14. Gairah Tersembunyi

1151 Kata
Martin membukakan pintu mobil bagian belakang bagiku, dengan anggun aku masuk kedalam mobil dan duduk manis di bangku belakang.  Saat Martin hendak membukakan pintu baginya di bangku samping kemudi, aku segera menegurnya, “Martin, kali ini kau tak perlu ikut denganku.  Jadwalku sangat longgar, mungkin Dad lebih memerlukan bantuanmu.” Martin nampak keberatan.  “Tapi Nona, keselamatan Anda ...” “Aku tak apa, Martin.  Ada Ardo,  dia bisa bela diri.  Terbukti yang lalu dia dapat melindungiku saat kami melarikan diri!” potongku tak sabar. Martin mendengus kasar, sepertinya ia tak suka akan pengaturanku. Itu sebabnya aku nyaris tak percaya saat menjawab, “Baik, Nona.” Lalu aku meminta Ardo untuk menjalankan mobil yang kami tumpangi.  Beberapa km telah kami lalui, aku melihat tak ada yang mobil yang mengintai atau membuntuti mobil kami.  Sepertinya aman. “Ardo, stop," pintaku kepada Ardo. “Iya, Nona.” Begitu Ardo menghentikan dan menepikan mobil, aku segera berpindah ke bangku depan.  “Aku tak mau membuatmu terkesan sebagai supirku,” cengirku. Ardo tersenyum geli.  “Saya memang supir Nona.” “Sekaligus kekasihku!” kataku sembari mengecup bibirnya sekilas.  Mata Ardo berbinar seketika.  Dengan senyum yang selalu merekah di wajah tampannya, ia berkata, “Kini supir sekaligus kekasih ini akan melaksanakan tugasnya.” Ia mencondongkan tubuhnya padaku, kupikir ia akan menciumku.  Aku segera bersiap dengan memejamkan mataku.  Duh, sepertinya aku salah sangka, ternyata ia hanya memasangkan sabuk pengaman yang melintang didadaku.  Spontan aku membuka mataku malu, wajahnya tepat didepan wajahku, menatapku geli.  Ish, malu sekali.   “Kurasa aku salah paham,” gumamku lirih. “Mengapa?” pancingnya menggoda. “Kupikir kau akan menciumku,” sahutku dengan bibir mencebik.  Ardo memperhatikan bibirku yang mengerucut itu penuh minat. “Tadi iya, tapi sekarang tak ada salah paham lagi.  Aku memang ingin menciummu,” lirih Ardo. Mataku membola ketika ia dengan cepat memagut bibirku dan menghisapnya dengan kuat.  Ciuman Ardo sangat berapi-api, penuh hasrat membara.  Membuatku terbakar, aku segera membalas ciumannya tak kalah panasnya.  Bibir kami berpadu, lidah kami saling memilin, hingga saliva kami menyatu, menciptakan sensasi basah yang menggairahkan.  Tanganku meremas-remas d**a Ardo, hingga membuat kusut kemeja yang dikenakannya.  Kukeluarkan kemejanya dari balik celananya, hingga tanganku bisa menelusup masuk kedalamnya.  Untuk membelai perut kotak-kotak milik Ardo yang menggemaskan.  “Bellaaaaa ...” Ardo mendesah karena belaianku.  Mungkin gairahnya telah terpancing, matanya nampak berkabut menatapku sayu.  Membuatku berkobar juga, aku bergerak maju, ingin merapat padanya.  Tapi sabuk pengaman sialan ini menghalangi gerakku, membuatku tak leluasa.  Aku melepasnya, lantas beranjak cepat naik ke pangkuan Ardo.  Kami saling bertatapan intens.  Kemudian mendekat, kembali menyatukan bibir kami.        Ciuman kali ini lebih lambat,  namun bukan berarti gairah kami berkurang.  Kami b******u dengan kekuatan maksimal, menggesek kuat hingga terasa panas dan kebas bibir kami yang bengkak.  Tanganku meremas gemas rambut Ardo, sedang tangannya merengkuh pinggangku.  Mengelus disana, terus keatas.  Ke punggungku.  Ah, mendadak aku ingin merasakan sentuhan langsung tangannnya ke kulitku.  Aku berinisiatif membuka blazerku, melemparnya ke bangku belakang.  Kini tubuh bagian atasku hanya dilapisi oleh taktop dengan bra didalamnya.  Ardo menatapku nanar, namun ia belum berani bergerak.  Lagi-lagi aku yang berinisiatif untuk menarik tangannya, memasukkan ke dalam tanktopku.  Kehangatan tangannya segera kurasakan pada kulit punggungku.  Nyaman, dan menggetarkan ketika Ardo meremas lembut punggungku.  Tangannya terus merayap hingga ke samping pinggangku, mengelus perutku, lalu keatas ... ia menatapku ragu.   “May I ... ?”  “Yes!” sahutku dengan d**a bergemuruh.  Kurasakan tangan Ardo sedikit gemetar ketika menyentuh dadaku dari luar bra.  Awalnya dia menyentuh ringan, kemudian mengelusnya dan meremas lembut.  Tak sadar aku mendesah. “Ardoooooo ...” kupanggil namanya, lalu  aku mencium bibirnya lagi.  Dengan kasar, dengan gairah yang membludak.  Tentu saja Ardo membalas ciumanku dengan gairah yang sama.  Kami terhanyut dalam gairah yang memabukkan, hingga lupa bahwa kami tengah berciuman panas didalam mobil yang terparkir di tepi jalan raya!  Mobil kami yang terparkir lama telah memancing perhatian orang. Ketukan di kaca jendela mobil mengejutkan kami.  Ternyata yang melakukannya adalah seorang polisi lalu lintas.  Dengan panik aku kembali ke tempat dudukku, dan segera merapikan pakaian dan rambutku sebisa mungkin.  Ardo juga demikian, namun ia lupa merapikan rambutnya yang tadi kuacak-acak.   Tak apa, ia tampak s*****l dengan rambut berantakan seperti itu.  Hehehe ... Ardo menurunkan jendela mobil, nampak wajah datar seorang pria paruh baya berseragam polisi. “Maaf, mobil Anda terlalu lama diparkir di tempat ini.  Kami pikir ada sesuatu yang terjadi,” kata polisi itu sembari melongok kedalam.  Ekspresinya berubah begitu melihat dan mengenaliku. “Nona Bella Kania Alfonzo, maaf kalau menganggu kenyamanan Anda.  Saya hanya melaksanakan tugas,” sapa polisi itu hormat. “Tentu Pak, tapi kami sedang diburu waktu.  Bisa kami pergi sekarang juga?” kataku searogan mungkin.  “Tentu,” sahut polisi itu sambil mengangguk. Begitu mobil kami melaju, Ardo bertanya padaku, “Apa kau mengenal polisi tadi?” “Tidak,” sahutku dengan mengangkat bahu.  “Aku memang terkenal, apa kau baru menyadarinya?” sambungku narsis. Ardo tersenyum misterius.  “Tentu aku tahu, kalau tidak tak mungkin aku bersedia menyamar supir untukmu.” “Menyamar?”  Keningku berkerut mendengarnya.  Ardo tergelak, lalu ia meralat ucapannya.  “Maksudku saat ini aku adalah kekasihmu yang menyamar menjadi supirmu.  Betul kan?” Aku mengangguk dan ikut tersenyum bersamanya.  “Ya, dan kau adalah supirku yang paling seksi.  Tapi tolong jangan jadi supir penggoda bagi yang lain,” ancamku halus, sembari menarik rambutnya yang berantakan.  Eh, maksudku merapikan rambut kekasih gelapku.  Yah, dia adalah kekasih gelapku.  “Siap, Nona tercinta!  Gairah tersembunyi ini hanya dicurahkan buat Anda.” Kami saling menatap mesra, sebelum Ardo kembali fokus pada jalan raya.  Astaga, dia begitu tampan dan menyenangkan.  Dari hari ke hari aku semakin tergila-gila padanya.  Kurasa memang aku sudah tak waras lagi.  Aku telah menjadikan supirku sebagai kekasih gelapku!  Tapi biarlah hubungan ini berjalan apa adanya dulu.  Meski aku tak tahu akhirnya akan bagaimana.  Aku hanya ingin menikmati gairah tersembunyi ini, mereguknya sepuasnya. Selagi bisa ...   ==== >(*~*) Kami melanjutkan perjalanan, beberapa meter kemudian aku meminta Ardo berhenti.  Tapi dia tak menghiraukan permintaanku. "Kita sudah terlambat, Nona.  Pekerjaan anda menunggu." "Segala hal bisa diatur.  I am the boss.  Kamu tak lupa hal itu kan?" sahutku angkuh. Ardo tersenyum dikulum.  "Saya amat mengingatnya, Nona.  Itu sebabnya sekarang saya memanggil Nona." Oh iya, tadi dia memanggilku Bella, kini Nona.  Ardo sering mengganti panggilanku sesukanya, tapi aku sendiri juga bingung meresponnya.  Terkadang aku suka dipanggilnya Bella, namun seringkali aku ingin dia mengingat bahwa aku adalah nona majikannya dengan memanggilku 'Nona'.  Nah bingung kan?  Hubungan kami ini sungguh membuat galau. "Tapi, tapi .. aku masih ingin ..."   Bermesraan denganmu ...  kusambung kalimat itu didalam hati.  Ada apa dengan diriku?  Apa yang kurasakan saat ini?  Aku seperti wanita gatalan yang menyimpan gairah tersembunyi didalam dirinya!  Memalukan .. Seakan paham apa yang kurasakan, Ardo meraih kepalaku lalu merebahkannya di bahunya yang kokoh.  Aku tersenyum sumringah menanggapinya. Sementara cukup begini untuk meredakan gairah tersembunyi kami.  Aku harus puas dengan ini, daripada tidak sama sekali. ==== >(*~*)< ==== Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN