bab 10

2140 Kata
Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Itulah kehidupan, setiap orang bisa bermimpi dan merencanakan banyak hal, tapi apa yang terjadi hanya atas izin Tuhan. Begitu pula dengan jalan hidup Danisa. Wanita yang tak pernah neko-neko, mencintai satu pria sejak dia duduk di bangku kuliah, lalu menikah. Lamanya perkenalan dan hubungan mereka tak menjamin cinta mereka akan bertahan hingga maut memisahkan. Nyatanya, Agus yang dulu sangat mencintai Danisa, malah melukai hati wanita itu dengan berselingkuh. Lalu, bagaimana dengan Ethan? Apakah pria itu benar mencintai Danisa? Bagaimana kalau tidak? Ucapan Mei tadi siang terus terngiang di benak Danisa. Malam itu dia hanya melamun dan melamun. Tak ada Ethan, pria itu sudah pamit untuk sibuk dengan pekerjaannya, entah itu benar atau hanya alasan saja. Sepi, dingin dan sunyi. Malam itu terasa amat mencekam bagi janda itu. "Apa bener kalau aku cuma terbiasa sama kehadiran Ethan? Apa bener yang Mei pikir?" Walau berulang kali meyakinkan dirinya sendiri kalau dia benar-benar jatuh hati ke Ethan, tapi Danisa tak menyangkal kalau ada sedikit keraguan di hatinya. Dia juga berulang kali mengatakan ke dirinya sendiri, andai memang Ethan meninggalkannya, dia harus ikhlas dan menerimanya dengan lapang d**a. Bagaimana pun, Ethan memang seperti berasal dari dunia berbeda. Dia tampan, tinggi, muda, pastinya ada banyak wanita yang mengejarnya. Berpikir kalau penampilannya ada yang kurang, Danisa langsung mengambil ponselnya. Dia menelepon Mei. "Halo, Mei?" "Apa, Dan? Tumben malem begini telepon, ada apa?" tanya Mei di seberang sana. "Kamu pernah ajak aku ke salon langganan kamu. Kemarin-kemarin aku males, kayaknya sekarang aku mau, deh." "Serius? Kamu mau perawatan? Bagus, dong. Kan aku udah ajak kamu dari lama, di sini nggak mahal-mahal banget, kok. Aku juga bisa traktir kamu di perawatan pertama nanti, anggep aja bonus." Mendengar ucapan Mei barusan, Danisa semakin bersemangat. Dia seperti sudah mengambil keputusan yang bulat, dia ingin cantik. Tak apa jika uang gajinya habis untuk perawatan, setidaknya dia tidak dianggap janda burik. Hari berganti hari, sudah sebulan lebih Danisa tidak bertemu dengan Ethan. Keduanya juga jarang bertukar pesan, dan sudah selama itu juga Danisa merawat tubuh dan wajahnya. Dia tidak hanya pergi ke salon, dia juga pergi ke gym dan membeli produk kecantikan. Kali ini isi tabungannya benar-benar terkuras. Padahal sejak pindah ke kota, dia ingin menabung sebanyaknya dan membeli rumah walau hanya kecil dan minimalis saja. Sebelumnya dia tidak peduli dengan penampilannya, tapi kini tidak lagi. "Setidaknya aku harus buktiin kalau aku juga bisa cantik kayak cewek-cewek di luar sana," ucap Danisa setiap malam sebelum dia tidur. Tak lagi bermalas-malasan di kantor, Danisa malah sangat aktif dan bahkan mengambil tambahan job. Selain untuk membantu melupakan kepergian Ethan, dia juga butuh uang untuk melanjutkan perawatan yang sedang dia jalani. "Woilah, cantik betul janda satu ini," goda Mei di kantor. "Apaan, sih?" Danisa tampak malu. "Penampilan kamu udah banyak berubah, dasarnya kamu itu cantik. Jadi, dipoles dikit juga udah ada hasil." Mei memuji penampilan Danisa sekarang ini, lebih modis dan lebih cantik. Tak hanya melakukan perawatan, janda yang merupakan kekasih Ethan itu juga membeli banyak baju baru untuk menunjukkan perubahannya yang signifikan. Danisa tersenyum, tak mau membalas. "Buat apa cantik begini? Berharap Ethan balik sama kamu?" tanya Mei yang membuat senyum Danisa berubah menjadi tatapan maut. "Kok jadi bahas Ethan, sih?" "Ya kan kamu mulai berubah begini sejak dia pergi." "Ah, entah dia pergi, atau beneran sibuk kerja. Nyatanya udah sebulan lebih dia ngilang." Danisa masih sering memikirkan Ethan, tapi dia tak mau ambil pusing dan memilih percaya kalau pacarnya itu memang sibuk bekerja. Walau kadang ada banyak keraguan di hatinya. "Kalau dia beneran sibuk kerja, perubahanku ini bisa jadi kejutan buat dia. Tapi, kalau dia ngilang, ya udah, aku cari yang baru aja. Aku udah secantik ini, ya kali mau nangis-nangis gara-gara cowok lagi," ucap Danisa yang sebenarnya hanya ingin menghibur dirinya sendiri. Untung ada Mei, teman sekaligus bos yang selalu perhatian dan menemaninya selama ini. Jadinya, Danisa tak merasa benar-benar sendirian hidup di tanah perantauan itu. "Bagus, kemarin kamu belum perawatan aja udah bisa dapetin berondong ganteng. Apalagi sekarang, iya kan?" Danisa terkekeh pelan, lalu mengangguk beberapa kali. Pada saat itu, terdengar suara notifikasi dari ponsel Mei. Mei melihat pesan yang masuk, rupanya dari Methan, perusahaan besar yang ingin bekerja sama dengan salah satu penulisnya. Matanya melotot, dan langsung berteriak. "Akhirnya!" Danisa amat terkejut. "Kenapa?" Mei lalu menunjukkan layar ponselnya ke Danisa, pesan di layar itu memberi tahu kalau kerjasama mereka akan segera dilaksanakan. "Wah! Hore!" Danisa sangat bahagia. Sudah lama dia menunggu kabar baik itu. "Kan, aku udah bilang, mereka tuh beneran mau kerjasama bareng kita. Tapi, emang katanya nunggu agak lama, soalnya mereka kan perusahaan besar, ada banyak yang diurus." Mei terlihat juga sangat bahagia. Selain karena nantinya dia ikut mendapatkan royalti, dia juga senang jika Danisa bisa melangkah maju. "Iya, aku percaya. Cuma, ternyata nunggunya lama banget." Kalau dipikir-pikir, Ethan juga sudah menghilang lama. Danisa tiba-tiba kepikiran kekasihnya itu. Ingin dia menelepon dan menanyakan kabar, tapi dia takut. Jangankan menelepon, mengirim pesan duluan saja tak pernah. Terakhir kali, Ethan menanyakan kabar lewat pesan singkat sudah sejak 3 minggu yang lalu. Danisa takut, jika dia duluan yang menghubungi, dia takut diabaikan, atau malah diblokir. Oleh sebab itu, dia memilih diam dan menunggu. Jika sudah lewat 3 bulan dari tanggal jadian mereka, Danisa akan memutuskan kalau hubungan mereka pasti berakhir. "Kenapa senengnya bentaran aja? Kok mukanya ditekuk begitu?" tanya Mei yang amat peka pada sahabatnya itu. Dua wanita yang sejak tadi mengobrol di ruangan Mei itu akhirnya saling tatap. Danisa lalu tersenyum. "Apa lagi yang mengganggumu?" tanya Mei. Danisa menggeleng. "Aku cuma merasa bersyukur ada kamu di hidupku. Kamu yang ajak aku pindah ke sini buat ngelupain masa lalu, kamu yang ngasih aku pekerjaan, kamu yang bantu ini itu sampai aku ngerasa semuanya begitu mudah. Dan sekarang, kamu juga ngasih jalan ke aku buat melangkah maju jadi penulis yang lebih besar." Kekasih Ethan itu bicara panjang lebar, perlahan dan terdengar amat tulus. Matanya pun tampak nanar. "Terima kasih, Mei. Aku nggak bisa balas apa-apa, biar Tuhan yang balas kebaikan kamu." Mei sangat tersentuh. Dia ingin menangis, tapi malu. Segera dia mengalihkan topik pembicaraan. "Udah-udah, aku cuma ngelakuin apa yang bisa aku lakuin. Sekarang, mending kamu siap-siap, soalnya tim pemasaran Methan mau taken kontrak malam ini." "Apa? Malam ini?" Mei mengangguk. "Iya, karena mulai besok kamu udah bisa mulai kerja di sana." Danisa loncat kegirangan. Seperti teman pada umumnya, dia berbagi kebahagiaan dengan Mei, seolah wanita itu bukan bosnya. Danisa dan Mei lalu bersiap-siap. Keduanya bahkan mematut diri, berusaha tampil dengan layak dan rapi sebelum masuk ke dalam mobil. Mei sendiri yang menyetir, dia terlihat santai, sementara Danisa tampak amat gugup. "Tenang, rileks, santai. Dan, kita ke sana cuma tanda tangan kontrak aja. Nggak perlu gugup." "Gimana nggak gugup, aku nggak tahu sih sebesar apa Methan itu. Cuma aku pernah lihat infonya sekilas di internet, perusahaan ini tuh relasinya banyak banget. Karena itu perusahaan investasi." Anggukan Mei sebagai tanda ia paham ucapan temannya. "Ya udah, kalau kamu udah bertekad bulat mau gugup, silakan aja. Aku sih, no. Aku mau santai aja. Ibaratnya nih ya, kita udah lulus ujian, tinggal ambil ijazah aja. Ngapain gugup." Mendengar ucapan Mei, Danisa menatap temannya itu dengan mata yang menyipit. Kedua wanita itu sudah sampai di lobi gedung Methan. Gedung yang besar, megah dan mewah, sangat berbeda dengan kantor milik Mei yang amat sederhana. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik yang duduk di meja depan. "Saya Mei, dari Tim Pena. Saya ada janji dengan Pak Markus dari tim pemasaran Methan." Mei bicara dengan lugas dan berani. Sementara Danisa hanya memperhatikan dan mendengarkan dari belakangnya saja. Danisa mengakui keberanian Mei, tak seperti dirinya yang sering gugup dan takut salah bicara. "Oh, kalau begitu, silakan tunggu dulu. Saya hubungi Pak Markus dulu, Ibu bisa tunggu di sana, nanti saya kabari lagi," ucap wanita itu sambil menunjuk sofa-sofa yang ada di tempat tunggu, tak jauh dari meja depan. Mei mengangguk, lalu mengajak Danisa untuk duduk. Sembari menunggu orang yang mereka tunggu tiba, Mei dan Danisa terus mengedarkan pandangan mereka, seolah tak ada hentinya mereka takjub dengan interior gedung kantor Methan itu. "Mei," panggil Danisa pelan. "Apa?" tanya Mei tanpa menatap Danisa, dia malah sibuk lihat sana dan sini. "Kamu belum bilang bayaran aku kerja di sini." "Oh, itu. Kamu bilang nggak peduli, ya aku nggak bilang dong gajinya berapa." "Terus, berapa?" tanya Danisa yang kini amat penasaran setelah melihat betapa megahnya gedung kantor Methan. "Katanya kalau kamu bisa nulis sesuai target dan sesuai harapan mereka, mereka akan bayar kita 50 sampai 100 juta. Tapi, itu belum pasti, tergantung kinerja kamu." "Apa?!" Mata Danisa melotot. "Se-se-seratus juta?" Dia bahkan sampai terbata-bata, saking terkejutnya. "Ssstt! Kan aku udah bilang belum pasti. Kan kamu nulis juga belum pasti, kalau sampai 3 bulanan, 50 juta juga nggak gede-gede banget, kan?" "Gede, Mei. Kamu gaji aku yang suka ambil double job aja paling gede 10 juta sebulan. Kalau aku selesai 3 bulan, dapet 50 juta aja, udah 15 juta lebih itu per bulannya. Apalagi kalau selesai sebulan, terus dapetnya 100 juta." Seperti mimpi, Danisa merasa amat beruntung. "Itu bukan penghasilan murni punya kamu, masih bagi royalti dengan Tim Pena." Tiba-tiba Danisa mengerutkan kening. "Tawaran sebagus itu, apa nggak ada resikonya, Mei?" Pikiran negatifnya tiba-tiba datang. "Resikonya ... kalau kamu kerjanya nggak sesuai yang mereka mau, mereka minta ganti penulis, sampai dapet yang sesuai kriteria mereka. Makanya, nanti kamu kerja yang bener, jangan sampai kesempatan emas ini diambil yang lain." "Itu aja? Nggak ada denda atau apa gitu, misal dari Tim Pena nggak bisa memenuhi kriteria mereka?" tanya Danisa lagi, kali ini dia berbisik. "Denda? Ada, kemarin udah dikatakan sama Pak Markus itu. Kita-" ucapan Mei terputus sama Markus tiba. Pria itu menyapa dan lalu menjabat tangan Mei dan Danisa secara bergantian. "Maaf, saya sibuk. Kalian sudah menunggu lama?" tanya Markus basa-basi. Mei dan Danisa kompak menggeleng. Mei terlihat senyum sumringah, tapi Danisa tampak senyum tertahan. Dia masih penasaran mengenai denda. Namun, dia akan membaca semua poin-poin kontrak dengan teliti nantinya. Jika dirasa beresiko, maka dia mundur saja. Berurusan dengan perusahaan besar pasti tak akan mudah, pikirnya. "Bagaimana kalau kita ke ruangan saya sekarang? Saya sudah siapkan kontrak kerjasama kita di sana." Mei dan Danisa mengangguk dan setuju. Keduanya lalu berjalan di belakang Markus, mengikuti pria itu melangkah. Namun, baru beberapa langkah, Markus berhenti. Rupanya ada pemimpin perusahaan yang akan lewat. Markus otomatis membungkukkan badan, memberi hormat. Tepat ketika Markus membungkuk, Danisa dapat melihat dengan jelas pria yang berjalan di depannya. "Ethan?" Suara pelan Danisa terdengar jelas karena semua orang di lobi diam saat pemimpin perusahaan lewat. Semua tampak terkejut, para karyawan di sana bertanya-tanya, siapa yang berani dengan lancang memanggil nama tanpa embel-embel 'Pak' kepada pemimpin perusahaan? Tak hanya para karyawan yang terkejut, Mei juga amat terkejut. Dia takut temannya melakukan kesalahan. Ethan yang berjalan paling depan, diikuti beberapa orang yang merupakan karyawannya itu, berhenti dan menatap Danisa dengan mata melotot. Ada apa ini? Kenapa Danisa ada di sana? Ethan bertanya-tanya di dalam hatinya. Bibirnya kelu, dia terlalu terkejut dan tak tahu harus bagaimana. Menyebut nama Danisa, itu saja yang hanya bisa dia lakukan. "Danisa ...." Semua orang tampak terkejut. Melihat Ethan yang selalu sibuk dan jarang berhenti di lobi, tiba-tiba berhenti dan menyebut nama wanita yang memanggil namanya pelan tanpa embel-embel apa pun. Semua orang di sana bertanya-tanya, ada hubungan apa mereka. Sementara selama ini Ethan terkenal sebagai pekerja keras dan tak berkencan dengan siapa pun setelah putus dari mantannya yang tak lain adalah seorang model terkenal. "Apa yang kamu lakuin di sini?" tanya Danisa yang tampak kebingungan. Kenapa pacarnya yang sudah sebulan menghilang tiba-tiba muncul di depannya dengan penampilan yang amat berbeda. Dengan tuksedo lengkap, rapi dan wangi, serta diberi hormat oleh Markus, juga diikuti oleh banyak orang yang tampak seperti orang penting. Danisa yakin, Ethan bukam karyawan biasa. "Maaf, tapi-" Markus mencoba mencegah Danisa berkata lebih banyak, dia pikir wanita itu sudah membuat kesalahan. Dia takut menerima konsekuensinya. "Kamu sendiri, apa yang kamu lakuin di sini?" tanya Ethan yang mulai melangkah mendekati Danisa. Ethan amat terkejut melihat kehadiran wanita yang ia sukai itu ada di kantornya. Namun, ia juga terkejut dengan penampilan baru Danisa, yang amat cantik dan menawan. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu, dan kini Danisa semakin cantik. Rindu itu, tentu saja ada. Ethan ingin sekali memeluk Danisa, tapi tak akan mungkin dia lakukan di sana. "Aku yang tanya lebih dulu, Ethan. Apa yang kamu lakuin di sini?" tanya Danisa yang mulai curiga, dia merasa dibohongi. "Apa ini? Ethan bos di sini? Dia CEO-nya? Ethan? Methan? Kenapa aku nggak sadar kemiripan namanya. Kenapa juga aku nggak cari info siapa bos Methan sebelum dateng ke sini?" tanya Danisa dalam hati. Wanita itu berdiri dengan gemetar. Kini dia tak lagi gugup, dia emosi. Dia tak suka dibohongi, ada trauma pada masa lalunya. Dia sering dibohongi mantan suaminya. Lalu, apakah kini dia juga harus dibohongi Ethan? "Jawab, Ethan! Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN