Pengantin Pengganti - Part 7

2241 Kata
Aku mengikuti langkah Mas Nino dengan tertatih-tatih karena langkah besar pria itu. Bagaimana langkahnya bisa besar? Tentu saja karena tingginya yang hampir lima belas sentimeter lebih tinggi daripada tinggiku. Sepertinya tinggi pria itu seratus tujuh puluh lima sentimeter atau bahkan lebih dari itu. Puncak kepalaku bahkan hanya mencapai dagu pria itu saja. Ternyata Mas Nino membawaku menuju area parkiran bar. Tampak banyak mobil yang masih terparkir di sini, menandakan bahwa bar ini masih sangat ramai di saat-saat seperti ini. Pria itu kemudian membuka pintu mobil bagian penumpang yang berada di sebelah pengemudi, lalu mendorong pundakku untuk masuk ke dalam tanpa adanya kelembutan sedikit pun. Ih, nggak ada lembut-lembutnya jadi laki! gerutuku di dalam hati ketika puncak kepalaku terantuk bagian atas kerangka mobil milik pria itu. Ringisan kesakitan tertahan di ujung lidahku kala mataku mendapati Mas Nino yang menatapku dengan tatapan tajamnya. Jangan membayangkan bahwa pria itu akan menjadi pria romantis yang dengan senang hatinya akan menutupkan pintu penumpang untukku karena pada faktanya, pria itu langsung berjalan meninggalkanku yang sedang mengusap-usap puncak kepala yang baru saja terkena insiden. Pria itu bahkan nggak mau repot-repot bertanya tentang keadaan kepalaku yang terjedot ini dan memilih untuk berlalu dari hadapanku kemudian duduk di balik kemudi setelah membuka pintu mobilnya. Jadi, kalau berharap Mas Nino akan menutupkan pintu untukku, itu sama saja dengan bermimpi terlalu tinggi, yang artinya kemungkinan terjadinya sangat kecil bahkan hampir nggak ada kemungkinan untuk terjadi. Udahlah, udah ditolongin juga masih aja mulutnya ngomel-ngomel kayak ibu-ibu komplek yang bersanggul, tegur sisi terang di dalam hatiku. Sembari mencibir di dalam hati, salah satu tanganku menutup pintu mobil yang berada di sisi kiriku. Sedetik kemudian, Mas Nino langsung melajukan mobilnya keluar dari area parkiran bar ini. Pria itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi seperti sedang dikejar oleh makhluk halus. “Pakai seat belt-mu! Bukan cuma diam seperti patung aja!” titah pria itu galak. Aku menghela napas kesal, namun tetap menuruti titah pria itu tanpa membantah sedikit pun. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih atas pertolongannya tadi, ‘kan? Aku sudah memutuskan untuk nggak membangkang pada pria itu, tapi hanya sampai sebelum matahari terbit esok hari. Ide yang benar-benar brilian untuk sebuah ucapan terima kasih, bukan? Mas Nino menyalip semua mobil yang dikira dapat menghambat pergerakan mobilnya dan akibatnya, pria itu dihadiahi klaksonan panjang oleh para pengendara yang disalip olehnya. Kepalaku berdenyut kala mobil yang dikendarai oleh Mas Nino bergerak ke kanan dan ke kiri seperti ular yang melingkar-lingkar di sawah. Tanganku mencengkram tali seat belt yang menyilang di tubuh bagian depanku karena laju mobil yang cepat ini membuatku sedikit ketakutan. Bukan takut karena akan ditilang atau diklakson oleh kendaraan di belakang kami, melainkan takut nyawaku yang berharga ini melayang hanya karena Mas Nino yang nggak mengemudikan mobilnya dengan penuh tanggung jawab. Rasanya sayang sekali kalau hidupku selama delapan belas tahun ini terbuang sia-sia hanya karena kecelakaan konyol yang merengut nyawaku. Tidak, itu benar-benar mengerikan dan aku nggak ingin membayangkannya lagi. Kini aku hanya bisa menyusutkan tubuh di sudut kursi penumpang ini sampai-sampai tubuhku benar-benar menempel seperti cicak yang merayap pada pintu mobil saking takutnya akan kecepatan laju mobil Mas Nino. Ya, Tuhan, hamba-Mu ini masih ingin hidup, ujarku merapalkan doa di dalam hati. Ponsel yang berada di genggamanku berdering. Suara deringan itu membuatku terlonjak kecil karena terkejut. Saat aku mengalihkan tatapan pada benda pipih yang berada di tanganku, nama Arumi tampak pada layar benda tersebut. Belum sempat aku menerima panggilan tersebut, deringan pada ponselku sudah lebih dulu berhenti dan memunculkan notifikasi yang bertuliskan missed call di layar. Nggak sampai satu menit kemudian, ponselku sudah kembali berdering lagi padahal aku baru saja hendak menelepon Arumi balik. Deringan kali ini diiringi oleh notifikasi pesan dari Arumi yang terus meneror tentang di mana keberadaanku saat ini. Gadis itu memberondongku dengan banyak pertanyaan yang menanyakan kenapa aku tiba-tiba menghilang dari acara ulang tahun Vanessa. Pasti sahabatku itu sedang panik saat ini ketika mendapati diriku yang nggak kunjung kembali dari kamar kecil. "Angkat telepon kamu itu. Ribut banget nada deringnya. Mengganggu aja!" decak Mas Nino dengan nada nggak suka sembari menunjuk ke arah ponsel yang ada di genggamanku dengan dagunya. Aku balas berdecak, namun dengan volume suara yang lebih pelan. "Makanya nggak usah punya telinga kalau nggak suka dengar keributan," gumamku tanpa sadar. Astaga, Kezia. Padahal tadi baru janji mau menuruti semua ucapan Mas Nino tanpa membangkang, batin sisi terangku mengingatkan apa yang baru saja aku lakukan. Meskipun aku bergumam tadi, namun sepertinya Mas Nino masih dapat mendengar suaraku. Itu terbukti dari cengkraman tangan pria itu pada setir kemudi yang tampak menguat sampai-sampai buku-buku jari tangannya pun terlihat memutih. Tapi, apa juga peduliku? Bodo amatlah! Lagi pula, itu sudah terjadi dan aku melakukannya di tanpa sengaja. “Halo? Kezia, lo di mana?!” pekik Arumi di seberang sana ketika panggilan kami baru saja tersambung. Terdengar suara tarikan napas yang panjang pada speaker ponselku, siapa lagi kalau bukan ulah Arumi. “Bisa-bisanya langsung nggak nampak batang hidung lo padahal izinnya ke toilet. Tolong ... gue minta tolong se-RT/RW, lo jangan buat gue panik begini!” lanjut Arumi yang langsung memberondongku panjang lebar dengan kalimatnya padahal aku bahkan belum membalas sapaannya di awal tadi. “Satu-satu kenapa, Mi. Keselek air liur sendiri baru nyaho lo!” balasku pada Arumi karena napas gadis itu terdengar ngos-ngosan dari ponselku. “Sorry, gue baru bilang sekarang. Tapi ... tapi lo janji dulu jangan marah sama gue,” lanjutku dengan nada suara yang sarat akan keraguan di dalamnya. “Iya ... iya. Buruan bilang. Jangan buat gue penasaran, Kez,” titah Arumi yang sudah nggak sabar menanti kelanjutan kalimatku. “Gu—gue udah balik duluan tadi,” lanjutku pada Arumi dengan volume suara yang sangat kecil. Entah gadis itu dapat mendengar suaraku dari seberang sana atau nggak, aku sedikit meragukan hal tersebut mengingat suara yang baru saja keluar dari mulutku bernar-benar minim. Arumi berdecak di seberang sana. “Ck! Bisa-bisanya lo pulang tanpa bilang-bilang sama gue?!” pekik Arumi dengan nada dramatis seperti wanita yang baru saja ditinggal lari oleh calon suaminya di hari pernikahan mereka. Tanganku sedikit menjauhkan ponsel hingga berjarak dengan telingaku karena suara Arumi yang membuat indra pendengaranku berdengung karena suaranya yang kencang dan keras. “Itu bukan pulang, tapi kabur namanya!” lanjut Arumi dengan dengusan. “Ya, mau gimana lagi? Gue tiba-tiba dijemput. Jadi, mana bisa gue nolak, ‘kan? Bisa-bisa, malah leher gue yang digorok nanti,” balasku memberikan alasan. “Hah?! Siapa yang jemput lo? Kok mendadak banget, sih?” tanya Arumi penasaran. Jangan sampai gadis itu tahu mengenai perihal siapa yang menjemputku karena aku nggak mungkin berkata jujur padanya bahwa pria yang berstatus suamiku, alias Mas Ninolah yang menolong sekaligus menjemputku dari tempat mengerikan bernama bar. “Om gue,” jawabku sambil melirik pada Mas Nino yang sedang mengemudi di sebelahku. Entah pria itu dapat merasakan kata ‘om’ yang kumaksud itu adalah dirinya atau nggak, aku juga nggak tahu. Yang jelas, ekspresi pria itu nggak berubah sedikit pun setelah mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulutku. Mungkin Mas Nino nggak merasa kalau panggilan itu ditujukan untuknya. Pria itu ‘kan cuek dan datar sekaligus dingin seperti kulkas. Tentu saja pria itu nggak peduli dengan hal-hal remeh temeh seperti itu, bukan? “Sejak kapan lo punya Om?” tanya Arumi lagi. Gadis itu sepertinya sudah nggak berada di acara after party Vanessa karena nggak terdengar suara hingar bingar khas bar dan klub malam dari seberang sana. “Sejak negara api menyerang,” selorohku dengna nada bercanda yang membuat Arumi mendesis kesal padaku. “Lo masih di Jay’s?” lanjutku bertanya pada gadis itu. “Ini baru mau balik,” jawab Arumi. “Kenapa?” sambung gadis itu bertanya. “Hati-hati aja lo di sana, Mi. Banyak predator soalnya,” jawabku. “Udah, gue tutup dulu, ya. Bye.” Setelah berkata demikian, aku kemudian mematikan sambungan telepon itu dengan sepihak tanpa menunggu balasan dari Arumi. Aku melirik ke sebelah, lebih tepatnya pada sosok yang sedang fokus mengemudi dan menatap pada jalanan yang ada di depan sana. Aku kira, indra penglihatanku akan menangkap Mas Nino yang sedang melirik ke arahku atau diam-diam menguping pembicaraanku dengan Arumi untuk menuntaskan hasrat penasarannya. Namun, sepertinya dugaanku salah besar karena pria itu masih setia memfokuskan diri pada kemudinya tanpa memelankan laju kecepatan mobil ini. * Ketika mobil yang dikendarai oleh Mas Nino sudah berhenti di depan teras rumah, pria itu langsung menarik tanganku tanpa aba-aba ketika aku baru saja membuka pintu mobilnya. Kakiku bahkan belum berpijak pada tanah, namun Mas Nino sudah dengan seenak jidatnya menarik tanganku untuk mengikutinya. Pria itu menyeret dan membawaku masuk ke dalam rumah. Aku tersentak kaget ketika mendengar suara bantingan pada pintu utama. Mulutku bahkan sampai mengeluarkan ringisan saat menemukan kusen pintu itu bergetar karena saking kuatnya bantingan tadi. Dalam hati aku hanya berdoa, berharap agar nggak terjadi apa-apa pada pintu itu. Takut-takut kalau kusen pintu itu rusak atau malah copot dari tempatnya. Mas Nino berbalik menatap tepat di mataku. Pria itu kini berdiri tepat di hadapanku dan mengunci mataku dengan tatapan tajamnya. Mas Nino terlihat seperti predator yang sudah siap mencabik mangsanya sampai berdarah-darah. Kupikir, kemarahan pria ini sudah mereda saat kami meninggalkan klub malam tadi, namun ternyata masih berlanjut sampai saat ini. “Kamu tau apa salahmu, Kezia?” tanya Mas Nino mulai berbicara. Suara pria itu persis seperti ular yang mendesis. Aku mengangguk satu kali. Apa karena aku ke klub makanya Mas Nino marah-marah kayak emak-emak rempong begini? batinku bertanya pada diri sendiri. Sepertinya bukan itu yang membuat pria ini marah, tapi otakku nggak lagi mampu untuk memikirkan alasan lain yang mendasari kemarahan Mas Nino. Kepalaku kemudian sontak menggeleng sambil menatap pada Mas Nino. “Nggak tau, Om,” celutukku ringin dan santai. Astaga, Kezia. Kenapa kamu masih bisa sesantai ini padahal di depanmu ada singa kelaparan yang udah bersiap untuk memakanmu hidup-hidup?! gerutu batinku berteriak. Pada faktanya memang aku nggak tahu di mana letak salahku. Daripada aku menebak-nebak seperti memilih soal pilihan berganda dengan cara ‘cap cip cup’ yang nggak pasti jawabannya, lebih baik aku mengaku nggak tahu pada Mas Nino, ‘kan? “Demi Tuhan, Kezia. Apa yang sebenarnya ada di dalam otak kamu ini?” tanya Mas Nino sembari mengetukkan jari telunjuknya pada pelipisku sebanyak tiga kali. “Atau jangan-jangan di dalam kepala kamu itu nggak ada isinya alias kosong? Iya?” Mas Nino lanjut bertanya dengan nada sarkatis yang diiringi oleh gelengan kepalanya. Aku menepis tangan Mas Nino sehingga mata pria itu semakin membola menatapku. “Oh, jadi maksud lo, gue nggak punya otak gitu, Om?” desisku balas bertanya. “Kalau dilihat dari kelakuanmu tadi, sepertinya nggak punya. Kalaupun punya, kayaknya hanya sekecil biji semangka atau biji anggur,” jawab Mas Nino ringan namun dengan nada menyindir yang kental pada kalimatnya. “Enak aja! Mulutnya minta dijahit, ya, Om?!” geramku nggak terima setelah mendengar hinaan terang-terangan yang baru saja terlontar dari mulut Mas Nino. “Udah, ah. Aku mau masuk ke kamar. Minggir!” usirku sembari mendorong dadanya agar menyingkir dari hadapanku. Namun bukannya terjadi pergeseran seperti apa yang kuminta, melainkan rasa tersengat yang terasa pada telapak tanganku. Rasanya seperti ada tegang listrik kecil yang menyetrum di sana sampai-sampai aku melepaskan tanganku dari d**a Mas Nino dengan terburu-buru. Karena pria ini nggak mau menyingkir, maka aku yang memutuskan untuk mengalah dan berlalu dari hadapannya dengan cara bergeser ke sebelah kanan dan berjalan melewati Mas Nino. Namun baru satu langkah kakiku berjalan, Mas Nino sudah menahan lengan bagian atasku terlebih dahulu dengan tangannya. Ulah pria itu membuatku berhenti melangkah dan melayangkan pelototan padanya. “Mau ke mana kamu?” tanya Mas Nino dengan sebelas alis yang terangkat seperti orang tua yang sedang mengintimidasi anaknya yang nakal dan pembangkang. Sepertiku. Aku merotasikan mataku dengan malas sebelum terdengar suara decakan dari Mas Nino. Pria itu sepertinya nggak suka dengan gerakan mata yang baru saja kulakukan. “Do not roll your eyes, Kezia!” tegur Mas Nino. “Iya, iya. Bawel banget, sih, Om?” “Jawab sekarang. Mau ke mana kamu, hah?!” “Ke liang lahat!” jawabku dengan ketus. “Heran, deh. Telinga lo ke mana, sih? Baru juga dibilang mau ke kamar. Jangan-jangan nggak punya telinga, ya? Atau telinganya itu cuma buat pajangan?” lanjutku mencibir yang diiringi dengan nada mengejek pada kalimatku. “Benar-benar nggak tau terima kasih kamu jadi manusia,” balas Mas Nino yang sudah melepaskan cekalan tangannya pada lenganku dengan sedikit hempasan yang hampir membuatku ingin memakinya. Namun aku urungkan niat tersebut mengingat jasanya yang sudah menolongku beberapa jam yang lalu. “Oh, ternyata nolonginnya pamrih, ya?” tanyaku dengan ekspresi wajah yang pura-pura dibuat sedih. Mas Nino menjentikkan jarinya pada keningku. “Pakainya rok abu-abu, tapi kelakuan masih persis kayak bocil. Nggak cocok sekali!” balas Mas Nino mencibir tanpa menjawab pertanyaanku. “Sana masuk ke kamar kamu. Kalau sekali lagi kamu kedapatan ke tempat-tempat yang nggak benar kayak tadi, siap-siap aja saya pasung kaki kamu itu,” ancam pria itu sembari menudingkan jari telunjuknya di depan wajahku. “Daripada lo? Umur dua sembilan, tapi penampilan udah kayak bapak-bapak beranak cucu! Kolot dan nggak tau fashion!” ujarku mencibir Mas Nino sebelum menjulurkan lidah pada pria itu sebagai tanda ejekan. Mas Nino mengangkat tangannya seperti hendak melakukan gerakan memukul, namun aku tahu pria itu hanya menggertakku saja. Kakiku segera berlari kecil menaiki satu per satu anak tangga untuk menuju ke kamarku yang berada di lantai atas sembari berteriak, “Makasih, Om Nino! Jangan galak-galak lagi, ya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN