5. PoV Fauzi

844 Kata
Aku meraih gawai yang bergetar di saku celana dengan dongkol. Panggilan dari Winda--istriku. Dia tidak menyerah juga setelah 59 panggilannya kubiarkan tak terjawab. "Mas, pulang! Sepertinya aku mau melahirkan," ucapnya di ujung telepon. Aku mendengkus. "Kalau mau melahirkan itu, panggil bidan, bukan saya!" ucapku kasar. Aku sedang asyik menyaksikan satu pertarungan seru dan sangat tidak suka diganggu. "Sudah berapa kali saya bilang, Sabtu Minggu jangan ganggu!" lanjutku masih dengan intonasi tinggi. Sabtu Minggu adalah jadwalku tarung ayam. Sekedar untuk kesenangan dan melepas penat kerja. Jadi, kukatakan padanya untuk tidak mengganggu apapun alasannya. Namun, Winda memang perempuan yang ngeyel dan menyebalkan. Bukan sekali ini saja dia menelepon saatku sedang asyik menyaksikan ayam champion yang sedang bertarung. Dulu, dia selalu meminta pulang lebih cepat dengan alasan minta dibelikan ini itu. Apa dia tidak tahu, demi hidup yang lebih b*******h, memanjakan diri bersama hobi itu penting. Dia akan melahirkan ..., memangnya aku bisa apa? Cukuplah bidan yang membantunya, mengapa harus menghubungiku? Paling juga aku hanya bisa diam, apalagi aku sangat takut dengan darah. Kesal, kututup telpon secara sepihak. Dia memang tidak pernah mendukung hobiku. Apa aku salah pilih ketika memutuskan untuk menikahinya? Seandainya aku memilih perempuan yang tepat seperti yang dilakukan Edi. Istri Edi selalu mendukung kesenangannya. Bahkan beberapa kali Eliana--istrinya ikut datang ke arena dan menyaksikan pertarungan. Eliana juga mau membantu mengurus ayam-ayamnya. Sepanjang yang kutahu dan yang pernah kulihat saat bertandang ke rumahnya, Eliana turut meramu jamu atau memberi makan ayam-ayam kesayangan Edi. Sedangkan Winda? Membersihkan kotoran ayam di teras saja harus mengomel panjang dulu. Jika aku sibuk, ayam yang kelaparan tetap tidak diberi makan. Bahkan pernah kudapati, Winda sengaja melempari ayamku agar takut dan trauma untuk bertarung. Karena dia tahu, jika pernah digertak dan kemudian kaget atau takut, ayam akan ciut ketika bertarung dan menjadi produk gagal. "Nanti dia jadi takut dan gak bisa bertarung!" seruku kesal ketika dia menghentakkan kaki di depan ayamku yang bermain tidak jauh darinya. "Gak bisa bertarung, tapi masih bisa dimasak soto 'kan gak apa-apa. Masih bermanfaat bahkan lebih baik," sahutnya santai dan pelak membuatku kesal. Coba saja kalau dia berani melukai ayam-ayamku. Seharusnya dulu aku mencari wanita yang mendukung hobiku, patuh pada apa yang kukatakan. Bukan justru sok pintar menasihati. "Dosa, lho, Mas, mengadu hewan," tuturnya. Sok alim! "Nanti di akhirat, gantian Mas yang di arena. Ayam-ayam itu jadi penontonnya sambil berteriak, ayo, Zi. Semangat, Zi. Keluarkan pukulanmu, Zi." Dia pikir aku takut dengan bualannya? Andai Winda itu seperti Eliana, atau Erlin. Erlin adalah adiknya Eliana, pernah dua kali ikut menonton tarung dan dia terlihat antusias. Erlin juga supel dan menyambung ketika diajak mengobrol, termasuk masalah per-ayam-an. Dia mengerti seluk beluk dunia ayam, sungguh luar biasa. Meskipun baru dua kali bertemu, kami sudah bisa akrab. Aku sering chatt dengan Erlin, terutama ketika bosan atau kesal karena tingkah Winda yang sok alim dan cuek dengan ayam-ayamku. "Pertarungan terakhir seru ni. Ayam Si Kahar," ucap Sodikun yang duduk di sampingku. "Iya, pukulannya mantap," timpalku, "Eh, tapi Kahar kemana? Tidak kelihatan," tanyaku heran. Biasanya Si Maniak adu ayam ini tidak pernah absen pada setiap pertarungan. "Malam ini ada acara tahlilan nujuh hari istrinya. Aku tadi diundang, sih. Cuma datang sebentar saja terus langsung ke sini," jawabnya. "Nujuh hari istrinya?" Keningku berkerut, "Bukannya istri soleh sehat-sehat saja dan sedang hamil. Katanya sebentar lagi mau melahirkan," bantahku. "Iya. Tapi minggu lalu tiba-tiba istrinya pecah ketuban. Waktu nelpon Kahar dan minta agar cepat pulang, Kahar gak mau. Katanya sedang seru dan bilang tunggu sebentar, menyelesaikan pertarungan terakhir. Begitu pertarungan selesai, Kahar pulang, tapi semua sudah terlambat. Istrinya sudah kaku, sendirian di rumah. Bidan terlambat datang karena saat bersamaan ada yang lahiran juga. Menurut bidan anaknya tersangkut karena saat akan keluar ditahan dan dijepit. Mungkin takut atau bagaimana. 'Kan belum pengalaman, anak pertama." Aku menelan ludah. Seret dan terasa sangat pahit. Tiba-tiba terlintas wajah pucat Winda dengan tubuh yang kaku. Tubuhku gemetar. Dunia seakan berguncang. Pandanganku gelap. Bayangan Winda pergi seketika mengusik benakku. Rasa takut kehilangan benar-benar menyergap tanpa ampun. Aku merasa tiba-tiba ingin menangis. "Win, Mas sayang kamu. Tunggu Mas pulang, Win. Kamu harus kuat." Rasa bersalah tiba-tiba menghantui. d**a benar-benar bergejolak. Ya Tuhan, bagaimana jika Winda? Ah ... gegas, aku berlari menuju mobil. "Mau kemana, Kang?" Teriakan Soleh tak lagi kugubris. "Kang, uangnya ni!" serunya. Uang taruhan pertarungan sebelumnya yang belum dibagikan tak lagi mampu menahan langkahku. Lagi pula aku memang tidak terlalu peduli dengan hasil taruhan. Karena tujuanku bukan judi, tetapi hobi. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi. Sudah cukup malam, jadi jalanan lengang sehingga aku bisa sedikit mengebut. Perasaanku tidak menentu. Bagaimana jika Winda .... Arrgh, lagi-lagi bayangan itu muncul. Ya Allah. Aku takut sekali. "Jangan tinggalkan, Mas, Win," gumamku. Rasa takut itu benar-benar merasuki. Tanpa terasa air mataku mengalir. "Mas cinta kamu, Win. Mas cinta kamu. Tolong tunggu Mas pulang," gumamku gila. Membayangkan Winda pergi untuk selamanya rasanya jiwaku hampa, hatiku sakit. Tiba-tiba aku sangat merindukannya. Winda-ku yang meskipun marah, selalu melayani semua keperluanku dengan baik. Segera kutambah kecepatan mobil. Kutekan gas hingga full. Tak sabar rasanya untuk segera bertemu Winda. Jika diberi kesempatan lagi, aku akan memperlakukannya dengan sangat baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN