Pengantin Pengganti - Part 5

2104 Kata
Gandengan tanganku pada lengan Arumi menguat ketika memasuki tempat di mana acara ulang tahun Vanessa diselenggarakan. Musik disko berdentum kencang memekakkan telinga, ditambah lagi dengan penerangan minim di sini yang semakin membuatku nggak nyaman dengan suasananya. "Lo yakin ini tempatnya, Mi?" tanyaku sedikit berteriak pada Arumi karena dentuman musik yang terlalu kencang di sekitar kami. "Udah benar, Kez. Lo lihat sendiri di neon box tadi tulisan Jay's Bar and Club, ‘kan?" tanya Arumi. Aku mengangguk lalu mengekori Arumi berjalan menuju lift yang akan membawa kami ke lantai dua, tempat di mana acara Vanessa diselenggarakan. Dalam hati aku bertanya-tanya, kenapa gadis berumur 18 tahun itu, mau menyelenggarakan acaranya di tempat seperti ini? Bukannya acara ulang tahun seharusnya terang benderang dengan suka cita yang mengelilinginya? Kenapa ini malah sebaliknya? Penerangan yang minim dengan dentuman musik yang menyakitkan telinga. "Ini kita sebenarnya mau minum-minum atau mau ke acara ulang tahun, sih?" tanyaku ketika sudah berada di dalam lift. Untungnya hanya ada aku dan Arumi di dalam sini sehingga aku bisa lebih leluasa berbicara pada gadis yang sedang berdiri di sebelahku ini. "Ya, ke acara ulang tahun Vanessa dong, Kez. Pakai nanya lagi segala," jawab Arumi. "Tapi... gue takut, Mi. Suasana di sini gelap banget. Nggak ada tempat yang agak terangan dikit, ya?" ujarku bertanya lagi sambil bergidik ketika kembali mengingat suasana sebelum kami memasuki lift ini. Arumi merotasikan mata lalu memutar kepalanya untuk menatap padaku. "Ke restoran dah lo sana kalau mau yang terang-terang. Pulang aja sekalian kalau perlu," sindir gadis itu kemudian memalingkan wajahnya kembali untuk menatap pada pintu lift. Tanganku menarik ujung rambut Arumi yang tergerai di balik punggungnya sehingga kepala gadis itu sedikit mendongak. "Kezia Krasnitari! Lo mau gue bunuh, ya?" pekiknya sambil menatapku dengan tatapan garang dan matanya yang melotot. Tangan Arumi sudah hampir ingin memukul lenganku, tetapi untungnya pintu lift segera terbuka sehingga gadis itu mengurungkan niatnya. Kalau kami bertahan lebih lama di dalam lift ini, mungkin saja akan terjadi pertumpahan darah di dalam sini. Mataku langsung menyipit ketika pintu lift sudah sepenuhnya terbuk. Silau lampu-lampu neon yang berasal dari dekorasi acara ulang tahun Vanessa masuk ke dalam netraku. Belum lagi suara dentuman musik yang memekakkan telinga, membuatku menggelengkan kepala pasrah. Memikirkan bahwa aku akan berada di tempat ini selama beberapa jam ke depan saja sudah membuatku pusing. Arumi menarik tanganku sembari keluar dari lift dan mengikutinya menuju tempat di mana Vanessa berdiri. Gadis itu tampak cantik dengan balutan gaun mini bewarna hitam yang membalut tubuh semampainya. Tinggi badan gadis itu juga bertambah karena ditunjang oleh sepatu hak tinggi yang kutaksir lebih dari tujuh sentimeter itu. Tema untuk pesta ulang tahun Vanessa ini adalah neon night life sehingga hampir seluruh tempat lantai dua ini diterangi oleh lampu bewarna neon yang membuat siapapun menyipitkan matanya ketika mendapati cahaya bewarna nyentrik itu masuk ke dala indra penglihatan mereka. "Hai!" pekikku dan Arumi bersamaan pada Vanessa yang berdiri di depan backdrop yang senada dengan tema pesta ulang tahunnya. Gadis itu balas menyapaku dan Arumi, lalu kami saling bertukar pelukan. Tangan Arumi menyodorkan sebuah paper bag yang berisi kado hasil patungan kami berdua. "Wah, thank you!" ujar Vanessa seraya menerima sodoran kado dari tangan Arumi. Gadis itu tampak antusias menerimannya dan hal itu membuatku dan Arumi tersenyum senang melihatnya. Sudah menjadi tradisi kami sejak lebih dari 2 tahun yang lalu, jika ada yang berulang tahun, maka kami akan patungan memberikan kado untuk orang tersebut. Hitung-hitung menghemat waktu dan biaya karena selain lebih efisien, jumlah uang yang kami keluarkan juga terpotong sebanyak 50%, 'kan? "Bagus banget dress lo, Van. Seksi cetar membahana," puji Arumi sambil terkekeh. Aku ikut menganggukan kepala, tanda setuju pada pujian yang baru saja keluar dari mulut Arumi tadi. "Dekornya juga bagus banget. Jadi kayak pesta ulang tahun ala bule gitu," ujarku menimpali sambil meneliti setiap sudut ruangan ini. Walaupun mataku harus beradaptasi saat pertama kali melihat cahaya lampu-lampu di sini, tapi secara keseluruhan semuanya sangat cantik dan penuh estetika. “Ah, bisa aja kalian.” Vanessa terbahak kecil, gadis itu juga tampak sedikit tersipu dengan pujianku dan Arumi mengenai keseluruhan acara ulang tahunnya ini. "Tapi, makasih loh pujiannya, guys. Makasih juga udah datang dan bawain kadonya. Ayo, kita foto dulu," ajak gadis itu padaku dan Arumi. Aku dan Arumi mengambil posisi di sebelah Vanessa. Kami masing-masing berdiri di sisi tubuh gadis itu sehingga kini Vanessa berada di antara kami. Fotografer yang sedang membidik objek yang ada di hadapannya itu memberikan aba-aba pada kami untuk lebih mendekat pada Vannesa dengan sebelah matanya yang menatap pada viewfinder kamera. "Satu..." "Dua..." "Ti...ga." "Oke. Bagus!" Pria yang sedang berdiri di balik kamera dan tripod tersebut mengacungkan jari jempolnya pada kami, menandakan bahwa sesi foto ini sudah selesai dengan hasil yang bagus. "Jangan pulang cepat, ya, kalian. Nanti ada after party lagi soalnya. Enjoy the party, guys!" kata Vanessa menginformasikan. Setelahnya, aku dan Arumi berjalan meninggalkan Vanessa karena sudah banyak orang yang mengantri di belakang kami untuk berfoto dengan gadis itu. Aku dan Arumi berjalan menuju meja prasmanan yang sudah terhidang berbagai makanan di atasnya, mulai dari makanan Eropa, Asia, sampai makanan penutup. Semua sudah terhidang di sana dan semuanya tampak lezat. Kedua mataku menatap makanan-makanan itu dengan penuh nafsu dan mata yang berbinar. Rasanya seperti seekor unta yang menemukan oase di tengah-tengah padang gurun. Cacing-cacing di perutku sudah meronta-ronta, meminta untuk segara diisi dengan berbagai makanan yang lezat itu. "Air liur lo udah sampai netes-netes itu!" ujar Arumi sambil menunjuk pada area di bibirku. "Tolong matanya dikondisikan, Sister. Gue tau cacing-cacing di perut lo udah menjerit kelaparan. Tapi, ini kita di pesta orang. Minta tolong sekampung, jaga image lo sedikit, Kez. Jangan sampai malu-maluin di sini," lanjut Arumi seraya mengambil sepotong ayam goreng dengan penjepit yang sudah disediakan. Aku memilih untuk mengabaikan ucapan Arumi karena saat ini, fokusku hanyalah makan-makan yang tersaji di atas meja prasmanan yang ada di hadapanku. Tanganku segera meraih piring putih yang sudah disediakan di ujung meja beserta dengan sendok dan garpunya. Hampir semua makanan yang terhidang di atas meja prasmanan itu, kuambil untuk dicoba. Lagi pula, perutku memang terasa sangat lapar saat ini. Namun, Arumi malah melotot sambil menatapku dan piring yang berada di tanganku secara bergantian. Ekspresi yang tercetak di wajah gadis itu persis seperti orang yang sedang melotot saat mendapati makhluk halus sedang berada di hadapannya. Baiklah, sepertinya perumpamaan itu sedikit berlebihan. Tapi yang jelas, Arumi bergidik ngeri saat menatap pada makanan yang ada di piringku. Gadis itu menggelengkan kepalanya lalu mendesah pelan. "Itu makanan buat lo seorang atau buat orang-orang sekampung, sih, Kez?" bisik Arumi di telingaku dengan nada mendesis. Pasalnya, sudah ada beberapa orang yang berdiri di belakang kami sehingga Arumi nggak bisa berbicara padaku dengan leluasa lagi seperti yang sebelumnya dilakukan oleh gadis itu. "Buat cacing-cacing gue ini. Udah, ah. Protes mulu lo!" gerutuku sebal sambil berjalan berjalan lebih dulu meninggalkan Arumi di belakangku. Seorang pelayan wanita menghampiriku dan Arumi kemudian menuntun kami sesuai dengan nomor meja yang sudah tertera pada undangan kami masing-masing. Aku dan Arumi selalu duduk di meja yang sama jika menghadiri acara ulang tahun seperti ini karena teman-teman kami sudah tahu bahwa kami adalah dua sejoli yang selalu bersama. Kami duduk di sebuah meja panjang yang merupakan hasil susunan dari beberapa meja persegi. Para teman sekelasku dan Arumi sudah menempati posisi mereka masing-masing sesuai dengan nama yang sudah tertera pada sebuah kartu yang berada di atas meja. “Oh, itu tempat kami udah ketemu, Mbak,” kata Arumi sembari menunjuk dua buah kursi kosong yang tertera nama kami di atas meja yang berhadapan dengan kursi itu. “Makasih, ya, Mbak,” ujarku dan Arumi bersamaan sebelum pelayan wanita yang pergi meninggalkan kami. Aku dan Arumi menyapa teman-teman yang duduk di meja yang sama dengan kami sebelum menempati dua buah kursi kosong yang ditunjuk oleh Arumi sebelumnya. Porsi makanku dan Arumi tampak signifikan perbedaannya jika disandingkan bersisian seperti saat ini. Tapi, walaupun porsi makanku banyak seperti kuli bangunan yang baru saja melakukan kerja rodi, tubuhku tetap berukuran seperti ini. Bahkan tinggi dan beratku nggak lagi bertambah sejak bangku SMP sampai sekarang. Setidaknya privilege dari Tuhan itu bisa kugunakan untuk mencoba seluruh makanan yang ada di setiap belahan bumi ini tanpa perlu memikirkan berat badanku yang akan melonjak naik jika aku menyantap lebih banyak makanan dari biasanya. Arumi menyikutku sekali sambil mendelik pada kartu bertuliskan nama Harrison yang tepat bersebelahan dengan kartunya. Itu artinya, Harrison akan duduk di sebelah Arumi. Jadi, apa masalahnya sekarang? Aku melayangkan tatapan bertanya dengan kening yang berkerut pada gadis itu, entah apa maksud dari sikuannya padaku tadi. "Apa?" tanyaku hanya dengan menggerakkan bibir tanpa bersuara pada Arumi. Gadis itu menunjukkan sosok Harrison yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya melalui ujung ekor mata. Kerutan pada keningku bukannya semakin samar, melainkan semakin mendalam. "Itu si Harris, Kezia Dodol!" bisik Arumi yang sudah mendekatkan bibirnya pada telingaku. Volume suara gadis itu terlalu kecil sampai-sampai aku hampir nggak mendengar ucapannya. "Ya, jadi kenapa?" bisikku balik bertanya. Belum sempat Arumi menjawab pertanyaanku, Harrison yang baru saja hendak memasukkan makan ke dalam mulutnya pun menatap ke arahku dan Arumi. Lelaki itu seakan baru sadar dengan keberadaan kami karena sibuk bercengkrama dengan Yoga sejak pertama kali mereka bergabung di meja ini.   Harrison menatap kami, begitu pun dengan Yoga yang duduk di sebelahnya. "Eh, ada Kezia sama Arumi. Sorry, sorry, gue baru ngeh kalau kalian ternyata duduk di sebelah gue," ujar Harris menjelaskan sebelum terkekeh kecil. "Mi, gue boleh minta tolong nggak?" tanya Harris dengan senyum semanis madunya. Arumi mengerutkan dahinya sejenak dengan alis yang terangkat sebelah, gadis itu lalu membalas senyuman Harris dengan sebuah senyum asimetris yang terukir di bibir gadis itu. "Tanpa lo bilang, gue juga udah tau kok lo mau minta gue ngapain," ujar Arumi yang kemudian terkekeh setelahnya. Aku yang hanya menjadi pendengar dari percakapan mereka pun hanya mampun mengerutkan kening samar karena nggak terlalu mengerti dengan dialog kedua temanku yang berbeda jenis kelamin itu. Arumi bangkit dari posisi duduknya dengan tangan yang membawa serta piring dan minumannya. Begitu pun dengan Harris, lelaki itu juga melakukan hal yang sama seperti yang baru saja dilakukan oleh Arumi. Arumi meletakkan piringnya di tempat Harris, kemudian diikuti oleh lelaki yang juga meletakkan piringnya di tempat Arumi yang bersebelahan denganku. Kerutan pada keningku semakin mendalam ketika Arumi dan Harris bertukar posisi sehingga yang duduk di sebelahku saat ini bukan lagi Arumi, melainkan Harrison. "Gue pindah tempat sama Harris," jelas Arumi memberikan informasi dari tempat duduk barunya. Aku menatap kesal pada ulah Arumi, gadis itu dengan seenaknya berpindah tempat tanpa berkata apa-apa padaku terlebih dahulu. Kini, aku hanya bisa pasrah di tempat apalagi saat mendapatkan suitan dari teman-teman yang duduk di meja yang sama denganku. Sedangkan Harris, lelaki itu hanya bersikap santai dan nggak peduli dengan apapun lagi karena ia sudah memulai acara makannya. Nafsu makanku yang awalnya menggebu-gebu, kini padam seketika. Entahlah, rasanya nafsu makanku menurun drastis saat mendapatkan lelucon dari teman-teman kami yang mengatakan bahwa aku dan Harris tampak serasi jika menjadi pasangan. Lelucon seperti itu sudah berlangsung sejak setahun silam saat Harris pertama kali pindah ke kelas kami bersama Yoga tentunya. Jujur, Harris adalah teman yang menyenangkan. Lelaki itu ramah dan sopan pada siapapun, intinya ia bukanlah tipikal lelaki badung yang ada di dalamcerita-cerita n****+ remaja. Aku pikir dengan diriku yang memutuskan untuk mengabaikan lelucon teman-temanku sedari dulu, akan membuat mereka menghentikannya. Namun ternyata pikiranku salah. Malam ini, di acara ulang tahun Vanessa, mereka kembali menjodohkanku dengan Harris. Aku sebenarnya bingung, dari mana mereka bisa berspekulasi bahwa Harris memiliki perasaan yang lebih dari teman padaku? Jelas-jelas, lelaki itu hanya bersikap baik saja tanpa ada embel-embel ingin menjalin hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan denganku. Bukannya aku nggak peka dengan sekitar, tapi memang nggak ada gelagat dari Harris yang menunjukkan bahwa lelaki itu menganggapku lebih dari sekadar teman sekelas. Entah sudah berapa penampilan yang kami saksikan di acara ulang tahun ini. Yang jelas, acara makan malam yang kondusif tadi, kini sudah berubah ricuh. Meja-meja yang kami tempati tadi sudah nggak tampak sekarang. Yang ada kini hanya suara teriakan yang berasal dari mulut teman-temanku. Bahkan teman-teman perempuanku sudah melepaskan high heels mereka di atas lantai hingga berserakan hanya untuk berjoget ria mengikuti dentuman musik yang berasal dari DJ pad yang diatur oleh seorang DJ di baliknya. Walaupun aku dan Arumi bergabung di dalam keramaian itu, setidaknya kami masih waras dan dalam keadaan sadar sepenuhnya. High heels kami juga bahkan masih terpasang di kaki kami maisng-masing. Rasa sesak tiba-tiba memenuhi kandung kemihku. Keinginan untuk menuntaskan hajat sontok membuatku menghentikan gerakan menari dari menepuk pundak Arumi beberapa kali sehingga gadis itu juga menghentikan gerakannya sama sepertiku. Karena suara dentuman musik yang saling bersahutan, maka aku menarik tangan Arumi menuju pojok ruangan agar gadis itu bisa mendengar suaraku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN