Masih dengan cengar-cengir, Mas Fauzi melangkah keluar meninggalkanku tanpa kata. Apa dia marah dengan sindiranku tadi sehingga pergi begitu saja? Namun, ekspresinya berbeda, jika marah dia tidak cengar-cengir begitu. Lantas kenapa dia tiba-tiba pergi?
Eh, kenapa aku jadi cemas memikirkan sikap laki-laki itu? Bukankah aku memang punya misi untuk mendiamkannya beberapa lama? Mengapa begitu risau dengan reaksinya? Aku menghela napas. Biarlah. Masa bodo dia mau marah atau tidak.
Kualihkan pandangan pada Aqmar yang telah dibaringkan bidan di sampingku. Dia tertidur pulas dengan wajah polosnya.
Menggemaskan!
Hatiku bungah bahagia. Bagaikan mimpi, seorang malaikat mungil terlahir dari rahimku dan kini berada di sini. Tanganku tergerak mengusap pipi lembutnya. Dadaku benar-benar dipenuhi euforia yang tidak bisa disampaikan melalui aksara. Tak henti, sudut bibir ini terangkat bahagia.
Suka cita menatap wajah mungil Aqmar, aku lupa pada semua sakit yang kurasa saat mengantar hadirnya. Sakit yang mungkin lebay untuk dinarasikan, tetapi begitulah adanya. Pinggang serasa mau patah, pangkal paha bagaikan akan lepas, jalan lahir yang sobek, ah ... nikmat seorang ibu. Sekarang aku sudah berpikir ingin menambah anak lagi.
Pintu kamar terbuka, Mas Fauzi masuk dengan nampan di tangan.
"Minum s**u dulu, ya, Sayang. Buat ganjel perut. Lauknya belum matang. Ibu lagi masak," ucapnya sambil duduk di sampingku. Ada segelas s**u, sepiring jajanan pasar, dan satu wadah berisi buah mengisi nampannya.
Keningku berkerut. Mas Fauzi kesambet apa? Tidak pernah dia melayaniku seperti ini, bahkan selama ini ketika aku sakit pun dia tidak pernah peduli. Justru tetap memintaku yang melayani segala butuhnya.
"Minum. Habiskan! Kamu pasti lapar. Banyak energi yang terkuras tadi. Biar cepat pulih tenaganya," titahnya lembut. Dia memberikan segelas s**u itu padaku.
"s**u apa ini?" tanyaku datar dan masih memasang wajah jutek. Dia menatapku sebentar, mungkin kaget atas sikap jutekku. Barangkali Mas Fauzi berharap aku akan mengucapkan terima kasih dan klepek-klepek dengan perhatiannya. Seharusnya memang begitu. Namun, nanti saja klepek-klepeknya, tunda dulu.
"s**u ayam, Mas meras di kandang tadi," jawabnya membalas dengan nada ketus.
"Hahhh?" tanyaku dengan mata membulat. Mulutku terbuka. s**u ayam? Keningku kembali berkerut.
Laki-laki itu tertawa lebar, "Enggak, Sayang. Manalah ayam punya s**u," terangnya sambil mengusap kepalaku.
Tentu saja aku tahu ayam tidak punya s**u. Karena itu aku terkejut.
"Ini s**u ibu menyusui. Sama merknya dengan s**u yang biasa kamu minum itu, cuma ini yang gambarnya ibu-ibu sedang menggendong bayi. Tadi Mas beli," lanjutnya.
"Siapa yang suruh beli?"
"Gak ada. Mas cuma mikir kamu pasti butuh asupan nutrisi dalam waktu cepat. Tadinya mau beli nasi, cuma kata Ibu gak lama lagi masakannya matang. Ya sudah, beli cemilan sama s**u saja," jawab laki-laki itu. Tangannya membenarkan helaian rambut yang menutupi wajahku, lembut sekali.
"Ayo, dihabiskan susunya. Kuenya dimaem. Mulai sekarang kamu butuh asupan nutrisi lebih banyak, karena yang makan itu tidak hanya kamu, tapi berbagi dengan Aqmar," tuturnya sambil menyentuh lenganku.
Sembari menyesap s**u, aku menatap Mas Fauzi penuh tanya. Masih berpikir dia kesambet apa sehingga sikapnya bisa berbalik arah menjadi 180 derajat begini.
Laki-laki itu mengalihkan perhatian dariku. Ia mendekat pada Aqmar kemudian merendahkan diri sejajar dengan bayi itu. Sambil berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala, Mas Fauzi menatap dalam cetakan mininya. Kedua sudut bibirnya tertarik lebar ke samping. Tangannya yang lain dilingkarkan pada tubuh mungil itu. Wajahnya perlahan mendekat. Lembut, Mas Fauzi mencium Aqmar berulang kali.
Tidak bisa disangkal bahwa sudut hatiku begitu haru melihatnya. Suamiku yang selama ini selalu abai, ternyata bisa berlaku sangat manis. Aku bisa merasakan ketulusannya, semua bukan sandiwara.
Apakah kamu benar-benar telah berubah, Mas? Jika benar demikian, tetaplah seperti ini. Jangan abai lagi. Batinku.
"Mirip Mas, ya, Dek," ucapnya tetap fokus menatap Aqmar. Jemarinya diketuk-ketuk lembut pada setiap inchi wajah mungil itu.
"Iya. Sembilan bulan jungkir balik sendiri. Tidak enak makan tiga bulan pertama. Tidak enak tidur tiga bulan terakhir karena tiba-tiba di dalam perut nendang. Tidak leluasa bergerak, berat. Kadang-kadang sulit bernapas. Bertaruh nyawa saat melahirkan. Eh, begitu keluar mirip ayah," sahutku dingin dan datar. Pandanganku lurus ke depan. Pura-pura kesal dan tidak mau menatapnya.
Melirik dari ekor mata, dapat kulihat Mas Fauzi menatapku sebentar kemudian menghela napas berat. Sejenak kemudian dia bangkit dan beringsut mendekatiku. Tangannya mengambil alih gelas s**u ditanganku yang telah tandas isinya.
"Maem kuenya, Sayang." Ia menyodorkan piring kue padaku. Namun, aku bergeming. Dia menghela napas lagi, kemudian memotong kecil kue putri ayu dan menyuapkannya padaku.
"Aaa." Laki-laki itu membuka mulutnya sebagai kode agar aku membuka mulut juga. Namun, aku melengos dan kembali bergeming.
"Maaf atas kekhilafan mas selama ini. Mas buta hati sehingga tidak bisa melihat kondisimu. Baru sekarang mas menyadari beratnya perjuanganmu," ucapnya. Piring kue kembali ia letakkan, kini laki-laki itu meraih tanganku.
"Mas berjanji mulai saat ini akan selalu ada untuk kamu dan Aqmar. Kita akan mengurus anak kita bersama-sama," lanjutnya sambil menggenggam erat jemariku.
"Jangan berjanji," balasku, "Berjanji kalau lupa menepati jatuhnya dosa."
"Ya, diingatkan, dong! Biar gak lupa," timpalnya cepat.
"Coba lihatnya ke sini." Ia memaut pipiku agar menghadap padanya. Membuat netraku utuh mengarah pada rahang kokohnya, alis tebal, mata coklat, dan hidungnya yang proporsional. Sama sekali tidak pesek, tetapi tidak pula mancung berlebih.
"Mau, 'kan, ingatkan, mas," pintanya. Sudut bibirnya tertarik. Alisnya terangkat untuk menggoda.
Aish. Kenapa dia jadi kembali menggemaskan seperti saat awal bertemu dulu?
"Ntar diingatkan malah marah-marah." Aku mencebik.
"Diingatkan lagi sampai gak marah-marah," sambutnya, "Bantu, mas, untuk jadi suami dan ayah yang baik, Sayang. Jangan pernah lelah menghadapi, mas. Tetaplah sabar seperti dulu." Laki-laki itu menatap sendu. Wajahnya serius. Beberapa jenak ucapannya mampu membuatku terpaku.
"Maem kuenya, ya. Biar ASI kamu banyak," bujuknya. Tangannya kembali menyuapkan potongan kecil putri ayu tadi. Kali ini aku tidak bisa menolak. Bagai terhipnotis, mulutku selalu terbuka menerima suapan-suapan darinya.
Terdengar tangisan kecil dari Aqmar. Bayi itu terlihat bergerak gelisah. Mas Fauzi menyerahkan piring kue padaku, "Maem sendiri, ya," ucapnya. Ia beringsut untuk mendekat pada Aqmar.
"Anak ayah bangun?" tanyanya lembut.
Tangannya mengepuk bayi merah itu, bermaksud menenangkan agar tertidur kembali, "Dek, kok basah?" tanyanya sambil meraba bagian belakang.
"Pipis?" tanyaku memastikan.
"Iya kayaknya," jawabnya. Aku memang belum belanja diapers karena HPL masih dua minggu lagi. Nanti saja, pikirku. Jadi saat ini Aqmar hanya mengenakan popok kain.
"Ya, sudah. Ganti," ucapku cuek.
"Hah? Mas yang ganti?"
"Iya."
"Mas mana bisa, Dek. Kamu saja, ya."
"Aku masih sakit, Mas," elakku manja. Padahal sebenarnya bisa. Sedikit mengerjai tidak apa-apa 'kan?
"Panggil ibu saja, ya."
"Ibu 'kan masih sibuk masak."
"Dek." Ia menelan ludah sambil menatapku tidak enak."
"Jadi gak mau, ni?"
"Bukan begitu, tapi ...."
"Tapi?"
"Takut, Dek. Masih lembut banget."
"Ya, itu tantangan. Katanya akan selalu ada untuk Aqmar dan mengurusnya bersama-sama."
Ia kembali menelan ludah. Kemudian ragu-ragu tangannya membuka bedong yang membalut tubuh merah Aqmar. Aku memperhatikannya dengan deg-degan. Jujur, ada sedikit rasa tidak percaya apa Mas Fauzi bisa melakukan itu, aku sendiri saja belum yakin bisa apa tidak mengganti popok Aqmar untuk saat ini. Benar kata Mas Fauzi, putra kami masih sangat lembut. Khawatir jika salah-salah memegangnya bisa berakibat fatal.
Setelah bedong terbuka, Mas Fauzi membuka penutup bagian bawah.
"Dek, ada eeknya!" serunya.