Bab 65

1884 Kata
Khansa sama sekali tidak datang. Bahkan di hari ketiga setelah mereka bertemu, Khansa juga tetap tidak datang. Ya, Raka memang sangat berharap jika dia bisa bertemu dengan Khansa agar ada sedikit saja hiburan untuknya. Raka sendirian di ruangan ini, sama sekali tidak ada satupun orang yang bisa dia ajak berbicara seperti Khansa. Benar, Khansa memang seorang wanita yang sangat menyenangkan untuk diajak berbicara. Hampir mirip dengan Dipta. Mungkin jika mereka bertemu, Dipta dan Khansa akan cocok menjadi lawan bicara. Raka baru saja memikirkan tentang teman-temannya dan sekarang pintu ruangannya dibuka oleh Dipta dan Revan yang tampak membawa bungkusan makanan dari salah satu restoran mahal. Raka mengernyitkan dahinya, tumben sekali mereka membawa makanan mahal. Jangan salah, sekalipun Dipta dan Revan adalah anak orang berada, mereka jarang menghabiskan uang untuk membeli makanan mahal. Begitulah.. “Apa kabar, lo?” Tanya Dipta begitu dia masuk ke dalam ruangan. Sekalipun Khansa tidak datang, setidaknya sekarang ada Dipta dan Revan yang bisa dijadikan teman bicara. “Baik. Ngapain lo nanyain kabar gue?” Tanya Raka. “Kali aja lo mau bunuh diri lagi” Kata Dipta dengan sangat santai. Raka tidak terkejut ketika dia mendengarkan kalimat Dipta. Iya, memang seperti itulah temannya itu. Kadang mulutnya memang sangat sulit untuk dikendalikan. “Ngomong yang bener, b**o!” Kata Revan sambil mendorong kepala Dipta dengan jarinya. Raka tertawa pelan. Setelah beberapa hari lamanya tidak datang, akhirnya Dipta dan Revan kembali mengunjungi dirinya. Ya, Raka tahu jika teman-temannya itu sedang sibuk kuliah saat ini. “Iya, maaf.” Kata Dipta sambil mengulurkan bungkusan makanan ke arah Revan. Revan dan Dipta dengan santai menikmati makanan mereka dan akhirnya Raka juga melakukan hal yang sama. Raka bersyukur karena masih memiliki teman yang datang dan menemaninya di saat dirinya sedang terpuruk seperti ini. Ya, setidaknya Raka tidak benar-benar sendirian ketika keluarganya meninggalkan dirinya. “Gua habis berantem sama Aira” Kata Raka setelah mereka bertiga selesai makan. Raka tidak bermaksud mengumbar masalah hubungan asmaranya dengan Aira kepada teman-temannya, tapi Raka tidak memiliki pilihan lain. Sama sekali tidak ada orang yang bisa Raka ajak berbicara tentang keadaannya saat ini. “Berantem lagi?” Tanya Dipta dengan santai. Raka menganggukkan kepalanya. Entahlah, kadang Raka juga tidak mengerti kenapa hubungannya dengan Aira jadi semakin memburuk. Mereka seperti kehilangan rasa cinta mereka berdua. Raka berusaha mempertahankan hubungannya karena dia sadar jika hanya Aira yang dia miliki. Aira juga demikian, mereka seperti dua orang yang terluka dan tidak ingin saling melepaskan. Raka membutuhkan Aira, begitu juga dengan Aira. “Kenapa?” Tanya Dipta. “Gue ngerasa kalau hubungan kami nggak berjalan dengan baik semenjak gue di sini” Kata Raka. “Kalian putus?” Tanya Revan. Raka menggelengkan kepalanya dengan pelan. Seandainya Raka dan Aira putus, mungkin masalah mereka tidak akan jadi sebesar ini. Ya, begitulah.. Raka dan Aira sama-sama tidak siap kehilangan satu sama lain. Mereka terikat dengan luka masa lalu dan akhirnya berusaha saling menyembuhkan dengan terus bersama-sama. Sayangnya, dengan kebersamaan mereka yang terjalin dengan perasaan terpaksa, hubungan mereka jadi semakin hancur. Raka tidak bisa menghentikan dirinya. Dia butuh Aira, begitu juga dengan Aira. Sulit untuk lepas dari sebuah hubungan yang tidak sejak. Raka berkali-kali mencoba, tapi dia selalu gagal. Akhirnya Raka akan kembali lagi kepada Aira dan menjalani hubungan mereka yang semakin hari jadi semakin rusak. “Sampai kapan kalian mau begini? Hubungan kalian itu toxic” Kata Dipta. “Gue nggak bisa kehilangan dia, Ta. Lo tahu sendiri kami kayak gimana. Lo juga dulu kenal sama Aira. Dia itu pengguna n*****a, gue juga nggak kalah rusak dari dia..” Kata Raka sambil tertawa pelan. Jujur saja Raka tidak sanggup membayangkan kehidupan Aira di masa lalu. Mereka berdua seperti kehilangan arah. Mereka saling menemukan dan bergantung satu sama lain. Sekarang mereka tidak bisa saling melepaskan begitu saja. “Lo tahu sendiri kalau kalian nggak akan bisa saling menyembuhkan. Lo sakit, Aira juga gitu.. lo pikir lo bisa bikin dia sembuh?” Tanya Dipta dengan santai. Raka tidak mengerti. Malam ini semuanya terasa sangat berbeda. Ada beberapa hal yang secara tidak sengaja masuk ke dalam pikiran Raka dan membenarkan kalimat Dipta. Ya, apakah dirinya dan Aira akan berhasil? Bagaimana jika akhirnya mereka tetap akan saling melukai satu sama lain tanpa tahu bagaimana caranya kembali? Sekarang mereka telah melangkah terlalu jauh, lalu bagaimana jika mereka kembali tersesat seperti dulu? Hubungan Aira dan Raka telah berjalan tanpa tahu arah, mereka pasti akan tersesat. Lalu, secara tidak sadar juga Raka memikirkan tentang Khansa. Perempuan itu sekarang selalu Raka nantikan ketika Raka menghadapi masalah. Ketika melihat Khansa, ada rasa lega di dalam hati Raka. Entahlah, semua ini semakin tidak terkendali saja. Raka seakan menantikan sebuah bantuan dari orang lain ketika dia mulai tenggelam bersama dengan Aira. Apakah ini salah? “Gue ketemu sama seseorang..” Kata Raka dengan pelan. Raka tahu jika kalimatnya ini akan menimbulkan pertanyaan bagi kedua temannya, tapi biarlah Raka menjelaskan semuanya. Raka tidak tahan jika harus mempertahankan hubungannya dengan Aira. Mereka semakin tidak terkendali, tapi Raka juga tidak sanggup kehilangan. “Lo gila?” Tanya Revan sambil menatapnya dengan pandangan terkejut. Dalam setiap masalah yang Raka ceritakan kepada kedua temannya, Revan adalah orang yang paling jarang berkomentar. Revan cenderung mendengarkan tanpa mau ikut campur terlalu dalam. Ya, Revan memang tetap peduli pada teman-temannya, bahkan mungkin Revan akan menjadi orang pertama yang datang ketika temannya meminta bantuan. Begitulah Revan, dia hanya tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Gue nggak tahu apa yang terjadi. Dia cuma dateng sesekali aja, dia temen gue” Kata Raka dengan santai. Revan pasti mengira jika Raka akan berselingkuh di belakang Aira. Tidak, tentu saja tidak. Raka tahu bagaimana keadaan Aira. Meninggalkan perempuan itu dengan cara berhianat adalah hal yang paling bodoh. Aira tidak akan sanggup menerima kenyataan jika dia kembali dihianati, tentu saja Aira akan kehilangan kendali. Mengenak Khansa adalah hal yang tidak pernah Raka kira. Mereka cocok menjadi teman. Ya, hanya itu saja yang terlintas di pikiran Raka saat ini. Dia membutuhkan teman baru. “Lo mau tinggalin Aira?” Tanya Dipta. Raka tertawa pelan. Meninggalkan Aira? Ah, itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Aira tidak akan membiarkan Raka melakukan itu, lagipula Raka sendiri juga tidak yakin jika dia akan meninggalkan Aira. Sudah Raka katakan ribuan kali, mereka saling terikat satu sama lain. “Nggak akan pernah. Gue cuma punya temen baru. Dia asik, kalian harus ketemu sama dia” Kata Raka dengan pelan. *** Raka membuka matanya dengan pelan ketika dia mendengar suara keributan dari jendela ruangan rawatnya. Raka langsung mengusap matanya dengan cepat ketika dia melihat sendiri jika di depan jendela kamarnya ada seorang perempuan yang tentu saja tidak asing di ingatannya. Tunggu dulu, apakah Khansa masuk ke ruangannya melewati jendela? Apakah perempuan itu sudah gila? “Lo pasti kaget” Kata Khansa dengan santai. Raka berusaha untuk tidak memperlihatkan raut terkejut, tapi dia tidak berhasil. Khansa memang sangat mengejutkan? Bagaimana mungkin dia bisa datang di tengah malam begini? Bagaimana jika ada perawat yang mendengar suara mereka berdua? Raka benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Khansa. “Lo lewat jendela?” Tanya Raka ketika Khansa duduk di depannya. Perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan santai seakan sama sekali tidak ada hal mengejutkan yang terjadi di sini. “Iya, kenapa?” Khansa malah balik bertanya. Raka menggelengkan kepalanya dengan wajah tidak percaya. Bagaimana caranya Khansa naik ke lantai tiga? Kamar rawat Raka memang berada di lantai tiga, jadi.. bagaimana mungkin Khansa  bisa masuk lewat jendela? Apakah perempuan itu memanjat dinding seperti laba-laba? “Lo manjat dinding?” Tanya Raka sekali lagi. Raka memang sering memanjat dinding sekolah ketika dia masih duduk di bangku SMA, tapi dia seorang laki-laki.. tapi masalahnya, bagaimana bisa Khansa datang lewat jendela? Perempuan itu memang sangat mengejutkan. “Lo pikir aja sendiri. Gue bawa martabak, lo mau?” Tanya Khansa dengan sangat santai. Khansa memang selalu datang ketika Raka membutuhkannya. Iya, mereka memang tidak perlu saling bertukar pesan karena Khansa akan tetap datang ketika Raka memikirkannya. Entahlah, apakah Khansa memiliki kekuatan untuk membaca pikiran Raka?? Ah, sangat tidak masuk akal. “Lo selalu dateng kalau gue butuh lo, jadi.. gimana caranya supaya gue juga bisa dateng kalau lo butuh gue?” Tanya Raka dengan pelan. Khansa menaikkan alisnya lalu menatap Raka dengan pandangan geli. Sedetik kemudian, sebuah senyuman yang penuh akan luka dan rasa sakit muncul di bibir Khansa lalu perempuan itu menggeleng dengan pelan. “Gue nggak butuh siapapun, Raka” Kata Khansa dengan pelan. Saat itu juga Raka mendekat ke arah Khansa lalu memeluknya dengan lembut. Bibir Khansa mengatakan dengan jelas jika dia tidak membutuhkan siapapun, tapi dari tatapannya, Raka tahu jika Khansa mengharapkan sebuah uluran tangan agar dirinya bisa diselamatkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang terjadi pada Khansa? Dari luar dia terlihat tidak membutuhkan apapun, tapi sebenarnya Khansa membutuhkan segalanya. Dia tidak punya apapun.. Kenapa? Kenapa di mata Khansa, Raka bisa melihat jika perempuan itu memohon untuk diselamatkan? Siapa yang berusaha menyakiti Khansa? Dengan keadaan yang seperti ini, apa yang bisa Raka lakukan selain memeluknya? Raka tahu jika dia melakukan kesalahan. Memeluk seorang perempuan asing adalah sebuah kesalahan, apalagi mereka baru beberapa hari berteman. Raka memiliki janji kepada Aira untuk tidak meninggalkan perempuan itu, tapi malam ini.. kenapa Raka merasa jika hatinya berubah dengan cepat? Raka merasa jika dia harus menyelamatkan Khansa? Apa yang sebenarnya terjadi? “Gue di sini, Sa. Lo bisa bilang apapun ke gue..” Kata Raka dengan pelan. Pada akhirnya, malam itu juga Raka mengetahui segala hal tentang Khansa. Segalanya.. tentang kegelapan labirin yang terus menyesatkan Khansa, juga kenyataan menyakitkan yang disimpan oleh perempuan itu. Ini sudah bukan tentang Khansa lagi, tapi ini tentang kejamnya takdir yang membawa Khansa ke hadapannya. Malam itu, Raka akhirnya menangis dengan pilu karena mendengar kisah Khansa yang menyakitkan. Raka awalnya berpikir jika dia mungkin akan meninggalkan Aira untuk Khansa, tapi ternyata Raka salah. Dia tidak akan mendapatkan siapapun. Baik Aira, maupun Khansa. Raka akhirnya sadar jika Khansa hanyalah bentuk dari ketidakmampuannya dalam menghadapi hubungannya dengan Aira. Untuk kembali dengan Aira dan memperbaiki segalanya, rasanya tidak mungkin. Raka sadar jika hubungan yang dia buat dengan Aira perlahan semakin hancur, tapi Raka juga tidak bisa memulai sebuah hubungan baru lainnya. Raka sekarang bersama dengan Khansa, kadang ada sebuah rasa yang Raka kenali dengan baik terus bertumbuh di dalam hatinya setiap kali dia tertawa bersama dengan Khansa. Lalu, ketika kembali menatap mata Khansa yang sekarang pudar tanpa harapan, Raka kembali menghadirkan sebuah keinginan di mata itu. Bukan keinginan untuk bersama dan menjalin sebuah hubungan, tapi hanya harapan untuk bisa menghabiskan waktu yang singkat ini untuk membuat kenangan menakjubkan yang mungkin akan dilupakan oleh Khansa. Raka tahu, seberapa kuatpun dia berharap agar Khansa akan tetap tinggal di sisinya, Raka akan selalu kalah. Bukan Khansa yang menginginkan pergi, karena nyatanya perempuan itu juga ingin di sini, tapi takdir yang tega menghancurkan harapan mereka yang baru saja timbul karena pelukan singkat yang Raka berikan. Rasa cinta untuk Aira sudah lama hilang, tapi ketika Raka menyadari jika dia mulai mencintai orang lain, semuanya terasa semakin menyakitkan. Bukan karena Khansa tidak merasakan hal yang sama, tapi karena Khansa tidak akan pernah tinggal bersamanya. “Lo udah tahu semuanya, lo mau gue pergi sekarang?” Tanya Khansa. Raka menatap perempuan itu, kenapa harus seperti ini? “Jangan pergi.. gue mencintai lo sebagai siapapun, dengan nama apapun..” Kata Raka dengan pelan, bahkan suaranya hanya satu tingkat lebih tinggi dari hembusan angin.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN