Di ruang keluarga, terlihat Raja, Langit, Bintang dan Awan sedang berbincang-bincang tentang bisnis keluarga yang mereka kelola. Raja bertanya pada Langit tentang perkembangan bisnis hotel bintang lima yang ia jalankan dan juga sudah sejauh mana pembangunan mal mewah miliknya itu.
"Bagaimana dengan hotel bintang lima kita yang ada di Jakarta? Apa ada peningkatan jumlah tamu yang datang? Dan kalau tidak salah, minggu lalu di hotel tersebut juga mengadakan sebuah acara, bukan begitu?" tanya Raja.
Langit terlihat menggoyang-goyangkan gelas anggur merah mahalnya sebelum ia menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Raja. "Untuk urusan hotel semuanya stabil. Kalau soal acara minggu lalu bisa dibilang berjalan dengan sangat sukses dan lancar. Banyak investor yang ingin berinvestasi di perusahaan kita berkat lancarnya acara itu," jawab Langit.
Raja paham dan menganggukkan kepalanya. "Bagaimana dengan pembangunan mal mewahmu? Sudah berjalan berapa persen?" tanya Raja untuk kedua kalinya.
"Pembangunannya sudah berjalan sekitar delapan puluh lima persen dan tidak lama lagi akan segera selesai," jawab Langit dengan santai.
"Bagus."
Raja terlihat sangat bangga dan puas dengan kinerja yang Langit lakukan. Anak lelaki nomor enam di keluarga Azkara ini memang sama persis seperti papanya, sangat pintar dalam berbisnis. Bahkan salah satu pemasok kekayaan terbesar di keluarga ini bisa dibilang berasal dari Langit. Bisnis keluarga benar-benar berkembang pesat dan sukses saat ditangani olehnya. Tidak hanya bisnis yang ada di dalam negeri, tetapi juga bisnis yang ada di luar negeri. Langit benar-benar hebat melakukan semua hal tersebut dan itulah yang menjadikannya sebagai salah satu anak kebanggaan Raja.
Raja lalu beralih menanyai Bintang yang beberapa kali terlihat menguap cukup lebar. Dia memang selalu mengantuk seperti itu.
"Bintang, bagaimana dengan bisnis kulinermu? Papa dengar restoranmu sedang sangat viral di sosmed karena menyajikan menu makanan yang sangat lezat dan kekinian. Apa benar begitu?" tanya Raja.
Bintang yang mengantuk lantas menjawab pertanyaan Raja dengan nada bicara yang sedikit malas dan sesekali menguap.
"Iyaa, Pa ... hoaaams ... bisnis kulinerku memang sedang naik-naiknya dua bulan terakhir ini ... hoaamss ... hufh ... jumlah pelanggan di restoranku benar-benar membludak dan keuntunganku juga naik berkali-kali lipat. Itu berkat resep makanan baru yang aku buat sendiri."
Raja mengangguk dengan ekspresi wajah yang terlihat sama bangganya seperti saat ia mendengar jawaban dan penjelasan dari Langit. "Hebat, Papa bangga sama kamu. Ngomong-ngomong, bolehlah nanti kamu buatkan Papa, Mama dan juga saudara-saudaramu ini menu makanan buatanmu yang sedang viral itu. Pasti sangat lezat," pinta Raja.
Dengan malas dan lagi-lagi sambil menguap. Bintang menolak permintaan dari Raja.
"Hoooaaaamss ... ga mau ah, malas. Mending Papa, Mama sama yang lainnya datang saja ke restoranku dan beli makanan yang sedang viral itu di sana. Daripada harus merepotkanku untuk memasak makanan tersebut."
Raja pun tertawa mendengar perkataan dari salah satu anak termudanya itu. Ia sudah paham dengan sifat anaknya yang memang sangat pemalas ini. Jadi tidak heran kalau ia akan menolak untuk melakukan apa yang Raja minta tadi.
"Dasar kamu ini, benar-benar pemalas," kata Raja.
"Tapi kalau Dio yang minta aku pasti mau memasakkan makanan tersebut untuknya." Bintang langsung tersenyum manis saat mengatakan nama Dio, adik bungsu barunya itu.
"Lah bisa begitu?" tanya Raja heran.
"Ya iyalah, kan dia adikku yang paling aku sayang. Jadi apa pun yang dia minta maka akan aku berikan," jawab Bintang.
"Berarti kamu ga sayang sama Papa?" tanya Raja iseng.
"Sayang kok! Saaayaaaaaanggg bangeeeet! Apalagi kalo Papa kasih aku saham di perusahaan Papa. Dijamin, aku bakal makin sayaaaang sama Papa." Bintang mengatakan hal itu sambil memasang wajah sok imut.
Raja yang melihat tingkah laku sok imut dari anaknya itu langsung berpura-pura merasa mual dan segera berakting seakan-akan ia ingin muntah.
"Ish, Papa. Pake pura-pura mau muntah segala."
Dan tiba-tiba saja si pendiam Awan menyeletuk dari tempat duduknya. "Siapa yang ga bakal muntah coba? Mukamu itu terlihat sangat menjijikkan! sudah muka jelek malah dijelek-jelekin!"
Singkat, padat dan nyelekit, itulah perkataan yang Awan lontarkan. Bintang yang mendengarnya pun langsung melotot kesal ke arah Awan. Tapi yang dipelototi malah tetap terlihat santai dan asik meneguk anggur merahnya dengan ekspresi wajah datar tanpa dosa.
"Mulutmu itu makin lama makin mirip mulut Kak Langit tahu ga!" kata Bintang.
Langit yang mendengar hal itu lantas langsung memberikan tatapan tajamnya ke arah Bintang.
"Ngomong apa kamu barusan?!" kata Langit dengan suara tegasnya.
Bintang pun langsung merasa ciut saat kakaknya yang temperamental itu bertanya seperti itu padanya.
"Eh ... e-enggak kok ... aku enggak ngomong apa-apa ... hehehe."
Cukup menyeramkan memang kalau seorang Langit Azkara sudah memberikan tatapan matanya yang tajam disertai dengan suara beratnya yang terdengar mendominasi. Siapa pun pasti akan langsung ciut dibuatnya.
Kini kembali ke Raja. Ia sekarang beralih menanyakan perihal bisnis keluarga pada si pendiam Awan. "Awan, bagaimana dengan bisnis fashion-mu. Apa berjalan dengan lancar?" tanya Raja.
"Lancar."
"Papa lihat kemarin butikmu ramai pengunjung. Sepertinya banyak sekali ya orang yang suka dengan desain pakaian yang kamu buat."
"Iya."
"Kalau tidak salah, bulan depan kamu mau mengadakan acara fashion show besar yang diadakan secara tahunan itu ya? Apa segala sesuatunya sudah kamu siapkan dengan baik?" tanya Raja untuk kedua kalinya.
"Sudah."
Singkat. Itulah jawaban yang pasti akan selalu Awan berikan jika ada orang yang menanyainya. Ia memang sangat irit dalam berbicara. Raja pun sudah tidak heran dengan kebiasaan dari anaknya itu.
"Tole ... Tole ... irit pisan jawabanmu Leee," kata Raja dengan nada bicara yang dibuat sedikit ke jawa-jawaan bercampur sunda. Tampan-tampan begini Raja termasuk orang yang sedikit bodor.
"Masalah?" ucap Awan singkat dan lalu meneguk kembali anggur merahnya.
Raja pun hanya tersenyum masam mendengar ucapan dari anaknya yang paling pendiam itu. Ia sama sekali tidak pernah merasa kesal atau pun marah dengan ucapan dan kata-kata singkat yang keluar dari mulut Awan. Walaupun terkadang, kata-katanya itu sedikit menusuk ke ulu hati sama seperti perkataan Langit, anak keenamnya.
"Papa benar-benar bangga memiliki kalian semua sebagai anak Papa. Kalian semua benar-benar anak yang hebat."
Semuanya terlihat sok kalem saat Raja memuji mereka. Padahal sebenarnya di dalam hati mereka, mereka merasa sangat senang.
"Papa tidak akan melarang kalian melakukan apa pun yang kalian suka seperti bisnis yang kalian jalankan sekarang ini. Semuanya adalah keinginan kalian sendiri dan Papa akan selalu mendukung sepenuhnya apa yang kalian kerjakan."
Ia benar-benar seorang ayah yang sangat bangga dan sayang pada semua anak-anaknya. Walaupun kesembilan anaknya itu bukanlah darah dagingnya sendiri.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu tanda ada orang yang memasuki ruangan tempat Raja, Langit, Bintang dan Awan berada. Ayah dan ketiga anaknya itu lantas langsung mengalihkan padangan mereka ke arah pintu.
"Wah-wah, rapat bisnis nih kayaknya," kata Surya sambil jalan mendekat.
Orang yang datang adalah Surya, Chandra dan Dio, yang baru saja selesai menyelesaikan tur wisata keliling rumah mereka. Terlihat kedua mata Langit langsung menatap tajam ke arah Dio yang mana tindakan yang dilakukannya itu langsung membuat Dio menunduk takut. Ada apa dengan Langit? kenapa ia sebegitu tidak sukanya pada adik barunya itu.
"Iyalah, kan horang kayah. Kudu rapat terus biar kelihatan sibuknya," kata Bintang
"Hahaha, dasar," balas Surya.
Mereka bertiga terus berjalan mendekati sofa tempat keempat orang lainnya itu sedang duduk. Sofa tempat mereka duduk itu letaknya tidak jauh dari jendela kaca besar yang mana pemandangannya menghadap tepat ke halaman belakang rumah yang ditanami banyak sekali pohon.
Chandra yang datang bersama dengan Surya dan Dio langsung mendelikkan kedua matanya ketika mendapati ayah beserta ketiga adik-adiknya itu sedang meminum anggur merah dengan kadar alkohol yang tinggi tepat sebelum mereka berangkat ke tempat kerja. Ia pun seketika menegor mereka berempat dengan nada bicara yang sedikit menyindir sembari memberikan tatapan sinisnya.
"Cakep! Pagi-pagi sudah pada mabok-mabokkan. Padahal sudah tahu mau berangkat kerja," kata Chandra.
Mereka pun langsung menaruh gelas anggur mereka di atas meja secepat mungkin kecuali Langit yang masih tetap santai meminumnya dan terkesan tidak perduli.
"Enggak kok, Kak, kita ga mabok. Cuman minum satu tuangan doang. Iya kan, Pa, Wan, Kak Langit."
Bintang terlihat mengerjapkan matanya beberapa kali sebagai kode agar papanya beserta adik dan kakaknya itu mau bekerja sama.
Raja dan Awan yang sepertinya mengerti dengan kode yang diberikan oleh Bintang, langsung menganggukkan kepala mereka kompak tanda mereka mengiyakan perkataannya. Tetapi berbeda dengan Langit yang mana ia langsung mengatakan hal yang sebenarnya pada Chandra.
"Setuang kamu bilang? Kalian sudah menuang anggur ke gelas kalian sebanyak tiga kali!" kata Langit.
Chandra pun kini terlihat marah dan mulai melontarkan protes atas apa yang telah mereka lakukan.
"Kalian ini! tiga tuang?! Sebelum berangkat bekerja?! Bagaimana nanti kalau kalian mabuk saat berada di tempat kerja kalian, hah?!" kata Chandra dengan sangat kesal.
Raja yang diomeli oleh anaknya itu malah terlihat menyunggingkan sebuah tawa kecil. Seakan-akan omelan yang diterimanya itu adalah sebuah hal yang mengasyikkan untuknya.
Dan lalu tiba-tiba saja, muncul sebuah ide iseng di pikirannya untuk menggoda salah satu anaknya yang paling mudah marah. Ia adalah Langit, yang kini masih asik meneguk anggur merahnya. Ia ingin menggoda Langit dengan cara menyalahkannya atas aksi minum-minum mereka saat ini.
"Ini semua gara-gara adikmu, Chand, si Langit. Dia yang menggoda Papa dan dua adikmu ini untuk minum anggur sampai bertuang-tuang. Awalnya kita tidak mau, tapi Langit terus memaksa kami."
Kata Raja sambil memasang ekspresi wajah seperti seorang korban yang tidak bersalah. Raja lalu menatap ke arah Bintang dan Awan sambil mengedipkan sebelah matanya tanpa diketahui oleh Chandra. Kedua anaknya itu lantas langsung mengerti maksud dari kode yang Raja berikan itu.
Bintang lalu dengan cepat menganggukkan kepalanya berkali-kali sebagai tanda kalau ia menyetujui perkataan papanya, sedangkan Awan hanya menganggukkan kepalanya sekali tanda ia juga menyetujuinya.
Langit yang mendengar hal itu, sontak wajahnya langsung terlihat emosi. Ia tidak terima dengan perkataan yang dilontarkan oleh papanya itu. Ia pun kini mulai bersiap untuk mengeluarkan amarahnya. Nahlo, bapak sama anak pada mancing singa tidur segala sih.
"Aku?! Kan kalian sendiri yang ingin minum! Aku hanya ditawarkan oleh kalian!"
"Ah, tidak seperti itu. Serius, Chand. Langit yang menggoda dan memaksa kita. Percaya deh sama Papa. Kamu kan tahu sendiri, kalau di keluarga kita ini yang paling suka minum adalah Langit. Jadi tidak mungkin kalau Papa dan adik-adikmu ini yang menawarkannya pertama kali untuk minum."
Raja mengelak dengan wajahnya yang sok serius, padahal ia sendiri sedang menahan tawa.
"Idih! dasar orang tua tukang tipu! Kan sejak awal kalian yang minum duluan! aku yang terakhir!"
Langit semakin ngotot dan hasrat Raja untuk menggoda anaknya yang temperamental itu pun terlihat semakin membara.
"Kamu nih ya, bisa-bisanya kamu fitnah orang tua kamu begitu. Ciyus deh, Chand, dia orang yang menjerumuskan kita bertiga untuk mabok-mabokan sebelum kerja. Tapi malah dia yang bertingkah sok suci! Seolah-seolah kalau dialah korbannya," kata Raja yang kini benar-benar berusaha untuk serius dan tidak tertawa.
"Hidih! Iya deh! Iya! Aku yang menggoda Papa dan adek-adek buat mabok! Puas kalian?!"
Langit ngambek sembari berjalan menjauh ke arah jendela kaca, menghindari papanya yang bersikap sangat jahil. Dan seketika itu juga tawa Raja meledak. Ia tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuat anaknya yang pemarah itu kesal di pagi hari yang cerah ini.
"HAHAHAHAHA!! DIA KESAL PEMIRSAH!!"
Bintang yang sedari tadi ikut bagian dari drama yang dibuat oleh papanya itu hanya bisa menyembunyikan tawanya karena ia takut jika ia tertawa seperti papanya, maka Langit akan langsung menggeprek kepalanya dengan tinjunya yang mana pasti akan terasa sangat sakit dan menyebabkan pusing berkepanjangan.
Lalu bagaimana dengan Awan? Bagaimana reaksinya? Ya ... reaksinya seperti biasa. Datar. Malahan saat ini, ia terlihat sedang fokus menatap Dio yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.
Surya yang hanya ikut menonton juga ikut tertawa lebar sedangkan Dio yang berdiri di sebelahnya, terlihat berusaha untuk ikut tertawa. Padahal ia sama sekali tidak merasa ada hal lucu yang sedang terjadi. Malahan, ia merasa sebaliknya. Ia merasa takut karena melihat Langit yang marah-marah seperti tadi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi.
Chandra yang sejak awal menegur ayah dan adik-adiknya itu tidak terlihat tertawa sama sekali karena memang dasarnya ia sedang serius memperingatkan keempat orang anggota keluarganya itu.
"Ya sudahlah! Aku tidak peduli siapa yang mulai mengajak minum. Tapi yang jelas, jangan meminum anggur dengan kadar alkohol yang tinggi terlalu banyak sebelum berangkat kerja. Bisa-bisa nanti terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, kalian mengerti?" kata Chandra.
"Iya, mengerti Pak Dokter!"
Kata Raja sembari memberi hormat ala-ala tentara pada Chandra yang memang adalah seorang dokter hebat.
Setelahnya, Raja meminta Surya, Chandra dan Dio untuk duduk bergabung dengannya, tetapi Surya dan Chandra menolak ajakan dari papanya itu dikarenakan mereka harus segera pergi untuk bekerja.
"Maaf, Pa, aku dan Chandra harus pergi bekerja sekarang," kata Surya.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati ya, Nak."
Mereka berdua pun pergi meninggalkan ruangan. Tapi sebelumnya, mereka berdua terlebih dahulu mengacak-ngacak rambut adik bungsu mereka dengan gemas. Dio pun hanya bisa merengek kecil sambil tersenyum dengan apa yang kedua kakaknya itu lakukan.
Setelah kepergian kedua kakaknya, Dio kini ikut bergabung duduk di sofa bersama dengan papanya dan juga dua kakaknya yang lain. Tapi baru saja Dio mau meletakan pantatnya di atas sofa, Bintang yang duduk di sisi sofa yang lain langsung memanggilnya dan memintanya untuk duduk di sampingnya.
"Dik, jangan duduk di situ. Sini, duduk di samping Kakak."
Dio pun menurut dan langsung berpindah tempat untuk duduk ke dekat Bintang. Bintang terlihat tersenyum saat Dio kini berada di dekatnya begitu juga dengan Awan yang duduk di sudut sofa yang berlawanan dengan Bintang. Ia terlihat mulai mendekatkan dirinya ke tempat di mana Dio duduk. Jadi kini posisinya Dio duduk diapit oleh kedua kakaknya. Dan tanpa mereka sadari, Langit yang sedang berdiri menatap keluar jendela sempat mencuri-curi pandang ke arah Dio yang kini sedang duduk di tengah-tengah mereka berdua. Ekspresi wajahnya terlihat tidak suka.
"Dio, bagaimana tur wisata keliling rumahnya? Apa menyenangkan?" tanya Bintang.
Dio mengangguk dengan manisnya sehingga membuatnya terlihat seperti seorang anak kecil. Padahal saat ini ia sudah menginjak kelas dua SMA.
"Tapi turnya belum sepenuhnya selesai. Kak Surya keburu ada panggilan kerja dadakan, begitu juga dengan Kak Chandra yang tadi mendapat panggilan dari asistennya, kalau pasien sudah menunggu kedatangannya di ruang praktiknya," kata Dio dengan wajah dan nada bicara yang sedikit kecewa.
Bintang yang melihat adiknya itu merasa sedikit kecewa lantas mencoba untuk merangkulnya. Tapi dengan cukup sadisnya, Awan yang juga duduk di sebelah Dio langsung menepis tangannya dan malah kini dia yang merangkul pundak Dio, menggantikan Bintang. Bintang pun lantas langsung memberikan tatapan kesalnya pada Awan, tetapi Awan terlihat tidak takut dan malah menantangnya.
"Memangnya tadi Surya dan Chandra sudah mengajakmu ke mana saja?" tanya Raja.
Dengan nada bicara yang lembut Dio memberitahukan pada papanya itu bagian rumah mana saja yang telah ia dan kedua kakaknya itu kunjungi. Sampai tiba saat Dio mengatakan kata ruang perpustakaan, seketika itu juga Raja langsung memotong cerita Dio.
"Perpustakaan katamu?! Mereka membawamu ke ruangan itu?!" tanya Raja dengan panik.
Bintang dan Awan pun juga ikut terlihat panik, bahkan Langit yang sedari tadi menghadap ke arah jendela langsung membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sofa.
Dio yang tidak tahu-menahu dengan apa yang terjadi, langsung mengiyakan pertanyaan papanya.
"Iya, kita pergi ke sana dan itu juga atas permintaanku. Tapi kami tidak masuk ke ruangan perpustakaan karena sebelumnya Kak Surya dan Kak Chandra bilang padaku kalau ruangan itu sedang direnovasi. Jadi kami hanya berjalan melewatinya saja."
Terlihat ekspresi wajah dari semuanya yang sebelumnya terlihat panik kini telah berubah kembali menjadi tenang.
"Padahal aku sangat ingin masuk ke sana," lanjut Dio.
"Ya, kamu bisa memasukinya kalau pekerjaan renovasinya sudah selesai. Jadi bersabarlah ya," kata Raja.
"Iya betul. Lagi pula renovasinya sebentar lagi akan segera selesai kok, jadi nanti kita bisa pergi ke sana sama-sama," tambah Bintang dan lalu diangguki oleh Awan.
Dio pun paham dan lalu menganggukkan kepalanya sebagai respons dari apa yang papa dan kakaknya itu katakan.
"Pokoknya selama ruangan perpustakaan masih direnovasi, Dio jangan masuk ke dalamnya ya dan kalau bisa, Dio juga jangan berjalan melewati jalan yang mengarah ke ruangan perpustakaan. Takutnya nanti malah mengganggu pekerja yang sedang bekerja mondar-mandir keluar masuk di sana."
Raja memberitahu sekaligus memperingatkan anak bungsunya itu dan tanpa banyak bertanya Dio pun langsung mengerti dan paham untuk yang ke sekian kalinya.
"Baik, Pa. Dio paham."
"Bagus. Nah kalau begitu, sekarang Papa dan kakak-kakakmu ini mau berangkat kerja. Papa akan suruh pelayan untuk menemanimu ke mana pun kamu mau pergi," kata Raja. "Dan untuk sekolahmu, nanti kita bahas ini saat makan malam," tambahnya.
Seketika Dio langsung membulatkan kedua matanya sehingga kini mata besarnya terlihat menjadi lebih besar. Ia benar-benar lupa kalau hari ini masihlah hari masuk sekolah dan ia malah membolos.
Raja yang paham dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh anaknya itu lantas langsung menjelaskan padanya perihal sekolahnya hari ini.
"Tenang saja, biar Papa yang urus soal ketidakhadiranmu hari ini. Sebelum berangkat ke kantor, Papa akan menuju ke sekolahmu terlebih dahulu."
Dio pun merasa lega mendengar perkataan dari Raja. Dia tidak perlu khawatir soal absennya. Lalu setelahnya, Bintang menawarkan adiknya itu untuk pergi ke suatu tempat yang mana tempat itu dapat membuatnya tidak merasa bosan dan kesepian saat ia ditinggal kerja oleh anggota keluarga yang lain.
"Eh iya, Dik, daripada kamu bosan sendirian di rumah, bagaimana kalau kamu menghabiskan waktumu di ruangan game yang ada di rumah ini? Di sana game-nya sangat lengkap dan kakak jamin kamu tidak akan merasa bosan!" kata Bintang
Dio pun mengangguk antusias mendengar perkataan kakaknya itu. Karena seperti remaja lelaki pada umumnya, ia sangat suka bermain game.
"Iya, Kak, aku mau ke ruangan itu, tapi antarkan aku ke sana ya, aku takut tersesat," pinta Dio.
Bintang pun mengiyakan dan setelahnya, satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan ruang keluarga, menyisakan Langit sendirian di sana. Dia masih tetap berdiri diam, memandangi pemandangan lewat jendela sambil tangannya memegangi gelas anggurnya yang kini telah kosong.