BAB 10 – Bertamu

1140 Kata
“Ummy ... ummy ....” Seseorang menggoyang-goyang badanku dan membuat aku terjaga. “Mentari sayang ... Aduh, ini sudah jam berapa? Mentari pulang dengan siapa?” tanyaku pada Mentari. Aku melihat arloji yang masih melekat dipergelangan tangan kiriku. Astaga, sudah jam lima pantas saja mereka berdua sudah pulang sekolah, tapi dengan siapa mereka pulang? Setauku hari ini jadwal kulian Dian dan Rian sampai jam enam sore. Aku mulai mengeluarkan keringat, mungkin efek dari obat yang diberikan dokter. Di tambah lagi aku tidak melepaskan jilbab dan tidak menghidupkan kipas angin, membuatku semakin gerah. “Tari dan abang dijemput sama om, teman kerja ummy. Tu omnya ada di luar,” jawab Mentari dengan polosnya. Aku masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang di sampaikan Mentari. Aku masih terpana di atas ranjang. “Ayo ummy kita keluar.” Mentari menarik lenganku keluar kamar. Aku melihat pak Irfan duduk di kursi teras rumah sedang bercengkrama dengan Langit. Aku memang bisa melihat jelas siapa pun yang berada di luar rumah karena ada jendela kaca hitam yang langsung menuju teras rumah. Mentari dan langit memang sering bertemu dengan pak Irfan, karena mereka sering aku bawa ke kantor ketika lembur akhir pekan. Bagaimana bisa pak Irfan mengantar anak-anakku sampai rumah? Tanpa pikir panjang aku langsung menghampiri pak Irfan. Aku tidak menawarinya masuk karena tidak pantas aku menerima tamu laki-laki sementara di rumah hanya ada aku dan anak-anak. “Pak Irfan, maaf sudah merepotkan. Langit, tolong bantu ummy buat minuman untuk om Irfan ya.” “Baik Ummy.” Langit berlalu, tak lupa menyalami Pak Irfan terlebih dahulu. Adu duduk di kursi yang berbeda di samping pak Irfan. Tempat duduk kami di batasi oleh sebuah meja kayu bundar. Kembali perasaan canggung menghampiriku. Ini pertama kalinya ada seorang pria asing yang bukan anggota keluarga bertamu kerumahku semenjak kepergian bang Dika. Kami masih membisu hingga Langit datang membawa dua gelas teh hangat untuk kami. “Makasih ya sayang, Langit dan Mentari ganti baju dulu ya. Habis itu istirahat,” kataku pada Langit dan Mentari. “Ya Ummy, tapi Tari dan abang boleh nonton TV kan ummy?” tanya mentari dengan tangan mengepal kedada, kedua bola matanya mengedip-ngedip dan bibirnya tersenyum-senyum pertanda memohon. Sungguh, sikap gadis lima tahun ini sangat lucu dan mengemaskan sehingga pak irfan tanpa sadar mencubit lembut pipi gembulnya. “Boleh, Sayang.” Pak Irfan menjawab pertanyaan Mentari. “Iya boleh,” kataku sambil tersenyum. Huft ... Sikap pak Irfan terhadap Mentari sangat manis, membuat irama jantungku kembali tak terkendali. “Terima kasih sudah mengantar anak-anak pulang dan maaf kalau sudah merepotkan bapak. Tapi maaf, bagaimana anak-anak bisa bersama bapak?” Pertanyaanku memecah keheningan. “waktu pulang tadi, ketika melewati persimpangan aku lihat anak-anak berjalan di trotoar. Aku segera keluar dari mobil dan mengejar mereka.” Arah pulang Langit dan mentari dengan arah kendaraan keluar dari persimpangan sekolah memang berlainan arah. “Mereka berjalan berdua?” Aku tercenung. “Iya, Lalu aku bertanya, mengapa mereka berjalan kaki berdua saja dan hendak kemana. Katanya mau ke pangkalan ojek, mau pulang sebab ummy tidak menjemput. Ketika ustadzah mencoba menelepon ummy, nomornya tidak aktif.” Pak Irfan kembali menjelaskan. Astaga, mendengar penjelasan pak irfan, aku segera pamit masuk ke rumah sebentar mengambil ponsel. Dan benar saja, ponsel itu kehabisan daya. “Maaf pak, tadi Windy benar-benar tidak enak badan, selepas minum obat, Windy tertidur. Terbangun ketika Mentari sudah datang. Sekali lagi Windy minta maaf.” Aku merasa jengah. “Tidak apa-apa, justru abang senang jadi bisa mampir ke sini. Bisa tau rumah Windy. Sekarang bagaimana keadaan Windy” “Alhamdulillah, agak mendingan.” “Oh iya, ini tadi abang sekalian mampir ke toko buah. Ini untuk Windy, agar lebih segar perbanyak konsumsi vitamin C.” Pak Irfan memberikan sekantong jeruk berukuran cukup besar. “Terima kasih,” jawabku sembari menerima bungkusan itu. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi aku takut pak Irfan akan tersinggung. “Maaf, apakah abang boleh mengobrol sebentar?” “Ya, silahkan.” Sebenarnya aku agak risih jika pak Irfan terlalu lama bertamu. Walau hanya di depan teras rumah, namun orang-orang di sini akan memandang sinis. Maklumlah, aku tinggal di wilayah  perkampungan dan mengingat statusku adalah seorang janda. Namun aku tidak mau membuat pak Irfan tersinggung. Dia sudah sangat baik selama ini, bahkan cukup sopan. Jadi tidak ada alasan untukku menolak permintaanya. “Abang ingin cepat menyelesaikan proses perceraian abang dengan Ita.  Abang sudah memikirkannya dengan matang, sudah tidak ada lagi yang harus abang pertahankan.” Aku membisu, hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. “Apa Windy tau bagaimana caranya agar proses perceraian di pengadilan itu berjalan cepat. Apakah abang butuh seorang pengacara? Sungguh, abang tidak tau apa-apa mengenai permasalahan ini.” Pak Irfan tampak sangat serius bercerita. Kedua sikunya di letakkan di atas kedua paha dengan telapak tangan mengepal tersandar ke bibirnya. Aku melihat ada beban yang cukup berat di pundaknya. “Maaf pak, untuk masalah ini, Windy tidak tau harus bagaimana. Yang Windy tau, jika ingin proses cepat selesai, pihak suami tidak datang di setiap sidang. Tapi apakah benar demikian atau tidak, Windy juga tidak tau pasti. Nanti wali hakim akan berusaha bagaimana caranya agar perceraian itu tidak terjadi. Tapi maaf, apakah bapak tidak memikirkannya lagi?” Aku kembali berusaha memberikan jawaban yang bijak. “Windy tidak mengerti apa yang sudah terjadi selama ini pada abang. Kalaupun abang ceritakan, tidak akan cukup waktu sejam atau dua jam untuk menceritakannya. Yang pasti, ini sudah titik final, abang sudah tidak kuat.” “Atau bapak bisa berkonsultasi dengan sepupu Windy, beliau lulusan S2 Hukum. Beliau pasti lebih paham, atau mungkin beliau punya teman pengacara yang sudah biasa menangani kasus perceraian.” “Boleh, nanti abang akan berkonsultasi dengan beliau.” “Langit, tolong ambilkan ponsel ummy, Nak. tadi ummy cas di dalam kamar.” Aku memanggil Langit. “Ya ummy,” jawab Langit dari dalam rumah. Aku pun memberikan nomor handphone sepupuku kepada pak Irfan. “Baiklah Windy, terima kasih sudah mau menemani abang mengobrol. Maaf kalau sudah menganggu. Abang harus segera pulang. Sebelum nanti semakin banyak mata yang menonton kita, hahaha.” Pak Irfan bangkit sambil tertawa ringan. Yah, aku lihat beberapa wanita paruh baya berkumpul di teras rumah salah seorang tetanggaku. Mereka mengobrol-ngobrol dengan sesekali melirik ke arah kami. Entah apa yang mereka bicarakan. Biarkanlah, toh apapun yang mereka gosipkan akan menjadi ladang pahala untuk yang di gosipkan. “Iya pak, biasa disini memang begitu. Sekali lagi terima kasih sudah mengantar anak-anak.” Akupun mengantar pak Irfan sampai ke depan pagar rumah. “Jangan lupa jaga kesehatan, bertemu lagi besok di kantor ya.” Pak Irfan masuk kedalam mobil sembari memberikan senyum terindahnya. Astaga ... Lagi, imajinasi liar kembali mengotori pikiranku. Senyum pak Irfan yang begitu manis berhasil melambung anganku. “astagfirullah, apa yang kau pikirkan Windy.” Aku menggumam pelan. Aku langsung memasuki rumah tanpa memedulikan beberapa orang yang tengah asik memperhatikanku dari seberang jalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN