Hatiku lega ketika mendapati sebuah mobil dengan cap klinik bersalin parkir di depan rumah. Setidaknya Winda tidak sendiri dan sudah tertangani. Segera kulangkahkan kaki mencari keberadaan istri tercinta. Tak sabar rasanya ingin segera menemuinya.
Di sisi lantai kamar yang kosong, dengan beralaskan karpet, Winda terbaring dan terlihat sangat lemah dan kacau. Wajahnya pucat bersimbah keringat. Rambut kusut berantakan. Jejak darah terlihat membasahi karpet, membuat tubuhku merinding dan gemetar.
Raut wajahnya terlihat sangat kesakitan. Dia sedang mengikuti arahan bidan untuk mengejan, bibirnya mengatup sehingga tak terdengar jerit mengaduh. Namun, air matanya membanjir di pipi, menerangkan betapa sakit yang ia rasakan. Nelangsa rasanya melihat kondisinya yang demikian.
Hatiku mencelos. Maafkan mas, Win. Aku merangsek untuk mendekat padanya.
"Dek." Kuraih tangannya, berharap dapat memberinya kekuatan. Namun, ia menepis. Pastilah wanitaku ini sangat marah dan sakit hati.
Aku merutuk diri sendiri. Bagaimana aku bisa tak acuh padanya di saat kesakitan seperti ini? Bagaimana bisa aku lebih mementingkan kesenangan sendiri dan buta hati pada perjuangannya? Padahal ini adalah benih yang kutanam sendiri. Darah dagingku.
"Sakit, Bu Bidan," rintihnya. Membuat hatiku perih bagai tersayat.
"Kuat, ya, Dek," bisikku. Meskipun rasanya seperti tak tahu malu untuk berkata demikian setelah apa yang kulakukan sebelumnya. Namun, aku benar-benar berharap dia kuat dan selamat sehingga aku punya kesempatan kedua untuk membahagiakannya.
Telah banyak waktu untuk bersamanya yang terbuang selama ini. Seketika memory-ku bagai roll film, memutar ulang segala sikap dan ucapanku yang menyakitinya. Semoga kesempatan kedua itu ada dan aku dapat menebus semuanya. Berada di sampingnya terutama saat ia butuh.
Menatap wajahnya yang pucat, tanganku terangkat bermaksud untuk mengusap rambutnya, menyampaikan maaf yang tak mampu terucap. Rasanya tidak pantas dan malu untuk mengucap maaf.
Akan tetapi, lagi-lagi tanganku ditepis. Tidak mengapa dia marah, asal dia tetap di sampingku. Kemarahannya tidak ada secuil kuku dari kemarahanku selama ini ketika dia usil dengan ayam-ayamku. Ah, ayam itu. Kalau terjadi apa-apa sama Winda, akan ku soto semua mereka. Seperti keinginan Winda selama ini.
Win, maafkan, Mas. Mas sayang kamu. Mas cinta kamu. Pliss, kamu harus kuat. Mas khilaf
Kembali kuraih tangan Winda, tetapi lagi-lagi ia tepis. Meskipun tahu diri dan mengerti alasan mengapa ia berbuat demikian, perih juga rasanya ketika diabaikan dan kehadiranku tidak diinginkan. Beginilah rasanya ketika dia kucuekkan selama ini. Sakit!
Perempuan yang kunikahi hampir dua tahunan itu kembali mengikuti arahan bidan, berjuang mengantar putra kami ke dunia. Putra? Ah, aku bahkan tidak tahu bayi itu putra atau putri? Tidak pernah kuantar dia periksa kehamilan. Tidak pernah kuelus perutnya dan merasakan gerakan-gerakan bayi kami. Aku justru sibuk mengelus ayam-ayam itu dan selalu mengatainya manja jika dia minta antar. Berpikir dia bisa mandiri dan menjalani semuanya sendiri. Tentu saja dia bisa, tetapi aku yang kehilangan moment. Sedih sekali rasanya.
Air matanya kembali mengalir. Ya Allah, sakit sekali sepertinya. Namun, dia hanya diam. Hanya air mata itu yang bicara dan menyampaikan padaku, bahwa apa yang dia rasakan sangat sakit. Tentu saja sakit, lihatlah darahnya! Aku kembali gemetar. Rasa berdosa kembali menyergap.
"Dek," panggilku lagi. Dia bergeming. Kuhapus air matanya, kali ini dia tidak sempat menepis. Seharusnya sejak tadi aku berada di sampingnya, menggenggam tangannya untuk memberi dukungan, menghapus air matanya. Meskipun rasa sakit itu tidak bisa kuambil alih, tetapi empati dan simpati yang kuberikan dengan berada di dekatnya pasti mampu memberinya sedikit kekuatan.
Ah, Fauzi. Kamu kemana saja? Aku kembali merutuk diri. Pikiranku benar-benar berkecamuk menyaksikan kondisi Winda. Tidak bisa ku-narasikan. Penyesalan, takut, cemas, semua bercampur aduk.
Kondisi Winda terlihat semakin lemah. Aku semakin cemas. Bidan memintaku menyiapkan air dan wash lap untuk membasahi wajahnya agar segar. Kata bidan, jika kondisi mulai lemah dapat menyebabkan mengantuk. Tertidur di antara mengejan akan berakibat fatal.
Gegas, dengan langkah lebar aku menyiapkan semuanya.
"Siapkan air minum juga, air putih sama teh hangat manis. Untuk energi Ibu," tambah Bu Bidan.
Mas sayang kamu, Dek, ucapku dalam hati. Remuk rasanya melihat keadaannya. Ah, aku benar-benar menyesal. Bagaimana bisa mati rasa dan buta hati atas kesulitannya saat mengandung selama ini? Astagfirullahal'azim.
Kuusap wajah istriku dengan air yang telah kusiapkan. Setelah itu membantunya meneguk teh manis untuk menambah tenaga. Kali ini dia tidak dapat menolak. Mungkin juga tidak enak sama bidan.
"Kuat, ya, Dek," ucapku tulus. Kutatap wajah lemahnya, tetapi dia bergeming dan melengos. Tak mengapa apapun tanggapannya, aku hanya ingin memperbaiki diri dan tetap berada di sisinya saat seperti ini.
Terdengar deru sepeda motor. Tidak berapa lama, ibu mertuaku masuk dengan tergopoh. Rupanya Winda telah menghubungi kedua mertuaku.
"Win," panggilnya lirih dari depan pintu.
"Ibu," balas Winda sambil mengulurkan tangannya. Dia menyambut ibu, tetapi mengabaikanku. Sakit!
Tahu diri, aku menepi dan memberi tempat pada ibu. Biarlah kekuatan seorang ibu yang membantu persalinan itu berjalan lancar. Semoga semuanya segera kelar dan Winda terbebas dari kesakitan. Aku sudah tidak sanggup melihat kondisinya. Pilu!
Hingga beberapa lama, perjuangan Winda juga belum memberikan hasil. Hatiku semakin cemas. Ibu memanggil dan memintaku memberikan ridho pada Winda. Sesungguhnya aku malu, ridho suami sepertiku? Yang sering menyakitinya? Namun, kuturutkan juga permintaan ibu mertua.
"Mas ridho, Dek," ucapku lirih. Kukecup keningnya penuh sayang.
Mas ridho atas semua sikap dan ucapanmu selama ini, meskipun Mas banyak salahnya.
Kugenggam erat tangannya, tak lagi ia menepis.
"Aku gak kuat lagi, Mas!" serunya sambil mencengkeram tanganku. Gemetar rasanya mendengar jerit kesakitannya.
"Kuat, ya, Sayang," bisikku sambil mengusap keningnya. Pertahananku jebol juga, sesuatu yang hangat di sudut netra akhirnya pecah.
"Kamu yang kuat, ya. Jangan tinggalkan, Mas. Mas minta maaf. Mas janji gak akan kayak tadi. Kamu boleh ganggu Mas biarpun Sabtu Minggu," ucapku serak. Aku benar-benar takut kehilangannya.
Dia tersenyum. Lega rasanya. Kuusap lembut sudut bibirnya yang terangkat. Tidak dapat kubayangkan jika harus kehilangan senyum di bibir itu untuk selamanya.
Bidan kembali menginstruksi dan memintaku berganti posisi. Aku disuruh pindah ke atas kepala Winda agar dapat memangku punggungnya sehingga sedikit lebih tegak.
"Kuat, ya, Sayang," bisikku lagi sambil mengecup keningnya. Kemudian dia kembali berjuang untuk mengantar buah hati kami ke dunia. Aku menyaksikan begini rupanya perjuangan seorang wanita melahirkan, bertaruh nyawa antara hidup dan mati, melawan sakit yang tak terperi. Beruntung diri ini diberi petunjuk sebelum terlambat. Aku masih menikmati moment meskipun di detik-detik akhir.
"Alhamdulillah," lirihku ketika terdengar tangis bayi. Air mata haru menetes tak tertahan.