BAB 11 – Pelecehan

1351 Kata
Sekarang hari Sabtu, Sabtu dan Minggu biasanya aku memang tidak masuk kantor kecuali ada pekerjaan mendesak yang harus segera diselesaikan. Sabtu ini aku sudah berjanji pada Anto akan menemuinya di salah satu restoran yang cukup besar di kota ini. Aku memang sengaja menolak permintaannya untuk berkunjung kerumah. Arlojiku sudah menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Aku sudah berjanji pada Anto akan menemuinya pukul satu, siang ini. Kebetulan hari ini Langit dan Mentari sedang dibawa nenek dan kakeknya liburan ke Bukittinggi. Tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan dari pak Irfan. “Assalamu’alaikum pak, maaf ada apa ya telpon Windy?” “Wa’alaikumussalam, apakah abang menganggu, Ndy?” Ditanya seperti itu aku jadi sedikit gugup. “Ah, tidak pak. Emang ada apa ya?” Entah kenapa aku berharap saat ini ada panggilan kerja tiba-tiba kekantor sehingga aku ada alasan untuk menghindari Anto. “Tidak, abang hanya kangen saja. Rencana mau ajak Windy makan siang.” Tiba-tiba aku membeku. “Ndy ... Windy ... masih di sana’kan?” “Eh ... ya pak. Maaf, tapi Windy siang ini ada janji sama teman.” Sejujurnya aku begitu ingin menerima tawaran pak Irfan. Tapi aku teringat titah mama malam itu untuk tidak menolak ajakan Anto. “Owh ... Maaf, abang lupa kalau hari ini weekend ya. Windy pasti mau jalan sama pacar Windy itu’kan?” “Bukan pacar Pak, ini beneran mau ketemu teman, ada yang mau Windy bicarakan dengan beliau.” Aku menjawab pertanyaan pak Irfan dengan gugup. “Ya sudah, gak apa-apa. Maaf kalau abang sudah menganggu. Bye ....” Pak Irfan menutup teleponnya. Aku hanya tercenung, tidak sadar setetes cairan bening keluar dari netraku. Ada sesuatu yang bergetar hebat di dalam d**a setiap aku mendengar suara pak Irfan. Apakah ini yang di namakan cinta? Tidak mungkin, tidak mungkin aku mencintai pria beristri. Tidak ... Aku segera menepis pikiran itu dan segera berlalu meninggalkan rumah menuju restoran tempat aku dan Anto janjian. Arlojiku sudah menunjukkan pukul dua siang, sudah satu jam aku menunggu disini. Lagi, jika tidak mengingat titah mama dan antan, aku pasti sudah meninggalkan tempat ini sedari tadi. Aku hanya memainkan gawayku untuk mengisi waktu sembari menunggu Anto, pria yang sama sekali tak ingin aku temui. Kulirik lagi arlojiku, sudah menujukkan pukul dua lewat dua puluh menit. sungguh, ini begitu menguji kesabaranku. Aku sudah berdiri dan benar-benar hendak meninggalkan tempat ini sebelum seseorang meneriakiku dari kejauhan. “Hai, Windy.” Akhirnya muncul juga puncak hidung pria ini. Aku cukup emosi namun berusaha untukku tahan. Aku kembali duduk dan meletakkan tas slempang di atas meja tanpa menjawab teriakan dari Anto. “Sudah menunggu ya. Maaf abang telat dikit ya.” Dia tersenyum. Apa? Telat dikit, andai saja aku tidak menyegani antan dan mama mertuaku. Mungkin sudah ku caci maki pria ini. Dia mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah. Mungkin yang orang-orang tau aku adalah wanita yang sabar, tenang dan lembut. Tapi kenyataanya, aku tetaplah wanita biasa yang bisa marah dan juga rapuh. “Kenapa diam saja Windy? Windy kalau ngambek tambah cantik.” Godaannya malah membuatku ingin muntah. “Sudah memesan makanan?” Sambungnya lagi tanpa merasa bersalah. “Aku sudah menghabiskannya,” jawabku dingin. “Ayolah, jangan ngambek, abang terjebak macet tadi di jalan. Bukankah Alahan Panjang itu cukup jauh dari sini?” dia mencoba memberi alasan. Aku tau dari sorot matanya kalau ia berbohong. Hampir satu jam kami disini, dan kami lebih banyak menghabiskan menit demi menit dengan memainkan gaway masing-masing. “Bang, kita pulang ya. Windy masih ada kerjaan di rumah.” Aku memecah keheningan. “Kenapa cepat sekali, abang bahkan baru saja selesai makan. Kita jalan-jalan dulu ke pantai ya.” Aku lihat sedari tadi dia asyik dengan gawaynya, bahkan sesekali tertawa yang membuatnya begitu lama menghabiskan makanannya. “Terserah saja,” kataku dingin. Sedari tadi aku membolak balik file gallery di ponselku. Masih begitu banyak tersimpan kenangan manis bersama Dika—mendiang suamiku. Sesekali aku tersenyum dan tanpa kusadari tetesan bening kembali keluar dari retinaku. Aku merindukannya ... “Windy, kamu menangis.” Anto memecah lamunku. “Eh, tidak bang. Aku hanya merindukan Langit dan Mentari, mereka sedang pergi liburan bersama nenek dan kakeknya.” “Ow, baguslah.” Aku mendengar jelas dia bergumam cukup pelan. Aku sudah menebak sedari awal kalau Anto tidak menyukai anak-anakku. “Ayo kita berangkat, abang ingin mengajak Windy jalan-jalan di Pantai.” Aku hanya bisa mengikuti. Kami pergi ke pantai menggunakan motor miliknya. Sementara motor milikku tetap ku parkir di halaman restoran ini. Sesampai di Pantai, ia pun memarkir motornya. Kami melanjutkan sore ini dengan berjalan kaki di sepanjang trotoar pantai Padang dengan mengobrol ringan mengenai usaha, pekerjaan dan rencana masa depan. Langkahku tiba-tida terhenti menatap sebuah mobil putih yang berhenti tidak jauh dari tempatku berjalan. Aku seperti mengenali sesosok wajah yang terlihat dari balik kaca mobil itu. Wajahnya tidak cukup jelas namun aku yakin kalau aku mengenali orang itu, sebab kaca mobil itu memang dilapisi kaca film berwarna gelap. Sepertinya pengendara mobil itu sadar kalau aku memerhatikannya, sebab tidak lama mobil itu berlalu dari pandanganku. Siapa tadi orang yang ada di dalam mobil itu. Ah ... sudahlah, biarkan saja. Toh tidak ada urusannya denganku. Semakin kesini obrolan kami semakin ringan dan aku sesekali tertawa mendengarkan cerita Anto. Ternyata pria ini tidak seburuk yang aku bayangkan. Dia cukup menyenangkan, walau terkesan sedikit liar.  “Bang, ini sudah terlalu sore. Kita pulang ya.” Aku melihat arlojiku sudah menunjukkan pukul lima lewat lima puluh menit. “Baiklah.” Syukurlah dia tidak menolak. Entah kenapa sikapnya di atas motor saat ini terkesan tidak sopan dan mulai liar. Aku seperti biasa, selalu menjaga jarak setiap berboncengan dengan pria di atas motor. Namun kali ini dia selalu berusaha memundurkan bokongnya hingga aku sudah tidak dapat mundur lagi. Mundur sedikit saja, aku bisa terjatuh dari motor ini. “Maaf bang, mohon untuk sedikit sopan. Nanti aku bisa jatuh. Tolong maju sedikit.” Dia malah memperlambat laju motornya dan secara tiba-tiba dia menggas motornya dengan kecepatan tinggi hingga membuatku hampir terjengkang. Namun dengan cepat dia menarik tangan kiriku dan melingkarkannya di pinggang hingga telapak tanganku tepat berada di atas k*********a. Aku tersentak hingga buah dadaku terhempas dan tersandar di punggungnya. “Jangan kaku begitu, bersikap biasa sajalah, Sayang.” “TOLONG SEGERA HENTIKAN MOTOR INI!” Aku berteriak dengan cukup keras sembari melepaskan tanganku dari genggamannya. Beberapa pengendara lain melihat kami. “Aku mohon segeralah menepi, atau aku loncat dari motor ini.” Air mataku mulai menetes. Ia pun menghentikan motornya di tepi jalan dan turun terlebih dahulu. “Hei, kau jangan munafik begitulah Windy. Kita sudah sama-sama dewasa dan aku tau kau kesepian. Kenapa kita tidak menikmatinya aja. Bukankah kita nanti akan menikah juga. Anggap saja ini pemanasan.” Tangannya menyentuh lembut bibirku. Aku mengelak dan memukul tangannya sembari turun dari motor. “AKU MENYESAL TELAH MENGENALMU BANG, JANGAN HARAP AKU MAU MENIKAH DENGANMU.” Aku berkata cukup keras dan kasar pada Anto. Jari telunjukku kuhadapkan pada wajahnya. Aku pun berusaha berlalu. Anto mencegah kepergianku, dengan cepat dia menggenggam lengak kananku. “Windy tunggu, kau mau kemana.” “Lepaskan aku bang.” Aku menyentak lenganku hingga genggaman Anto terlepas. Tak sadar air mataku mulai mengalir dengan sangat deras. Aku pun berlalu dengan sedikit berlari. “DASAR JANDA TIDAK TAU DIUNTUNG. JANGAN SOK SUCI KAU WINDY. SUDAH UNTUNG AKU MAU DENGANMU. DASAR JANDA MURAHAN.” Aku mendengar dengan sangat jelas teriakan Anto. Teriakannya membuat banyak mata melihatku yang terus berlari kecil menjauhinya. Ya Allah ... Aku tak dapat membendung Air mataku. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku merasa sangat terhina oleh perlakuan Anto dan perkataannya. “jangan sok suci kau Windy, dasar janda murahan”, kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di benakku. Aku terus saja menangis dan berlari, hingga aku lihat ada sebuah angkutan kota berwarna orange berhenti di dekatku. Angkutan kota itu sedang menurunkan penumpang di sana. Aku segera masuk ke dalam angkot itu dan memilih duduk di bagian ujung. Restoran tempatku memarkir motor memang masih cukup jauh dari sini. Aku masih belum mampu membendung derasnya airmata ini. Semua penumpang angkot melihat kearahku hingga membuatku sedikit risih.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN