"Mi, gue ke kamar kecil dulu, ya. Lo gue tinggal bentar nggak masalah, ‘kan?” tanyaku pada Arumi. Gadis itu kemudian membalas kalimatku dengan menyatukan ujung jari jempol dan telunjuknya hingga berbentuk lingkaran yang menandakan ‘oke’.
“Lo jangan sempat minum-minum. Awas aja kalau lo sampai teler, nggak ada yang antarin gue pulang nanti," titahku pada Arumi dengan volume suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya agar dapat menembus suasana berisik yang sedang berlangsung saat ini.
Pasalnya, sejak setengah jam yang lalu, after party di acara ulang tahun Vanessa sudah dimulai. Musik yang awalnya merupakan acoustic live band, kini sudah berubah haluan menjadi musik disko dengan beat menghentak-hentak yang dimainkan oleh DJ yang berdiri di atas panggung. Orang-orang yang bergerak liar dengan penerangan yang minim dan suara berisik khas musik disko di ruangan ini, membuatku merasa sesak dan panas. Tubuh yang saling bersenggolan dengan keringat yang mengucur, membuat ruangan ini menjadi pengap. Aku memutuskan lebih baik untuk menjauh dari ruangan ini sebelum aku benar-benar pingsan di dalam sini karena kekurangan asupan oksigen.
Arumi mengangguk sebagai jawaban dan menyetujui titahku tadi. Namun setelahnya, gadis itu langsung kembali ke tempat asalnya. Dari tempatku berdiri, tampak tubuh Arumi yanng mulai bergerak kembali, gadis itu meliukkan tubuhnya di antara lautan manusia yang juga melakukan hal yang sama di tengah dance floor. Aku hanya mampu menggelengkan kepala ketika melihat pemandangan seperti itu sebelum memutuskan untuk meninggalkan tempat ini.
Kedua kakiku bergerak melangkah menuju kamar kecil yang terletak agak jauh dari tempat acara. Toilet ini berada di sudut terjauh di lantai dua club ini. Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri di depan pintu kayu yang kuyakini adalah toilet ini, namun belum ada tanda-tanda pintu tersebut akan terbuka.
Ini toiletnya kenapa cuma satu bilik, sih? gerutuku di dalam hati karena rasa sesak yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Ah, jangan-jangan orang di dalam toilet ini malah buang air besar lagi makanya lama, batinku kesal di dalam hati.
Dengan mulut yang mencebik dan langkah kaki yang menghentak kecil, aku berjalan menuruni anak tangga menuju lantai bawah yang suasananya nggak terlalu jauh berbeda dengan suasana di after party Vanessa yang kuingat tadi. Tapi kalau ingin dikatakan, di lantai bawah ini, orang-orang di sini tampak jauh lebih liar dan suasana yang juga lebih gelap daripada after party Vanessa.
Para pria dikelilingi oleh wanita-wanita malam dengan pakaian yang bahkan lebih kekurangan bahan daripada kain lap meja atau kain pel. Aroma tembakau dan minuman berakohol yang pekat menusuk indra penciumanku ketika aku menginjakkan kaki di lantai tersebut. Ditambah lagi dengan tarian erotis dari para stripteaser, semakin membuatku memilih untuk membuang muka dengan hidung yang berkerut. Herannya, kenapa pula Vanessa bisa sempat-sempatnya berpikiran untuk mengadakan acara ulang tahunnay di tempat seperti ini? Aneh!
Pemandangan yang ada di hadapanku tadi benar-benar membuatku bergidik ngeri saat membayangkan seliar apa tempat ini. Sepertinya aku harus segera mengajak Arumi untuk pergi dari tempat ini karena tempat ini pasti nggak bagus untuk kesehatan mental dan jiwa anak umur delapan belas tahun seperti kami. Tapi sebelum itu aku harus menuntaskan sesuatu yang menyesakkan di bawah sana terlebih dahulu.
Kakiku menelusuri lorong untuk menuju ke kamar kecil, mengikuti arahan dari toilet sign yang tertempel di beberapa bagian bar ini. Suasana yang lumayan gelap di sepanjang lorong ini membuat bulu kudukku meremang.
Aku berjalan dengan cepat untuk mencapai toilet khusus wanita dan langsung masuk ke salah satu dari tiga bilik yang kosong. “Orang di luar ramainya minta ampun, tapi kenapa toiletnya sepi dan kosong begini, ya?” gumamku pada diri sendiri sembari merapikan pakaianku dan keluar dari bilik setelah menuntaskan sesuatu yang sedari tadi kutahan, air seni.
Baru dua atau tiga langkah aku keluar dari toilet khusus wanita itu, sosok seorang pria paruh baya yang kutaksir berusia akhir 40-an menghadang jalanku. Pria itu tiba-tiba berdiri di hadapanku sehingga kakiku berhenti melangkah karena ulahnya.
Aku menatap pria tua itu dengan kening yang berkerut. "Permisi, Pak," gumamku agar pria ini segera menyingkir dari hadapanku.
Pria tua itu tetap bergeming di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Mata pria itu tampak setengah tertutup, sedangkan mulutnya beberapa kali mengeluarkan ceracauan yang nggak bisa kudengar dengan jelas. Bahkan posisi berdiri pria itu juga nggak tegap sepertiku, melainkan lunglai dan nggak seimbang.
Sepertinya pria ini sudah setengah mabuk, batinku pada diri sendiri.
Pria tua itu maju beberapa langkah sehingga jarak kami semakin terkikis. Alarm di otakku langsung berdering seketika sehingga membuat kakiku spontan ikut mundur untuk menjauhi pria itu. Baru saja aku hendak menyingkir ke samping dan segera berlari dari tempat ini, namun pria itu tanpa aba-aba langsung memerangkapku sampai-sampai punggungku menubruk dinding yang keras dan kini berada di antara kedua lengannya.
Kerutan pada keningku semakin mendalam, sedangkan tubuhku semakin merapat ke dinding dengan wajah yang menatap ngeri sekaligus jijik dan geli ada pria tua yang berada di depanku.
Ya, Tuhan, tolong jauhkan manusian laknat ini dari hadapan hamba, batinku merapalkan berdoa di dalam hati.
"Kamu cantik banget, Manis. Ikut Om ke kamar, yuk," ajak pria tua itu dengan tatapannya yang sangat menjijikan. Tatapan itu terlihat penuh nafsu seperti binatang yang haus akan darah mangsanya.
Sialan, pria ini benar-benar mabuk! batinku merutuk dengan panik di dalam hati.
"TOLONG!!!" teriakku sambil mendorong d**a pria tua itu. Namun, semuanya sia-sia. Semesta seakan nggak mau menolongku. Nggak ada satu orang pun yang menoleh ke sini, sekadar untuk membantuku yang sudah panik ini. Semua manusia yang ada di tempat ini seakan tenggelam dan haus pada dosa duniawi yang sedang mereka nikmati.
Kakiku terangkat, hendak menggunakan dengkul sebagai senjata yang dapat melumpuhkan alat vital pria tua ini. Namun seakan tahu dengan gerak-gerik yang kulakukan, pria itu dengan sigap menahan kakiku dengan sebelah tangannya. Sementara itu, tangan lainnya menahan tanganku dan menekannya semakin dalam pada dinding yang berada di belakangku. Ulah pria itu membuatku meringis kesakitan sekaligus ingin menangis ketakutan.
Rencana penyeranganku berakhir gagal total dan hal itu membuat pria tua itu menyeringai dan tersenyum pongah di antara kesadarannya yang tersisa setengah. Sedetik kemudian, ekspresi wajah pria tua itu berubah menjadi geram dan penuh amarah.
Pria itu mendekatkan wajahnya padaku, namun aku segera memalingkan wajah. Tanganku terangkat hendak dilayangkan pada salah satu pipinya, namun lagi-lagi penyeranganku gagal total karena ditahan oleh tangan pria itu yang tadi menahan dengkulku. Pria tua itu menggeram di antara kesadarannya yang melayang-layang, tapi aku nggak boleh gentar agar aku bisa segera terlepas dari iblis m***m seperti manusia ini.
"Minggir!!!” teriakku sekuat tenaga setelah menapar pipi pria itu sampai-sampai wajahnya terpelanting ke samping. Mataku membulat kala menyadari apa yang baru kulakukan dengan tangan ini. Telapak tanganku yang menyerangnya saja terasa panas dan perih, apalagi pipi pria tua itu yang menjadi sasaran. Aku bergidik ngeri di dalam hati saat membayangkan rasa sakit tersebut.
Masih sempat-sempatnya kasihan sama orang omes seperti ini, Kezia? teriak batinku di dalam hati karena nuraniku yang tiba-tiba terenyuh.
Pria tua itu menatapku sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar. Ringisan perih hampir keluar dari mulutku, namun tertahan di ujung lidah saat pria itu bersuara. "Rupanya kamu mau main-main sama saya?" gumamnya dengan mata yang berkilat tajam. Rasa-rasanya, kalau hanya dengan tatapan saja bisa melukai seseorang, mungkin sekarang tubuhku sudah penuh dengans sayatan mengerikan yang berasal dari tatapan pria itu.
"Saya bukan wanita murah seperti yang Anda pikir, ya, Pak!" geramku. Udah tua, tapi nggak sadar diri. Otaknya ke mana, sih? lanjutku di dalam hati.
"Diam!" bentak pria itu lalu kembali mendekatkan wajahnya padaku.
Lagi-lagi, dengkulku kembali bergerak naik hingga menubruk benda pusakanya dengan keras. Akhirnya, penyeranganku membuahkan hasil kali ini.
Mampus sana. Biar impoten sekalian kalau bisa! geramku dalam hati.
Pria tua itu menunduk kesakitan sambil memegang benda pusakanya dengan kedua tangan. Bahkan pria itu sudah menjauhiku dan kesempatan itu kugunakan untuk kabur sejauh mungkin dari manusia omes itu.
"Sial, mau ke mana kamu, hah?" pekik pria itu dengan nada suara yang tinggi sembari berlari mengejar langkahku.
Kepalaku menoleh beberapa kali ke belakang, takut-takut pria tua itu akan menggapaiku lalu melakukan hal yang lebih menyeramkan lagi dari sebelumnya. Oh, tidak, jangan sampai mimpi buruk itu terjadi. Meskipun peluh sudah bercucuran menuruni keningku, namun hal itu nggak melambatkan langkahku. Mungkin karena terlalu takut tertangkap, aku pun sudah nggak peduli lagi dengan keadaan kakiku yang akan terkilir karena mengenakan sepatu hak tinggi.
Ya, Tuhan, kenapa lorong ini harus panjang dan gelap seperti ini? gumamku kalut di dalam hati dengan kedua kaki yang terus berlari tanpa henti.
Ketika mendapati secercah cahaya di ujung lorong, pikiran optimisku sontak meningkat. Ibarat cahaya itu adalah penolongku dari lorong yang gelap ini, aku pun semakin berlari lebih cepat untuk bisa menggapai cahaya tersebut.
Namun belum sempat aku mencapai cahaya itu, tubuhku menubruk sesuatu yang keras sampai-sampai dahiku terasa sedikit nyeri karena tubrukan itu. Tetapi, apa yang baru saja bertubrukan dengan bagian tubuhku ini bukanlah benda mati, melainkan tubuh seorang pria dengan aroma parfum musk and oakmoss. Kepalaku sontak mendongak ketika lengan pria dengan aroma parfum memabukkan itu melingkari pinggangkum, seakan-akan melindungiku dari bahaya yang kapan saja bisa segera menerjangku.
"M—mas Nino?" gumamku dengan nada terkejut ketika mendapati sosok pria itu di hadapanku. Api amarah tampak pada mata Mas Nino. Inilah pertama kalinya aku melihat api amarah yang begitu berkobar di matanya. Bahkan saat aku membuat hidung pria ini berdarah beberapa jam yang lalu, ia hanya mengomel sambil berteriak dan itu sama sekali nggak membuatku ketakutan seperti saat ini. Tapi ... tapi kemarahan Mas Nino saat ini terasa berbeda.
Mas Nino menarikku ke belakang tubuhnya ketika pria tua tadi mendekati kami. "Siapa kamu?" tanya pria tua itu pada Mas Nino. Sementara itu, tubuhku sudah mengerut ketakutan di belakang tubuh Mas Nino ketika pria tua itu menatap dengan bengis ke arahku dengan senyum menggelikan yang terpatri di bibirnya.
Tanpa sadar, kedua tanganku sudah mencengkram bagian belakang kemeja yang dikenakan oleh Mas Nino. Entah pria itu akan marah atas ulahku ini atau nggak, biarlah itu menjadi urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah pria tua yang ada di hadapan kami ini harus segera lenyap dari pandanganku sekarang juga.
Bak mendapat kesadarannya kembali, pria itu itu pun mulai berbicara lagi. "Jangan ikut campur urusan saya dengan kucing manis yang galak itu kalau kamu nggak ingin terkena masalah, anak muda," lanjut pria itu dengan senyum jumawa yang kembali terbit di bibirnya. "Saya kenal dengan pemilik tempat ini dan saya bisa aja mendepakmu dari sini sekarang juga kalau saya mau!!!" sambung pria tua itu sembari berteriak.
Seulas senyum yang tiba-tiba terbit di bibirnya membuatku ketakutan setengah mati sekarang. Meskipun sudah ada tubuh Mas Nino yang melindungiku, namun tetap saja rasa takut itu nggak kunjung sirna dalam diriku. Pria tua itu menatapku seakan-akan aku adalah mangsa lezat yang sudah diburu olehnya sejak lama.
Pria tua itu berjalan semakin dekat ke arah Mas Nino, tangannya tampak ingin menggapaiku namun ulahnya itu segera ditepis oleh Mas Nino. Tanpa aba-aba, kepalan tangan Mas Nino langsung melayang pada wajah pria tua itu sehingga membuat tubuhnya terhuyung lalu jatuh menubruk tanah. Darah segar tampak mengalir dari hidungnya, diiringi oleh teriakan kesakitan yang penuh makian berbau nama-nama hewan dan alat vital manusia.
Aku hanya bisa terkesiap tertahan melihat pemandangan yang baru saja berlangsung di hadapanku. Tangan Mas Nino mengeluarkan ponsel dari saku celananya, sembari kaki pria itu berjalan maju beberapa langkah sehingga sepatunya kini sejajar dengan kepala pria yang sedang merintih kesakitan itu.
Meskipun hati nuraniku merontak iba pada pria tua itu, namun senyum lega sekaligus senang nggak mampu kutahan pada bibirku.
Entah apa yang Mas Nino bicarakan pada seseorang yang berada di seberang sana melalui ponselnya, namun kakinya kini sudah berpindah di d**a pria itu dan menahan di sana sehingga pria tua itu nggak mampu lagi bangkit dari posisinya. Desisan kesakitan terdengar jelas memasuki indra pendengaranku dan itu diam-diam membuatku juga meringis dalam hati. Apalagi ketika mendapat Mas Nino yang semakin memperdalam injakkan pada d**a pria tua itu.
Nggak selang berapa lama setelah Mas Nino menyimpan ponselnya kembali ke dalam satku celana, dua orang pria dengan seragam security datang menghampiri kami. Di belakang dua pria berbadan kekar itu, tampak seorang pria yang mengenakan pakaian rapi khas eksekutif mengekori di belakang mereka. Penampilan pria yang berjalan di belakang security itu membuatku bertanya-tanya siapakah sosok pria itu dan apa tujuannya menghampiri kami di sini.
Belum sempat aku menerka siapakah pria rupawan itu, dua orang pria berseragam security tadi sudah lebih dulu menyeret pria tua yang masih tergeletak di lantai itu dengan paksa. Sementara itu, pria tua yang diseret itu hanya berteriak penuh amarah sambil menyumpah serapah. Berbagai umpatan mulai dari hewan-hewan yang berada di kebun binatang, sampai alat vital manusia sudah terlontar dari mulut kotor pria mata keranjang yang nggak tahu tua itu.
"Lepaskan saya! Saya bisa laporkan kalian pada pemilik bar ini!"
“Hei, jangan kurang aja kalian sama saya!!!”
Pria yang memakai pakaian khas eksekutif tadi terbahak ketika mendengar teriakan pria itu, ia lalu mengangkat sebelah tangannya sebagai instruksi pada security agar berhenti menyeret pria tua itu. Instruksi tersebut langsung dituruti oleh security tersebut, namun tangan mereka tetap menahan lengan pria tua itu untuk menjaganya agar nggak kabur.
"Silahkan bermimpilah, Pak Tua, karena sayalah pemilik tempat ini kalau Anda ingin tau!" ujar pria berjas itu dengan senyum congkak yang terpatri pada bibirnya.
“Seret dia keluar dan jangan pernah izinkan manusia ini masuk lagi ke dalam bar saya!” lanjut pria berjas itu memberikan titah pada dua orang security yang langsung dibalas dengan anggukan tegas oleh mereka.
Setelah pria tua tadi sudah nggak tampak di depan kami, Mas Nino menatapku sejenak dengan kilatan matanya yang masih memancarkan amarah dan sepertinya sudah siap untuk meledak sebentar lagi.
Mas Nino kemudian mengalihkan tatapannya dariku lalu menatap pada pria berpenampilan seperti eksekutif yang ternyata adalah pemilik bar ini. "Sempat aja gue nampak orang itu ada di sini lagi, siap-siapa aja bar lo gue bakar," ujar Mas Nino dengan nada mengancam yang kentara pada kalimatnya.
Setelah berkata demikian, Mas Nino lalu menarik tanganku untuk mengikutinya langkahnya. Pria itu entah akan membawaku ke mana, tapi aku memutuskan untuk bungkam tanpa banyak bertanya. Sebebasnya pria itu saja. Biarkanlah ia melakukan apapun sesukanya karena pria itu sudah menolongku malam ini.