04. MENCURIGAKAN

2231 Kata
Setelah acara sarapan pagi selesai, para pelayan langsung membawa kembali satu per satu piring dan gelas kotor dari atas meja. Sementara itu, para anggota keluarga Azkara terlihat masih duduk di kursi mereka masing-masing dengan beberapa dari mereka sedang mengobrol satu sama lain. Di tengah obrolan santai antar anggota keluarga, Surya yang adalah anak kedua di keluarga ini mengajak Dio yang kini telah menjadi anggota baru di keluarga mereka untuk berkeliling rumah sekaligus mengenalkan padanya apa saja yang ada di rumah ini. "Dio, ikut Kakak yuk." "Ke mana, Kak?" "Berkeliling rumah. Sekalian kakak mau memperkenalkan kamu dengan apa-apa saja yang ada di lingkungan rumah ini." Dio mengangguk senang menerima ajakan dari Surya. Chandra yang duduk di sebelah Surya terlihat juga ingin ikut dengan mereka berdua untuk berkeliling. "Aku juga mau ikut." "Ayo, kalau begitu kita pergi sama-sama," ajak Surya. Mereka bertiga lantas bangkit dari kursi mereka dan bergegas untuk keluar dari ruang makan. Tapi sebelum pergi, Surya terlebih dahulu meminta izin pada Raja untuk mengajak Dio berkeliling rumah. "Pa, aku mau mengajak Dio untuk berkeliling." "Iya, jangan tinggalkan dia di belakang, nanti dia bisa tersesat." "Baik, Pa." Mereka bertiga pun pergi meninggalkan ruang makan dan secara diam-diam, Langit yang masih duduk di kursinya menatap kepergian mereka bertiga dengan sorot matanya yang tajam. Tapi sebenarnya, dia hanya fokus memperhatikan punggung Dio yang mana mulai pergi menjauh. Setelah kepergian Surya, Chandra dan Dio, Bintang yang duduk di sebelah Awan mulai membuka pembicaraan soal sikap Awan terhadap Dio yang mana menurutnya dan juga keluarganya yang lain sangatlah aneh. "Hei mantan adik bungsu, kamu tidak pernah bersikap ramah seperti itu padaku atau juga pada anggota keluarga yang lain. Tapi pada Dio, kenapa kamu bisa sebaik dan seramah itu?" kata Bintang. Awan yang orangnya memang sangat pendiam dan bersifat dingin hanya menjawab pertanyaan dari kakaknya itu dengan jawaban yang sangat singkat. "Masalah buatmu?" Mendengar jawaban seperti itu dari adiknya, Bintang langsung mengernyitkan dahinya. "Tuh lihat, sifatmu sedingin ini padaku. Bagaimana bisa kamu seramah tadi pada Dio? Apa ada sesuatu dari Dio yang menarik perhatianmu?" tanya Bintang lagi. Dan lagi-lagi, dengan singkat dan dengan nada bicara yang dingin, Awan menjawab, "Bukan urusanmu." "Ish!! Kamu sangat menyebalkan!!" Bintang mengacak-acak rambutnya frustrasi. Adiknya itu memang sangat menyebalkan bila diajak bicara. Sementara mereka berdua sedang berbicara, semua anggota keluarga yang lain ternyata ikut memperhatikan keduanya. Pertanyaan yang sama seperti yang dilontarkan oleh Bintang pada Awan pun sedari tadi muncul di benak mereka. Tetapi, mereka tidak mau menanyakannya langsung pada Awan karena mereka sudah tahu kalau jawaban Awan pasti akan seperti tadi. Lalu di lain sisi, Raja yang senang karena anak-anak beserta istrinya semuanya menyukai Dio, mulai membuka obrolan tentang anak baru di keluarganya itu. Ia penasaran bagaimana pandangan mereka terhadap Dio. "Papa rasa kalian sangat menyukai Dio. Bahkan, saat dia baru memasuki ruang makan ini kalian sudah memperhatikannya dengan tatapan yang antusias." Semua perhatian kini tertuju pada Raja yang duduk di depan tengah meja makan. "Jadi, Papa mau tahu bagaimana pendapat kalian mengenai anak itu," kata Raja. Tanpa disangka-sangka, orang yang pertama kali memberikan pendapatnya mengenai Dio adalah si pendiam Awan. Dan lagi-lagi, semua anggota keluarganya dibuat keheranan bukan main. "Kalau menurutku dia anak yang baik dan sopan. Senyumnya manis, dia juga punya aura yang akan membuat orang lain cepat suka padanya. Aku sangat menyukai dia." Bintang tidak menyangka kalau adiknya ini begitu menyukai Dio. Padahal, dia sendiri sebenarnya juga sangat menyukai adik baru di keluarganya itu. "Tuh! Kalau menyangkut soal adik baru kamu bisa berbicara sepanjang itu. Aku tidak menyangka sebesar itu rasa sukamu padanya." Awan pun hanya membalas ucapan kakaknya itu dengan kata-kata singkat dan dengan nada bicara yang dingin khas dirinya. "Berisik." Raja pun hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Awan, anaknya yang kelakuannya paling susah ditebak itu. "Jadi menurut Awan, Dio orang yang seperti itu?" tanya Raja. Awan pun hanya mengangguk sekali sebagai jawaban dan lalu Ratu yang duduk di sebelah Raja pun ikut menyetujui perkataan dari Awan mengenai Dio. "Ya, aku sependapat dengan Awan. Dio adalah anak baik yang siapa pun pasti akan suka padanya. Aku pun langsung menyukainya saat pertama kali melihatnya." "Tapi sangat disayangkan, kehidupan anak itu tidak terlalu baik," kata Bumi dengan tiba-tiba. Sebelumnya, saat mereka sedang menunggu kedatangan Dio yang belum tiba di ruang makan, Raja menceritakan semua hal tentang kehidupan Dio pada semua anggota keluarganya, di mana Dio memiliki keluarga yang sangat berantakan dengan kedua orang tua yang selalu bertengkar dan bahkan selalu memperlakukannya dengan sangat kasar. Orang-orang yang ada di sekitarnya pun menjauhinya karena sifat buruk dari kedua orang tuanya. Sungguh malang benar nasib anak itu. "Kamu benar! Aku sangat merinding saat Papa bilang dia dijual oleh ayahnya sendiri pada seorang pria pengumpul organ tubuh ilegal. Coba bayangkan bila Papa tidak datang tepat waktu, anak itu pasti sudah-eeek!" kata Agro sambil memasang wajah seperti orang yang menjelang mati. Langit yang sedikit terganggu dengan suara Agro yang berisik itu langsung mengeluarkan kata-kata tajamnya, disertai dengan nada bicaranya yang sedikit emosional. "Bisa tidak, Kakak kalau bicara jangan sambil berteriak?! Jatuhnya Kakak seperti orang kampung!" Agro yang mendengar perkataan adiknya itu hanya bisa berdecak kesal sambil melipat kedua tangannya di d**a. Dia tidak mau menimpal balik adiknya yang temperamental itu karena pasti buntutnya akan panjang dan merepotkan. "Nah, lebih baik kamu diam seperti itu, Kak!" tambah Langit. Ratu yang melihat Langit membentak Agro dengan segera menegur anaknya yang pemarah itu. "Langit, tidak boleh seperti itu pada kakakmu. Tidak baik." "Dia berisik, Ma. Aku tidak suka!" "Dia bukan berisik sayang, tapi memang pengaturan pabriknya sudah seperti itu." Karena ucapan Ratu, anggota keluarga lainnya langsung tertawa geli, khususnya Raga. "Mama bisa saja. Pakai bawa-bawa pengaturan pabrik segala," kata Raga. "Eeeh, tapi kenyataannya memang begitu kan?" Tanya Ratu pada semuanya sambil memasang ekspresi wajah yang terlihat sedikit bercanda. Langit pun hanya berdecih kesal sambil membuang wajahnya ke arah lain. Dasar tuan muda temperamental! Kini obrolan pun kembali membahas mengenai Dio. Raja kembali menyinggung soal pendapat yang diutarakan oleh Awan yang mana telah disetujui oleh Ratu. "Kembali soal Dio. Jadi sebagian besar dari kalian setuju dengan apa yang Awan katakan?" Raga dan Agro menganggukkan kepala mereka sebagai jawaban kalau mereka setuju. Dan juga untuk Bumi dan Bintang, sepertinya mereka juga ikut setuju dengan perkataan Awan, walaupun di saat yang bersamaan mereka juga merasa sangat kasihan dengan apa yang telah Dio alami. Sedangkan Langit, dia masih tetap diam dan tidak menjawab apa-apa. "Langit, bagaimana denganmu? Apa pendapatmu soal Dio?" tanya Raja dengan suara lembut. Langit hanya diam. Dia tidak menjawab. Tidak tahu apakah dia tidak menyukai Dio atau ada hal lainnya sehingga ia memilih untuk diam. Karena diamnya ini, anggota keluarganya yang lain tidak tahu apa yang ia pikirkan tentang Dio. "Apa kamu ... keberatan dengan kehadirannya di sini?" tanya Raja. Langit masih terdiam. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun tak berselang lama setelah pertanyaan terakhir yang papanya itu berikan untuknya, ia pun mulai membuka suara. "Aku tidak keberatan ia berada di sini dan aku juga setuju dengan pendapat Awan." Katanya dengan suara bass yang berat. Suaranya terdengar lebih tenang dan sama sekali tidak terdengar ada kemarahan ataupun rasa benci di sana. Senyum pun mengembang di kedua sudut bibir Raja. Ia sangat senang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Langit. "Papa sangat senang mendengarnya." Kini semua pendapat mengenai Dio telah Raja dengarkan. Ia sangat senang dan bahagia karena semua anggota keluarganya dapat menerima anak malang itu tinggal di rumahnya ini tanpa adanya rasa keberatan di hati mereka. Dan obrolan kini mulai beralih ke topik yang lain. Ratu yang sedari tadi memiliki pertanyaan di dalam pikirannya, tanpa basa basi langsung melontarkannya pada Raja. "Sayang, soal ‘keluarga kita’. Kapan kamu akan memberitahukannya pada Dio?" Raja langsung menatap intens ke arah istri tercintanya itu. Sambil melebarkan senyum manisnya, ia pun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya itu dengan suara yang lembut tapi tetap terkesan gagah. "Secepatnya Sayang. Secepatnya akan aku beritahukan padanya soal ‘keluarga kita’ ini." Ratu mengerti dan menganggukkan kepalanya. Entah apa yang mereka maksud soal ‘keluarga kita’. Apa ada sesuatu yang mereka sembunyikan? Atau apakah ada sesuatu di balik keluarga besar yang bernama Azkara ini? Beralih ke tempat Dio, Surya dan Chandra. Mereka kini sedang berjalan di lorong aula yang cukup luas yang berisi banyak sekali patung-patung berbentuk malaikat, manusia dan juga hewan yang diletakan di pinggir-pinggir jalan, dinding dan juga di sisi langit-langit lorong aula. "Wah ... banyak sekali patungnya. Apa patung-patung ini adalah hasil karya salah satu dari kalian, Kak?" tanya Dio. "Ah tidak, patung-patung ini semuanya dibeli oleh Papa," jawab Surya. "Kenapa Papa membeli patung sebanyak ini?" tanya Dio untuk yang kedua kali. "Untuk penjaga sekaligus pelindung rumah ini. Sudah menjadi hal yang sangat biasa kalau patung dijadikan sebagai penjaga sebuah rumah," jawab Surya. Jawaban Surya tadi entah mengapa langsung mendapat tatapan tajam dari Chandra yang kini sedang dirangkulnya dengan tangan kirinya. "Hah? Untuk penjaga dan pelindung rumah? Maksudnya, patung ini bisa hidup?" tanya Dio bingung. Surya yang merasa keceplosan mulai memperbaiki perkataannya tadi. "Ah ... kamu ini mudah sekali untuk dikerjai. Ya tidaklah, masa patung bisa hidup, Kakak kan hanya bercanda." Dio yang berada dalam rangkulan tangan kanan Surya itu hanya tersenyum sambil menyenggol pelan perut Surya dengan sikunya. "Ah, Kakak ini. Jadi patung-patung ini Papa beli karena Papa memang suka mengoleksi patung ya?" "Iya begitulah," jawab Surya sambil tersenyum dengan sedikit aneh. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka menjelajahi setiap bagian rumah yang entah bagaimana terasa tidak ada ujungnya. Dio benar-benar merasa sedang melakukan tur menjelajahi istana kerajaan. Sampai akhirnya Dio teringat akan satu hal. "Oiya, Kak Chandra." "Hem?" saut Chandra. "Bukankah Kakak suka membaca buku? Bolehkah aku tahu di mana ruang perpustakaannya? Karena aku juga suka membaca buku." Permintaan Dio lantas membuat Surya dan Chandra saling tatap satu sama lain. Seperti ada sesuatu dari tatapan mereka berdua. "Em-eh ... perpustakaan ya? Jadi kamu ingin ke sana?" tanya Chandra yang sudah pasti akan dijawab ia. "Iya, aku ingin sekali pergi ke sana." Mungkin karena ada sesuatu yang disembunyikan di perpustakaan, Chandra langsung melarang mereka bertiga untuk pergi ke sana dengan memberikan alasan yang terdengar wajar. "Sepertinya kita harus mengunjungi perpustakaan di lain hari saja," kata Chandra. "Loh? memangnya kenapa, Kak?" tanya Dio penasaran. "Karena sekarang perpustakaannya sedang direnovasi, jadi akan cukup mengganggu proses renovasinya bila kita berkunjung ke sana sekarang," jelas Chandra. "Baiklah kalau begitu, lain kali saja kita berkunjung ke sana." Dio pun menurut dengan polosnya. Terlihat ekspresi wajah lega dari Surya dan juga Chandra. Benar-benar sangat mencurigakan. Kini mereka telah sampai di ujung rumah di mana jalan di depan sana terbagi menjadi dua arah. Ke kanan dan ke kiri. "Ayo kita belok kanan," kata Surya membawa Dio dan Chandra di dalam rangkulannya. Tapi untuk kali ini, Dio meminta pada Surya untuk pergi ke arah kiri. "Kak, bisakah kita belok ke arah kiri? Entah kenapa aku ingin pergi ke arah sana. Surya dan Chandra kini kembali saling tatap satu sama lain. Sepertinya ada sesuatu yang lain lagi yang mereka coba sembunyikan dari Dio. "Boleh ya, Kak ...," pinta Dio dengan memasang ekspresi wajah seperti anak kecil." Chandra pun mengangguk pada Surya tanda kalau ia sepertinya memperbolehkannya. Surya yang terlihat sedikit takut dan khawatir pun dengan berat hati mengiyakan permintaan Dio. "Oke, ayo kita lewat jalan sebelah kiri." Mereka bertiga kini mengubah arah jalan mereka menuju ke arah kiri. Melewati jalan yang sepertinya terdapat sebuah rahasia di sana. Sebuah rahasia yang berusaha untuk ditutupi. Dengan langkah santai, mereka pun berjalan melalui lorong panjang yang sepi. Dio terlihat sangat menikmati arsitektur rumah yang menurutnya terlihat sangat klasik dan mewah. Matanya sedari tadi terus menerus menjelajahi setiap sudut lorong yang mana di sisi kanan dan kirinya kini mulai terdapat deretan foto-foto klasik bergambarkan orang-orang pada jaman dahulu. "Foto-foto yang bagus," kata Dio. Surya merespons perkataan Dio hanya dengan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, sementara Chandra hanya diam dan terlihat fokus menatap ke arah depan. Ekspresi wajahnya menggambarkan kalau ia sedang dalam keadaan waspada. Memangnya apa yang akan terjadi di depan sana? kenapa ia harus sewaspada itu? "Oiya, Kak Surya, ngomong-ngomong, wajah Kakak dan wajah Papa terlihat mirip. Padahal, Kakak tidak ada hubungan keluarga sama sekali dengan Papa," kata Dio. "Iya, orang-orang banyak yang bilang kalau wajah Kakak dan Papa memang sangat mirip. Kakak pun tidak tahu kenapa bisa begitu." "Mungkin memang sudah takdirnya Surya menjadi bagian dari keluarga ini," kata Chandra di tengah-tengah kewaspadaannya sambil mencubit pelan perut Surya yang terasa keras dan padat karena ototnya. "Iya, mungkin karena memang sudah takdir ya, Kak," kata Dio dengan polos. Kini mereka bertiga telah tiba di depan sebuah pintu besar yang bentuknya sama seperti pintu-pintu lain yang ada di rumah ini. Yaitu sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati dan terdapat ukiran-ukiran tanaman di atas permukaannya. Yang membedakan dari setiap pintu-pintu ini hanyalah bentuk dan ukurannya saja. Wajah Surya dan Chandra kini terlihat sama waspadanya. Sepertinya ada sesuatu di balik pintu itu yang dapat mengancam keselamatan mereka bertiga. "Ini ruangan apa, Kak?" tanya Dio. Dengan lembut diiringi dengan senyuman, Surya menjawab pertanyaan Dio, "Ini ruang perpustakaan yang Kakak bilang sedang direnovasi tadi." Dio hanya menganggukkan kepalanya naik turun seperti anak kecil saat mengetahui kalau ruangan itu adalah ruangan perpustakaan yang ingin ia kunjungi tadi. Tidak terlalu berlama-lama berada di depan pintu perpustakaan, mereka pun lalu melanjutkan kembali perjalanan mereka tanpa ada pertanyaan lagi dari Dio. Ekspresi waspada di wajah Surya dan Chandra masih jelas terlihat. Tetapi ekspresi itu secara perlahan memudar ketika mereka mulai pergi menjauhi pintu perpustakaan. Sebenarnya, ada apa di ruangan tersebut?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN