8. Telepon Dini Hari

957 Kata
"Kenapa, Mas?" "Tadi merengek, ternyata tembus. Basah," sahutnya. Laki-laki itu terlihat mengganti diapers Aqmar. Dua minggu sudah kami menjadi orangtua, Mas Fauzi sudah piawai mengganti popok dan membersihkan pup. Bahkan tak jarang dia memandikan bayi itu jika aku sedang repot. Ibu sudah kembali seminggu lalu, "Tidak ada yang mengurus bapakmu," terang beliau ketika pamit pulang. Bapak kembali ke rumah sehari setelah kelahiranku karena harus bekerja. "Lagi pula suamimu mau membantu apa saja, jadi kamu tidak akan repot," ujar Ibu. "Iya, Bu." Aku mengangguk. "Baik-baiklah dengan suamimu. Ingat, ridho Allah itu tergantung ridho suami. Istri adalah perhiasan suami. Yang namanya perhiasan selalu indah. Bagaimana agar selalu indah? Sikap, raut wajah, tutur kata harus dijaga. Jika hati suami selalu senang, dia ridho denganmu, Insya Allah segala urusan dan langkahmu dipermudah oleh-Nya." "Bagaimana jika Mas Fauzi yang salah?" "Sampaikan dengan cara yang baik. Pilih waktu yang tepat untuk bicara. Ketika kamu yakin salah satu di antara kalian tidak ada yang sedang emosi, menjelang tidur misalnya. Suasana yang adem memudahkan hati menerima segala pendapat. Jadi sampaikan dengan adem pada kondisi yang adem pula. Jika disampaikan dalam keadaan emosi, baik salah satu, apalagi keduanya, bisa bertengkar nantinya." Aku terdiam. Benar apa yang Ibu ucapkan. Aku sering menyampaikan keluh kesah dan kekesalan saat kesalahan itu terjadi, di mana hati dalam keadaan emosi. Alhasil bukannya sadar, Mas Fauzi sering semakin marah dan masalah tidak terselesaikan. "Satu hal lagi," lanjut Ibu sambil menatapku teduh dan dalam. "Jangan menyimpan sakit hati atau perasaan dongkol atas kesalahan suami. Itu hanya akan menyiksamu. Jika suami melakukan hal yang buruk dan tidak mau mendengar nasihatmu, teruslah memaafkan. Berpikiran baik bahwa kelak dia akan berubah dan selalu berdoa agar Allah menggenggam hatinya. Hanya Allah yang maha membolak balikkan hati." Aku menghela napas. Tidak pernah sekali pun aku menceritakan persoalanku dengan Mas Fauzi. Tentang hobinya yang sangat tidak kusukai. Namun, Ibu menasihati seolah sangat paham ada sesuatu di antara kami. Aku melirik penunjuk waktu di gawaiku. Pukul 01.40 am. Ternyata sudah lebih satu jam aku terlelap. "Kenapa gak bangunkan aku saja, Mas," ucapku. Tanganku mengambil diapers darinya, bermaksud mengambil alih untuk memasangkannya pada baby Aqmar. "Tidak apa-apa, Sayang. Siapa yang duluan terjaga saja. Kamu istirahatlah selagi Aqmar belum pengen menyusu. Kalau ganti popok atau yang lainnya, Mas, bisa bantu. Kalau menyusu, ya, harus kamu," tuturnya sambil tersenyum. Ia mengambil kembali diapers dari tanganku. "Terima kasih, ya, Mas," ucapku tulus. "Tidak perlu berterima kasih, Sayang. Aku ini ayahnya, memang seharusnya begitu 'kan?" Ia mencubit hidungku gemas. "Terima kasih sudah jadi ayah yang baik," lanjutku. "Sama-sama. Kalian berdua sangat berarti untuk, Mas," ungkapnya membuat hati ini berdesir haru. "Waduh, malah eek," ucapnya setelah semua hampir selesai. Popok juga telah ia letakkan pada posisi yang pas, hanya tinggal memasang perekat saja. Dalam waktu bersamaan, terdengar nada dering dari gawai Mas Fauzi. "Biar aku saja, Mas. Hp, Mas, bunyi," ucapku. "Siapa yang menelpon pada jam segini?" tanyanya dengan kening berkerut. "Angkatlah, Mas. Telpon jam segini, pasti penting." Aku beringsut mengambil gawainya yang terletak di atas nakas kamar kami, membaca nama yang tertera sebelum menyerahkannya pada laki-laki itu. "Siapa?" tanya Mas Fauzi. Wajahnya terlihat sedikit cemas. "Er ... lin," sahutku. Nama perempuan? Tiba-tiba ada sesuatu yang tercubit di dalam hati. Perempuan menelpon dini hari begini? "Biarkan saja, teman sabung ayam," terangnya sambil kembali fokus pada Aqmar. Dia menolak ketika kerjanya kuambil alih. Teman sabung ayam? Perempuan? "Angkat saja, Mas. Siapa tahu penting." Aku mengulurkan gawai itu padanya. Menahan hati yang bergejolak tak menentu, aku berusaha bersikap tenang. "Gak usah, paling nanyain kenapa gak datang ke arena lagi," sahutnya. "Masa iya sekedar nanya begitu sampai harus dini hari begini?" Aku tak bisa menyembunyikan curiga. "Ya, paling baru pulang dari arena. Biasa, kok, dia nelpon jam segini." Apa? Biasanya? Sejak kapan? Dadaku semakin terasa nyeri. "Perempuan juga ikut sabung, Mas? Ada?" "Ya, ada. Itu orangnya," sahutnya santai sambil tetap membersihkan pup Aqmar. "Dan baru pulang jam segini?" Aku lanjut bertanya. "Iya." "Sering dia ke arena?" Aku mulai menjadi detektif. "Gak sering, hanya dua kali." "Hanya dua kali bertemu terus saling simpan nomor telepon. Sudah biasa telpon dini hari," ucapku datar dan dingin. Netraku mengerling curiga. Mas Fauzi menoleh padaku. Ia tampak tercenung sebentar sebelum berusaha bersikap santai. Kelihatan sekali sikap salah tingkahnya. "Sepertinya anak ayah mau nen." Ia mengalihkan pembicaraan sambil membawa Aqmar padaku. Tampak bayi yang telah ia ganti popoknya itu membuka mulut dan menggerakkannya ke kiri ke kanan, mencari-cari sesuatu. Aku segera menyambut tubuh mungil itu dan memberinya ASI. Sementara benak masih berkecamuk memikirkan nama Erlin. "Mas buang diapers dulu, ya," ucapnya sambil mengambil popok bekas pup Aqmar. Aku mengangguk. Namun, Mas Fauzi juga mengambil gawainya sebelum melangkah ke luar. Untuk apa membawa hp sekalian kalau sekedar membuang diapers bekas di belakang? Apa laki-laki itu mau menelpon balik perempuan bernama Erlin itu? Jadi tadi dia sengaja tidak mengangkat panggilan karena tidak ingin aku mendengar pembicaraan mereka? Mas Fauzi sengaja menelpon balik di luar agar tidak ketahuan dariku? Sebenarnya siapa perempuan itu? Benakku dipenuhi berbagai tanya. Terus terang aku curiga ada affair yang coba Mas Fauzi tutupi. Awas saja jika kecurigaanku benar. Perempuan seperti apa, sih, Erlin? Perempuan, kok, hobi sabung ayam bahkan pulang hingga dini hari. Mas Fauzi yang laki-laki memiliki hobi seperti itu sudah memberi cap negatif, apalagi perempuan? Sudah hampir sepuluh menit, Mas Fauzi belum kembali ke kamar. Waktu yang cukup lama jika sekedar membuang popok ke penampungan sampah belakang. Malah aku mendengar suara pelannya dari luar sana. Ia seperti sedang mengobrol. Benar saja ternyata dia menelpon balik perempuan itu. Kesal sekali rasa hatiku. Jika tidak ada apa-apa mengapa harus menelpon sembunyi-sembunyi? Dadaku bergemuruh panas. "Astagfirullahal'azim ... Astagfirullahal'azim." Aku beristighfar berulang kali untuk meredam emosi dan pikiran negatif. Saat ini Aqmar sedang menyusu. Aku tidak mau dia merasakan aura tidak baik dari kekacauan pikiranku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN