"Kamu masih marah?" tanyanya sambil menggeser duduknya lebih dekat denganku. Telunjuk kanannya mengelus lembut pipi putra kami.
Aku bergeming. Sebenarnya sudah tidak marah lagi. Justru aku merasa sangat bahagia atas perubahan sikapnya, terharu atas perhatian dan kelembutannya. Meskipun di hati masih penuh tanda tanya, apa penyebab perubahannya yang mendadak?
Aku takut perubahan ini hanya sementara atau kepura-puraan saja. Apalagi perubahan drastis ini terjadi hanya dalam hitungan jam. Ada sedikit rasa khawatir jika Mas Fauzi akan mengulangi hal yang sama. Terlebih, setelah ini aku tidak sendiri lagi. Ada anak kami. Bagaimana jika nanti dia juga akan melalaikan anaknya demi hobinya itu?
Mengingat kembali ucapannya semalam, nyeri itu kembali terasa. Aku ingin dia paham sakitnya diabaikan. Apalagi demi suatu kesenangan pribadi. Bukan karena suatu hal yang darurat. Bagaimana jika dia yang diabaikan? Bagaimana perasaannya jika perhatian yang kuberikan selama ini hilang? Apakah dia tetap bahagia bersama hobinya? Jika iya, fix biar dia berkeluarga dengan ayam saja.
"Enggak," jawabku sambil menggeleng. Nada bicara kuatur sedikit ketus agar dia merasa aku masih marah dengan perlakuannya.
"Benaran enggak? Tapi, kok, cuek gitu?" Sekarang telunjuknya beralih mengusap pipiku, lembut sekali. Duh, jadi ser ... ser ... dadaku dibuatnya.
Tahan, Win! Kuatkan iman. Jangan tergoda! Habis lahiran juga. Eh, bukan itu maksudnya. Jangan luluh.
"Gak, kok," balasku tetap berusaha ketus.
"Enggak, tapi ketus," balasnya.
"Biasa aja," sahutku berusaha santai. Kutarik ujung bibir agar tekukan-tekukan di wajah berubah halus dan rautku terlihat manis.
"Kalau begitu siapa nama anak kita?" tanyanya sambil menatapku teduh. Bibirnya mengukir senyum tipis.
Aiiihhh, manis sekali. Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Menetralkan rasa yang bergejolak. Di satu sisi, ingin tetap diam. Di sisi lain, sikap dan senyum manisnya membuatku kelimpungan.
"Namanya ...." Tiba-tiba satu ide jahil terlintas di benakku.
"Siapa?" tanyanya tak sabar.
"Jago Putra Fauzi," ucapku sembari menahan tawa.
"Hah?" Bola matanya membulat menatapku. Mulutnya terbuka cukup lebar.
"Kenapa?" Sekuat tenaga aku menahan tawa yang sudah terasa di ujung bibir. Raut wajah tetap kupaksa terlihat datar.
"Serius kamu, Dek? Masa, iya, namanya Jago?"
"Mas 'kan suka jago. Sekalian aja anaknya dikasih nama Jago."
"Dek." Dia menatapku seperti tidak enak hati, terlihat penuh sesal dan rasa bersalah. Kasihan juga aku melihatnya.
"Namanya Aqmar Dauzi Ramdan," sahutku. Kali ini benar-benar serius. Dia tersenyum.
"Apa artinya?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Anak laki-laki dari Winda dan Fauzi yang cerdas, terlahir untuk menyinari hidup dirinya, juga keluarganya," terangku.
Dia terdiam sebentar sambil menatapku sendu. Beberapa saat pandangannya tidak fokus, sebentar menunduk, sebentar menoleh ke arah lain sambil menautkan kedua bibir. Kemudian terdengar dia mendesah, seperti membuang beban bersama embusan napasnya.
Aku mengernyit, "Kenapa?" tanyaku tidak mengerti. Heran dengan ekspresinya, seperti gelisah.
"Mas gak suka namanya?" lanjutku.
"Suka," jawabnya cepat.
"Terus?"
"Gak apa-apa. Aamiin. Semoga terus seperti namanya, menyinari, gak seperti ayah," paparnya.
"Sadar pun," ucapku kembali ketus.
Beberapa lama berlalu sejak pertama kali Aqmar diletakkan di perutku untuk melakukan IMD, hingga ia bisa menemukan sumber makanan pertamanya. Sekarang hisapannya mulai berkurang, mungkin dia sudah puas. Aku segera memanggil bidan untuk membantu mengurus bayiku lagi. Maklum, pengalaman pertama. Masih takut karena kondisi bayi yang masih lembut.
"Ya, sadar, sih, kalau selama ini sebenarnya salah," ujarnya.
Aku menatapnya tajam. Jika sadar, kenapa terus dilakoni?
"Tapi ...." Dia mengusap tengkuk berulang kali. Kemudian menyugar rambut sambil cengar-cengir.
"Tapi ...?" Aku menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Sulit sekali mau lepas, Dek."
Aku mendengkus kemudian membuang pandangan darinya.
"Ya, sudah. Lanjutkan," ketusku.
"Dek." Dia menggoyang bahuku. Namun, aku bergeming.
"Mas, minta maaf," lanjutnya lirih.
"Aku udah maafin," jawabku acuh tak acuh. Pandanganku tetap mengarah pada sisi kosong.
"Kalau sudah maafin, kenapa masih ketus saja?"
Aku menghela napas. Tiba-tiba teringat kembali semua sikapnya yang menyakitkan selama ini. Ketika sebelum hamil, semua masih terasa biasa. Namun, semua terasa sulit ketika mulai mengandung.
Saat morning sick, ketika lemas tidak berdaya, aku ingin makan yang segar untuk asupan tenaga. Maka kuminta Mas Fauzi membelikan buah pear hijau. Aku sangat suka buah itu. Sejak pagi, baru sore dia berangkat dan itu pun dengan setengah membentak. Padahal aku terus saja mual muntah dan lemas. Tidak ada kasihan sama sekali darinya. Alasannya, dia sibuk mengurusi ayamnya yang sekandang.
Tidak pernah dia mengantarku kontrol. Apalagi belanja perlengkapan bayi. Aku, dengan perut buncit kepayahan mencari sendiri berbagai keperluan melahirkan.
"Yang penting saya sudah beri kamu uang," ujarnya ketika kubandingkan dia dengan suami orang.
Masalah uang, sejauh ini dia masih bisa diandalkan. Dan aku pastikan itu bukan hasil taruhannya, karena aku selalu menekankan tidak mau uang hasil judi. Uang taruhan pun selalu habis untuk membeli ayam lagi atau biaya perawatan ayam lainnya. Namun, kecukupan uang yang dia berikan justru membuatnya bertindak sesuka hati. Seolah cukup dengan uang saja, padahal kehadirannya lebih berarti.
Mas Fauzi adalah seorang kontraktor. Saat musim proyek, dia sibuk memantau proyek yang sedang berjalan. Saat proyek selesai, dia malah sibuk bersama ayam. Sebelum menikah, aku tidak tahu dia suka adu ayam. Lagi pula, arena sabung ayam baru dibangun beberapa bulan setelah kami menikah.
"Dek," panggilnya ketika aku hanya membisu.
"Hmm ...."
"Masih marah?"
"Enggak."
"Tapi diam aja."
Kembali aku menghela napas panjang, "Yang penting aku sudah maafin, Mas. Sudah sana, kasihan ayam-ayamnya sampai jam segini belum dimandiin," sindirku.
Gantian dia yang menghela napas panjang, "Biar saja, gak apa-apa hari ini ayamnya gak mandi," ujarnya pelan.
"Tumben ...! Biasanya, bangun tidur kuterus mandikan ayam," ledekku dengan meniru nada lagu Bangun Tidur.
"Kan hari ini kamu melahirkan."
"Sudah ada bidan. Melahirkan itu, butuh bidan. Bukan kamu," sindirku mengulang kata-katanya.
Dia terdiam, bergantian mengusap pundak dan mengusak rambut, berulang-ulang sambil cengar-cengir.