"Reen, bakso nih. Beuuuhhh sengaja gue pesenin buat lo, panas, pedes, cuka tiga tetes, bawang goreng yang banyak."
Semangkuk bakso panas Mas Iwan langganan Shireen dan juga Adilla mengepul di hadapan Shireen sekarang ini, wanginya mengepul ke seluruh ruangan harum akan kaldu sapi dan juga bawang gorengnya. Benar yang dikatakan Adilla, bakso ini adalah kesukaan Shireen, sudah beberapa tahun sejak mereka berdua tinggal di apartemen ini, bakso ini adalah comfort terenak disaat mereka berdua yang tengah sibuk dengan pekerjaan atau sedang tidak enak badan.
Itu sebabnya saat Shireen mengeluhkan badannya meriang beberapa hari ini, kepalanya pusing, perutnya mual, dna badannya lemas sebagai roomate dan sepupu yang baik Adilla berinisiatif memesankan makanan kesukaan sepupunya ini. Dilla berharap Shireen akan segera membaik usai makan makanan hangat ini, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Baru saja Shireen keluar kamar, saat mendengar apa yang Dilla katakan tentang bakso kesukaannya, niat hati Shireen dia ingin mengucapakan terimakasih untuk sepupunya yang baik ini, namun bukannya kalimat terimakasih yang meluncur dari bibirnya melainkan rasa mual yang hebat, perut Shireen seakan diremas kuat-kuat, dan dorongan dari dalam lambungnya seketika naik ke tenggorokan.
"Hoooooeeeekkkkkk!" Terbirit-b***t Shireen berlari ke wastafel, nasib baik langkahnya begitu cepat hingga muntahan itu mendarat tepat di tempatnya.
"Hoooeeeekkkk!!!"
"Hoooeeeekkkk!!!"
Tidak hanya sekali Shireen memuntahkan isi perutnya, tapi berkali-kali hingga hanya cairan kuning yang keluar, sekeras mungkin Shireen berusaha menghentikan perutnya yang bergejolak tetap saja perutnya menolak selama bau bakso itu memenuhi hidungnya.
"Ya Allah, lo tuh kenapa, sih? Beneran sakit lo sampai kayak gini?" Shireen sama sekali tidak bisa menjawab omelan yang keluar dari bibir Dilla, bahkan pijatan di tengkuknya yang Dilla niatkan untuk memperingan rasa mual Shireen sama sekali tidak berguna.
Rasa mual dan muntah yang terus-terusan ini membuat kepala Shireen pusing dan badannya lemas, bahkan karena mual yang menyiksanya belakangan ini karena dia yang sangat sensitif terhadap bau makanan membuatnya sekarang sama sekali tidak memiliki tenaga. Shireen lapar, tapi perutnya menolak makan-makanan yang ada di sekelilingnya.
"Astaghfirullah, lo kenapa dah!!!" Tentu saja mendapati wajah pucat Shireen yang kini terduduk lemas dibawah wastafel dapur membuat Dilla memekik panik, perempuan yang bekerja di perusahaan asuransi ternama ini sontak saja ikut berlutut di samping tubuh sepupunya yang terasa dingin. Selama ini mereka hidup berdua di apartemen, dan Shireen adalah tanggung jawab Dilla. Dibandingkan saudara mereka yang lain, Dilla dan Shireen lebih seperti saudara kakak dan adik, tentu saja orang pertama yang akan disalahkan jika hal buruk terjadi pada Shireen adalah Dilla.
"Dill, baksonya buang, bau....." dengan lemas Shireen menunjuk mangkuk bakso yang ada diatas bar mini mereka, bahkan untuk sekedar berbicara saja perlu perjuangan yang sangat keras untuk Shireen. Tanpa membuang waktu lagi Dilla bangkit, membuang bakso itu ke tempat sampah dan langsung mengguyur mangkoknya, saking gugupnya bahkan Dilla tidak mematikan air karena Dilla tergopoh-gopoh membuka jendela balkon apartemen mereka.
Bakso sudah dibuang, dan angin pun mulai membilas bau bakso yang menjadi pemicu kesengsaraan Shireen tapi tetap saja Shireen yang pola makannya berantakan beberapa hari ini sudah terlanjur lemas, kepalanya pusing, dan matanya berkunang-kunang, sekuat tenaga Shireen mempertahankan kesadarannya tapi gelap perlahan menyelimuti pandangannya sebelum akhirnya Shireen benar-benar kehilangan kesadaran menyisakan Dilla yang kebingungan.
"Reen, jangan buat gue takut. Bangun Reen...."
Dilla yang panik segera keluar, air matanya sudah bercucuran menangis melihat keadaan sepupunya, dan tepat saat Dilla membuka pintu, pria yang selama ini mengejarnya tanpa tahu malu dan akhirnya sukses meluluhkan hati Dilla karena kegigihannya ini berdiri tepat di hadapan Shireen bak seorang pahlawan.
"Dika, tolongin Shireen, dia pingsan." Rintih Dilla benar-benar putus asa.