuan Muda?" tanya Ika yang melihat Fabian sedang bersama dengan Luna. Fabian tampak marah sementara Luna begitu ketakutan. Karena tak ingin dianggap membuat masalah, Fabian pun berniat licik. Ia langsung menampar Luna keras-keras di depan Ika dan para pelayan. Ia juga mendorong tubuh Luna lalu mendaratkan beberapa tendangan di tubuh mungil Luna. "Ah! Sakit! Ampun!" Luna berteriak sambil menangis pilu. Ia menutupi kepalanya dengan lengan yang terlipat. Ia tak menyangka, malam ini akan menjadi malam yang mengerikan baginya. Padahal, seharusnya ia hanya datang untuk makan malam. "Gadis sialan ini udah merayu aku!" teriak Fabian di antara kepanikan para pelayan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN