Di lobi gedung perusahaan Methan, Danisa berjalan mengikuti perwakilan dari divisi pemasaran sambil membayangkan kontrak kerja barunya sebagai penulis lepas di sana. Dia baru akan menandatangani kontrak dan masih setengah tak percaya akan kesempatan besar ini. Apalagi setelah melihat secara langsung seberapa besar Methan.
Namun, tak disangka, suasana hatinya berubah drastis saat sosok yang dikenalnya muncul di sana.
"Ethan?" Danisa berbisik, matanya terpaku pada pria itu.
Ethan, mengenakan setelan jas yang terlihat begitu berwibawa, sedang berbicara dengan beberapa eksekutif yang berjalan di sampingnya, di belakangnya juga ada. Ketika mendengar namanya disebut, dia refleks menoleh, dan tatapannya langsung bertemu dengan Danisa. Wajahnya langsung menunjukkan keterkejutan yang sama.
"Danisa?" gumam Ethan dengan suara terhenti, tak percaya akan pertemuan ini.
Danisa merasa dunia berputar. Pacarnya yang selama ini menghilang dengan alasan "sibuk bekerja" ternyata adalah CEO perusahaan besar ini? Kata-kata Ethan mendadak terasa kosong di telinganya, dan kemarahannya perlahan muncul, menyadari kebohongan besar yang tersembunyi di balik semua kesibukannya selama ini.
"Apa maksudnya ini? Apa? Ethan bohong? Bohong? Tapi sejak awal aku nggak pernah tanya dia kerjanya apa dan di mana, " batin Danisa. Dia terus bertanya-tanya dalam hati, sambil menunggu jawaban Ethan yang terlihat sama terkejutnya dengan dia.
Markus ingin menyela. "Beliau ini-"
Suara pria itu terhenti saat Ethan mendekati Danisa. Matanya menatap lekat netra wanita yang dia cintai itu.
"Erwin, batalin jadwalku untuk 1 jam ke depan." Ethan bicara pada asistennya, tapi matanya masih menatap Danisa. Semua orang di sana diam, seolah menjadi penonton adegan menegangkan itu.
"Sa-satu jam?" tanya Erwin tak percaya. Dia tahu setiap menit bagi Ethan adalah berharga, waktu adalah emas. Apalagi saat itu Ethan hendak menemui client penting, tapi malah dibatalkan. 1 jam? Apa dia tidak salah dengar?
Ethan diam, seperti sedang berpikir. Mungkin 1 jam kurang. "2 jam. Kosongin jadwalku untuk 2 jam ke depan."
Setelah mendengar ucapan Ethan, Erwin akhirnya sadar. Wanita yang di hadapan Ethan mungkin saja orang yang amat berarti, sampai-sampai pekerjaan menjadi nomor 2 bagi orang seperti Ethan yang gila kerja.
"Baik, Pak."
Danisa masih diam, tapi tatapan matanya tak lepas, seolah dia mengunci Ethan agar tak pergi ke mana-mana.
"Ayo kita bicara," ucap Ethan pada Danisa.
"Bicara? Tapi, maaf. Aku ke sini karena ada urusan, aku ada pekerjaan. Kita bicara nanti saja, itu pun aku nggak yakin kamu mau bicara jujur atau enggak."
Kalimat Danisa menusuk Ethan, pria itu tersinggung. Benar dia menutupi latar belakangnya dari sang kekasih, tapi dia tidak terima jika itu disebut kebohongan. Dia hanya belum mengatakannya, itu saja.
Ethan lalu menatap Markus. "Kamu buru-buru? Nggak apa-apa kan kalau kamu harus nunggu?" tanyanya pelan, tapi suaranya dan juga tatapannya mampu membuat Markus ketakutan.
Pria yang berumur 30an itu mengangguk cepat. "Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya bisa menunggu."
Danisa menyeringai. "Jadi benar dia orang penting di sini," ucapnya dalam hati.
Ethan secara tiba-tiba meraih pergelangan tangan Danisa dan memegangnya erat. Pria itu menariknya dan membawanya menjauh dari tatapan orang-orang di sana.
Di ujung lorong, Ethan berdiri menghadap Danisa dan memojokkan wanita itu. Menatapnya dengan bingung, ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tak tahu harus dimulai dari mana.
Apakah Ethan harus bertanya apa yang dilakukan Danisa di sana?
Ataukah dia harus bertanya apa kabar Danisa selama ini?
Atau malah memuji betapa cantiknya Danisa dengan penampilannya yang baru?
Namun, bukan semua itu yang dia katakan. Atau lebih tepatnya Ethan tak berkata-kata, pria itu malah mencium Danisa secara tiba-tiba. Walau di sana jauh dari pandangan orang-orang, tetap saja Ethan mendapatkan hadiah berupa tamparan di pipi kirinya.
Danisa marah. Dia merasa banyak dibohongi dan juga dipermainkan. Sadar diri dia hanya janda miskin, sementara Ethan adalah CEO yang tampan dan kaya, Danisa curiga statusnya selama ini hanya untuk dijadikan mainan Ethan saja.
"Jangan sentuh aku lagi." Danisa melotot amat tajam. Bicaranya tak lantang, tapi penuh tekanan.
"Dari awal aku udah curiga, kalau kamu cuma main-main sama aku. Dan tiba-tiba kamu ngilang, bilang sibuk kerja. Sekarang, kamu muncul dengan hal yang gila. Kamu CEO? CEO Methan? Ini gila, Ethan! Ini gila!" Danisa menatap Ethan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Jadi ini alasan kamu menghilang setelah aku minta kamu nikahin aku? Jadi ini jawabannya? Sekarang aku tahu, kamu nggak ada niatan yang tulus sama aku. Kamu nggak akan nikahin aku, kan? Makanya kamu ngilang?"
Danisa terus bicara, dia tak memberi ruang bagi Ethan untuk menjelaskan semuanya. Dia terjebak dalam amarahnya, berpikir kalau tebakannya adalah yang paling benar, tanpa memikirkan kemungkinan lain.
"Mana mungkin orang seperti kamu, CEO Methan, mau menikah sama aku? Jelas nggak mungkin. Makanya kamu ngilang. Iya, kan? Tapi, kenapa kamu harus hadir di hidup aku, Ethan? Kenapa? Kamu yang maksa mau pacaran sama aku dan kamu juga janji mau nikahin aku. Itu semua cuma permainan kamu? Kamu bosan? Kamu butuh hiburan? Kamu butuh mainan? Dan mainan itu aku?"
Bicara panjang lebar, Danisa mengeluarkan setiap kata yang ada di kepalanya. Tak seperti Ethan yang malah diam dan bingung harus bicara apa.
Ethan mencoba mendekat, pipinya merah karena ditampar amat keras oleh Danisa. Tapi itu tak dia rasakan.
"Jangan deket-deket. Jangan sentuh aku lagi. Kita putus, Ethan. Aku nggak mau punya hubungan apa pun lagi sama penipu macem kamu!" Danisa merasa sudah cukup bicara, dia hendak pergi meninggalkan Ethan.
Namun, Ethan mencegah dan menghalangi langkah Danisa. Dia tidak menyentuh, dia hanya menghalangi.
"Kamu udah selesai bicaranya? Kalau udah, sekarang giliran aku."
Suara bariton Ethan terdengar menakutkan. Begitu juga tatapannya. Pria itu tampak marah. Bagaimana tidak marah? Dia tidak mau putus dari Danisa, dan wanita itu memutuskan secara sepihak. Padahal, mereka bisa pacaran saja karena paksaan dari Ethan.
"Kamu mau bicara apa? Kamu mau bilang kalau aku salah? Kamu mau bilang kamu bukan CEO di sini? Kamu pikir aku akan percaya? Setelah semua yang aku lihat tadi?" tanya Danisa yang masih menatap Ethan dengan matanya yang nanar.
"Aku memang CEO di sini. Ada yang salah? Apa salahnya? Aku nggak boleh jadi CEO? Penipu? Apa kamu pernah tanya aku kerja di mana dan sebagai apa? Kamu yang terlalu nggak peduli sama aku, dan sekarang kamu mau nyalahin aku?" Ethan memainkan kata-katanya untuk membalas Danisa.
Danisa diam. Kalimat Ethan begitu dalam dan berhasil membuatnya sadar. Benar, dia terlalu mengabaikan Ethan dan tak mencari tahu informasi apa pun soal pacarnya itu. Kini, dia hanya bisa membatu.
"Hanya karena kamu nggak tahu siapa aku, jangan kamu bilang kalau akulah penipunya, Danisa." Ethan kembali bicara.
"Putus? Siapa yang minta cepat-cepat dinikahi? Aku nggak ngilang, aku udah pamit kalau aku sibuk kerja. Dan aku nggak bohong, aku memang sibuk kerja. Sekarang kamu bisa lihat dan tahu seberapa sibuk aku. Kamu pikir aku bisa ninggalin kerjaan aku begitu aja? Aku punya tanggung jawab besar dan kamu minta nikah secepatnya. Bukannya aku harus selesaiin semua kerjaan aku baru aku bisa ngurus pernikahan kita?" Ethan bicara panjang lebar, masih berusaha membalas setiap kalimat Danisa dengan alasan yang dirasanya masuk akal.
"Mainan? Kamu pikir aku senganggur itu sampai harus merayu kamu dan menemui kamu selama ini? Aku bukan anak kecil yang butuh mainan. Dan kamu bukan mainan, Danisa. Perasaanku ke kamu itu benar, nyata adanya."
Ethan terlihat jujur di mata Danisa, tapi wanita itu masih saja marah. Dia masih merasa dibohongi.
"Kalau kamu serius sama aku, kamu nggak akan bohongi aku, Ethan," ucap Danisa lirih, air matanya mulai menetes.
"Bagian mana aku bohongi kamu, Danisa?"
"Kamu nggak jujur tentang siapa kamu."
"Apa kamu pernah tanya?"
Danisa diam, tak bisa menjawab. Dia menyeka air matanya dan memikirkan cara untuk kabur dari sana.
"Baiklah, aku memang menutupi identitasku yang sebenarnya. Tapi apa itu merugikan kamu?" tanya Ethan lagi.
Danisa tersenyum kecut. "Rugi? Aku bisa rugi apa dari semua ini? Aku cuma sakit hati, Ethan. Aku tahu, kamu sengaja nutupin siapa sebenarnya kamu, karena kamu takut aku cuman mau uang kamu. Merugi? Tentu saja enggak. Tapi aku tersinggung dan sakit hati, itu artinya kamu nggak percaya sama aku. Lalu, untuk apa kita lanjutkan hubungan ini kalau kamu nggak bisa percaya sama aku?"
Danisa berhasil membalas ucapan Ethan dengan alasannya yang tak kalah masuk akal. "Kalau kamu nggak bisa percaya sama hati aku, kita akhiri saja hubungan kita."
Kembali Danisa meminta perpisahan.
"Aku nggak mau!" Ethan dengan lantang mengatakan penolakannya.
Danisa terkekeh. "Ethan, jangan egois. Dari awal kamu maksa buat kita pacaran. Kamu nggak peduli dengan perasaanku. Tapi, kamu juga yang nggak percaya sama aku. Aku capek, dan aku juga nggak mau pusing lagi sama hubungan rumit ini. Kita putus, Ethan."
Danisa melangkah pergi penuh percaya diri. Hatinya sakit, menjerit lama dan begitu tersiksa. Tapi tak ia perlihatkan. Haruskah dia mengalami rasa sakit hati lagi? Kali ini bukan karena perselingkuhan. Tapi karena rumitnya kehidupan. Menjadi miskin ternyata begitu menyakitkan.