bab 9

1686 Kata
Di kamarnya yang mewah, luas dan terang, Ethan menatap langit kamarnya dengan mata menyipit. Ia kesal, keinginannya untuk mencium Danisa gagal. Di tempat parkir tadi, Danisa dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Ethan. Wanita itu melotot dan berkata dengan amat tegas. "Jangan pernah sentuh aku lagi sebelum hubungan ini ada kemajuan!" Kecewa karena tak bisa melakukan apa yang dia mau? Tentu saja. Namun, yang membuat Ethan terus menatap langit kamarnya dengan jaket jeans yang enggan dia lepas sepulang dari apartemen Danisa adalah ancaman wanita itu. Bagaimana bisa dia tidak menyentuhnya? Sementara dia adalah pria normal, yang sejak sebelum pacaran saja dia sudah mencium Danisa. "Aku harus gimana?" tanya Ethan pelan. Dia pusing. Sakit kepalanya tiap Danisa menagih janji. Ada banyak hal yang dia sembunyikan dari kekasihnya. Dia tak mau cerita, mungkin saja itu rahasia yang tidak ingin dia ungkapkan. Keesokan harinya. Danisa berangkat bekerja seperti biasa. Pagi itu Mei memanggilnya untuk ke ruangannya. "Ada apa, Mei? Apa ada perubahan pekerjaan? Ada job dadakan yang harus dikerjakan hari ini?" tanya Danisa yang seolah tahu kebiasaan teman sekaligus bosnya itu. Mei menggeleng, lalu tersenyum lebar. "Bukan." Senyuman Mei dibalas kerutan kening Danisa. "Terus? Kamu nggak akan bilang aku bakal naik gaji, kan?" "Yaelah! Kerja baru berapa hari, udah berharap naik gaji!" Kini Danisa terkekeh. "Ya udah, kenapa? Ada apa?" tanyanya yang makin penasaran. "Aku mau nawarin kamu kerjaan yang gajinya uwow sekali." Mei memainkan kedua alisnya. Danisa tampak antusias. "Apa apa? Buru." "Semalem, aku baru dapet telepon dari salah satu perusahaan besar di kota ini. Kamu mungkin nggak paham, karena kamu bukan asli orang sini. Tapi, perusahaan ini tuh bener-bener gede dan terkenal di sini." Mei mulai menjelaskan dan Danisa diam mendengarkan. "Tim pemasarannya ngontak aku, tanya apa ada penulis di sini yang bisa magang di sana. Nggak lama, paling cuma 1 sampai 3 bulan aja. Mereka mau 2 penulis, 1 dari sini dan 1 dari tempat lain. Intinya mereka mau pakai jasa penulis yang bukan dari perusahaan mereka." Danisa menganggukkan kepala karena paham. "Gajinya wow banget pokoknya. Makanya, aku mau nawarin kamu. Aku tahu, kemampuan kamu bagus banget. Kesempatan seperti ini bukan cuma ngasih kamu bayaran gede, tapi juga ngasih panggung buat kamu. Nama kamu pasti dikenal banyak perusahaan besar lainnya nanti." "Iya, bener banget itu. Bahkan kalau gajinya kecil, aku nggak akan nolak. Nanti di CV-ku, aku bisa pajang nama perusahaan besar itu biar makin banyak yang mau pakai jasaku." Danisa seolah sudah mengiyakan tawaran Mei. Mei terus menerus tersenyum. "Jadi, kamu mau, kan? Kalau enggak, aku sendiri yang akan ambil kesempatan ini." "Jangan, dong. Kamu kan udah kaya, udah terkenal juga. Gantian aku, dong. Biar aku kaya dan terkenal kayak kamu," ucap Danisa yang senang bukan kepalang. Dia bahkan tak tanya berapa gaji yang ia terima dari tawaran itu, tapi dia sudah mengiyakan. "Ya udah, kalau begitu kamu siapin data diri dan CV kamu. Nanti biar aku kirim mereka lewat email. Semoga aja ini menjadi awal baru buat kamu dan Tim Pena." Mei berharap besar akan ada hasil besar dari kerjasama antara Tim Pena dan perusahaan besar yang tak lain adalah Methan. "Iya, nanti aku kirim ke email kamu kalau udah selesai." Danisa lalu pamit kembali ke meja kerjanya. Sesampainya di meja kerjanya, wanita itu ingin sekali menghubungi sang kekasih - Ethan. Dia ingin memberi tahu kabar menggembirakan itu segera. Yang dia tahu, Ethan hanya karyawan biasa. Pada kenyataannya, perusahaan Methan adalah perusahaan yang Ethan pimpin. Akankah nantinya Ethan dan Danisa bertemu di gedung kantor Methan? Biar waktu yang menjawab. Pada saat Danisa sedang mengetik pesan singkat yang niatnya akan dikirim ke Ethan, justru pria itu yang malah mengiriminya pesan lebih dulu. [Aku akan sibuk kerja ke depannya. Mungkin beberapa minggu, atau bisa sampai satu bulan. Anggap saja sebagai persiapan pernikahan kita. Sampai ketemu nanti.] Wajah Danisa yang sebelumnya tersenyum ceria, kini jadi murung merana. Dia sedih, pesan yang belum selesai dia ketik segera dia hapus. [Aku dapet kesempatan kerja di perusahaan besar. Gajinya lumayan, bisa buat modal kita buat nikah. Kamu ] Pesan itu dihapus satu per satu kata, lalu Danisa mengetik ulang. [Baiklah, jaga diri baik-baik. Sampai bertemu nanti.] Pesan yang dikirim Ethan malah terkesan seperti alasan di mata Danisa. Setelah didesak terus-menerus, Ethan mungkin kesal dan memilih jaga jarak dari Danisa. "Apa aku terlalu maksa dia? Gimana kalau setelah ini dia malah ngilang dan nggak muncul lagi?" tanya Danisa dalam hati. Seolah kesempatan emas yang Mei berikan untuk Danisa tak ada efeknya lagi. Wanita itu lemas, dia malah jadi malas untuk bekerja. Dia banyak berpikir, apa dia melakukan kesalahan, dan banyak hal lainnya. Tanpa Danisa sadari, dia sudah jatuh hati ke Ethan dan takut jika dia kehilangan pria tampan itu. "Mungkin, dari awal aku emang suka sama dia. Tapi, aku aja yang sok munafik, sok jual mahal. Sekarang, kalau dia pergi ninggalin aku, aku bisa apa? Nangis lagi?" Danisa tak tahu apa pun soal Ethan, kecuali nama. Di mana dan apa pekerjaan Ethan, dia juga tidak tahu. Apalagi di mana Ethan tinggal, wanita itu menyesal karena tidak pernah bertanya. Sebelumnya, ia pikir tak perlu terlalu banyak bertanya, toh 3 bulan lagi mereka akan menikah. Namun, jika sekarang Ethan pergi, apa yang bisa Danisa lakukan? Mencari pun tak tahu harus ke mana. Selain Nando, Danisa tidak tahu teman Ethan lainnya. Dan kini Nando pun sudah tidak tinggal di apartemen yang sama dengannya lagi. Pria itu kerja di luar kota dan memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Saat jam makan siang, Mei mengajak Danisa makan siang bersama untuk membahas mengenai kerjasama dengan Methan. "Jadi, kita ngajuin hari ini pun, jawabannya masih lama. Katanya tim pemasaran yang hubungin aku itu bisa sampai sebulanan. Tapi lamaran kita ini cuma formalitas aja, udah jelas kok kalau nanti kita akan kerjasama dengan mereka. Kamu tenang aja, nggak perlu gugup." Mei bicara panjang lebar. Tak mendapati tanggapan, Mei kembali bicara. "Aku belum bilang ya fee untuk pekerjaan ini?" tanyanya, tapi Danisa masih mengabaikannya dan terlihat tidak semangat lagi. "Dan!" panggil Mei kesal. Danisa akhirnya menatap Mei. "Iya, kenapa?" "Kamu kok beda banget sama tadi pagi? Tadi ceria, seneng minta ampun pas aku kasih tahu tentang kerjasama ini. Kok sekarang malah lesu begitu? Kenapa? Kamu takut? Atau kamu berubah pikiran? Kamu mau kasih kesempatan emas ini buat orang lain?" tanya Mei yang masih kesal. Danisa menggeleng cepat. "Jangan, dong. Aku emang lagi nggak semangat, tapi nggak ada hubungannya sama pekerjaan, kok." "Kenapa? Ada masalah sama pacar berondong kamu itu?" tanya Mei yang mulai melunak. Danisa mengangguk. "Iya," jawabnya lirih. "Jadi, masalah kamu sama pacar kamu lebih penting dari pekerjaan ini?" Kembali Mei dibuat kesal oleh temannya. "Bukan," jawab Danisa pelan. "Aku seneng, aku berterima kasih banget sama kamu karena ngasih kesempatan itu ke aku. Tapi ...," "Tapi, apa?" "Kayaknya Ethan mau ninggalin aku, deh, Mei." "Ha?!" Mei teriak, membuat Danisa malu karena ada banyak orang menatap mereka. "Hush!" "Tuh berondong ninggalin kamu setelah maksa jadi pacar kamu?" "Aku kan bilangnya kayaknya, ini belum pasti, Mei. Ini cuma kecurigaanku aja, karena dia bilang nggak akan ketemu aku sampe sebulan ke depan karena sibuk kerja." Danisa mulai menjelaskan duduk permasalahan. "Itu karena aku terus ngedesak dia buat nikahin aku," lanjit Danisa. "Kamu ngedesak dia buat nikahin kamu? Padahal kalian baru pacaran sebulan?" Mei menatap Danisa dengan tatapan aneh. Merasa temannya agak lain dibanding wanita pada umumnya. "Kamu nggak lagi sa nge, kan?“ tanya Mei lirih. Danisa memukul lengan Mei. "Gila kamu! Aku cuma nagih janji dia yang katanya mau nikahin aku setelah 3 bulan pacaran. Lagian aku positif thinking, jadi nggak ada aku kepengen begituan," kilah janda itu. "Ya kan kalian baru pacaran sebulan. Masih ada 2 bulan." "Tapi keluarga kami belum ada pertemuan. Ya masa nunggu 3 bulan dulu baru kenalan, ketemu dan ngomongin nikah. Kan nggak mungkin semua itu dilakukan selama sehari aja." Mei mengangguk. "Mungkin dia emang sibuk kerja, Dan. Bisa jadi dia belum siap secara finansial, lagian mau nikah kan emang butuh duit banyak." "Tapi kan aku nggak ada nuntut harus mewah atau nikah di gedung, nikah di KUA aja juga oke." Danisa tertunduk lemas. Melihat Danisa tak semangat, Mei pun tak bisa berbuat banyak. Masalah yang dihadapi temannya itu cukup rumit, yakni masalah pernikahan - hal yang amat sakral. "Ya udah, kamu nggak usah mikir yang enggak-enggak. Doain aja dia beneran sibuk kerja buat persiapan nikahan kalian. Kalaupun nantinya dia pergi, kamu yang sabar. Bukannya dari awal udah aku ingetin, putus dari dia pun kamu jangan terlalu diambil pusing. Seenggaknya kamu pernah punya pacar berondong ganteng." Mei hanya tak ingin temannya terpuruk seperti saat baru bercerai dulu. "Jangan sampai masalah itu sampai ganggu pekerjaan kamu," ucap Mei lagi. Danisa menatap lekat pada netra Mei. "Tapi, Mei ... sepertinya aku udah jatuh cinta sama Ethan. Sepertinya aku nggak cuma menikmati status pacaran sama cowok ganteng. Aku ... sayang sama dia, aku cinta. Aku takut dia pergi karena sikapku yang nyebelin, karena aku maksa dia buat nikahin aku secepetnya," ucap janda itu dengan perlahan. Mei tak bisa berkata-kata. Ia tahu temannya itu tak mudah jatuh hati, pada mantan suaminya dulu saja membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk pendekatan. Namun, dengan Ethan, benarkah Danisa jatuh hati padanya? Ataukah itu hanya pelarian karena sakit hatinya atas masa lalunya? "Aku nggak cuma suka kegantengan Ethan, Mei. Aku suka semua tentang dia. Bau badan dia, cara berpakaian dia, gaya jalan dia, semua. Bahkan cara dia bernapas aja terasa istimewa buat aku," lanjut Danisa. "Kamu yakin itu cinta?" tanya Mei. Danisa terkekeh. "Aku udah banyak berpikir, siapa aku dan apa hebatnya aku? Cantik? Enggak. Kaya? Apalagi. Statusku janda, terus apa yang Ethan cari dari aku? Apa dia cuma penasaran sama aku? Apa dia cuma-" ucapannya terpotong oleh pertanyaan Mei. "Bagaimana kalau perasaan kamu itu cuma pelarian aja? Mungkin kamu terlalu sakit sama masa lalu kamu. Ethan dateng saat kamu masih di dalem rasa sakit itu. Kamu jadi ketergantungan sama dia dan kamu cuma takut sendirian lagi mengenang masa lalu. Dan, kamu yakin itu cinta?" tanya Mei memastikan. Danisa bingung. Ia pun mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Setelah sebelumnya dia meyakini kalau perasaannya ke Ethan adalah perasaan sayang dan cinta, kini dia sedikit ragu. Dia takut ucapan Mei benar, mungkin saja dia hanya takut sendirian lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN