13. Bibit Cinta Mulai Bersemi

1759 Kata
Aku menemukannya didalam kamarnya.              “Ardo, ayo kita pergi sekarang!” Tak sabar aku menarik tangannya, namun dia berusaha bertahan. “Apaan?!  Kau menolakku?!” kataku geram. “Bukan begitu Nona, beri saya waktu.  Saya tak mungkin pergi seperti ini kan?” Olala, kemarahan telah membutakanku hingga aku tak menyadari dia dalam keadaan telanjang d**a.  Rupanya ia berniat mengganti pakaiannya saat aku datang menemuinya. “Kuberi waktu lima menit,” dengusku tak sabar, “eh, dua menit!  Lebih cepat lebih baik!” Aku meninggalkan kamarnya dan menunggu didepan teras kamarnya.  Dia muncul dua menit kemudian.  Dengan mengenakan kaus polo sederhana berwarna hitam plus celana jeans biru pudar.  Meski rambutnya acak-acakan, dia nampak mempesona.  Apa ia tak sempat bersisir?  Aku tergerak untuk merapikan rambutnya, kusurai dengan jari-jari tanganku.  Saat melakukannya tatapan kami bertemu dan saling terkunci satu sama lain. Mengapa hatiku bergetar melihat pandangan mesranya?  Eh, betulkah itu pandangan mesra?  Atau aku yang mengharapnya demikian? “Ehmmmm ... “ kami bergumam bersamaan.  Aku mengalihkan tatapan ke tempat lain, tapi entah bagaimana aku yakin dia tetap memandangku.  Pipiku memanas menyadarinya. “Kita pergi, Nona?” “I-iya,” sahutku pelan. Mataku membulat ketika ia menggandengku dan membawaku melangkah di sisinya.  Apa kami terlalu mesra?  Dan mengapa aku berubah sejinak kucing terhadapnya?  Arghhhh, ini sungguh membingungkanku! Pasti kegalauanku yang membuat perilaku menjadi aneh seperti ini.   ==== >(*~*) Aku seperti orang linglung, hingga lupa memberitahu Ardo tempat tujuan kami.  Namun tanpa menanyakannya, Ardo berinisiatif membawaku pergi ke suatu tempat.  Aku baru menyadarinya begitu ia menghentikan mobil. “Dimana kita?”  Aku memandang sekelilingku.  Ternyata kami berada di suatu tebing dengan pemandangan yang sangat indah.  Aku baru tahu ada tempat seperti ini di kota kami.  Maklum saja, aku ini gadis yang terkungkung karena Dad terlalu over protektif padaku. “Lover Cave.  Saya membawa Nona kemari untuk menghibur Nona.  Coba Nona keluar, hawa di tempat ini sangat sejuk karena angin yang bertiup sepoi-sepoi,” usul Ardo. Aku mengikuti sarannya.  Ternyata benar, begitu aku keluar dari mobil, angin semilir menyentuh inderaku.  Membuatku segar dan nyaman.  Aku berjalan menuju ke tepi tebing yang paling menjorok dan melongok ke bawah.  Nampak air laut berbuih akibat ombak kecil yang menerpa batu tebing.  Segarnya aroma laut membuat kemarahanku mengendap, senyumku mulai timbul. Aku menoleh ke samping dan memergokin Ardo yang tengah mengarahkan ponselnya untuk memfotoku. “Apa barusan kau ... memfotoku?” tanyaku memastikan. “Iya, maaf.  Nona terlihat sangat berkilau, begitu menawan di tengah pemandangan indah tebing.  Saya tak tahan untuk mengabadikan keindahan ini.  Kalau Nona keberatan, saya bersedia menghapusnya.” “Tidak, tak apa.  Untuk sekali ini, kebetulan moodku berubah baik.  Kau boleh menyimpannya.  Tapi, aku ingin melihatnya.” Ardo mendekatiku, dan menunjukkan hasil jepretan kamera ponselnya.  Aku tak menyangka aku nampak begitu cantik dan cemerlang di foto itu.  Jelas ia fokus memotretku, karena pemandangan di sekitarku dibuat blur olehnya. “Aku tak menyangka kau bisa memotret sebagus ini, Do,” komentarku kagum. “Saya pernah belajar memotret secara otodidak, Nona.  Berminat saya potret lagi?” tawarnya. “Boleh, tapi ... kita foto selfie?” pintaku ragu.  Entah mengapa aku menginginkan kami foto berdua. Ardo nampak bimbang.  “Maksud Nona, saya dan Nona foto berdua?” Aku mengangguk penuh harap. “Tapi Nona, lebih baik saya yang mengambil foto Nona saja.  Maaf, penampakan saya di foto kurang bagus,” tolaknya halus. Ck, belum pernah aku mengajak seorang pria foto berdua denganku.  Sekalinya ingin melakukannya, orang yang kuajak justru menolakku!  Mirisnya, dia adalah supirku!  Bukan orang berkedudukan tinggi di masyarakat.  Jujur aku tersinggung.  Kubalikkan tubuhku, aku melipat tanganku di d**a sembari menatap laut di kejauhan.  Mungkin Ardo bisa merasakan bahwa aku sebal padanya, ia berusaha meminta maaf padaku.  “Maaf, Non ...” gumamnya pelan. Yang tak kusangka ia meminta maaf sambil memelukku dari belakang.  Ingin kutepis lengannya, namun kehangatan pelukannya membuatku nyaman.  Sayang sekali jika aku mengusir kenikmatan ini.  Aku menoleh ke belakang, bertepatan saat ia menunduk melihatku.  Jarak kami menipis, menciptakan suasana romantis yang menyeruak masuk. “Apakah ini termasuk latihan sepasang kekasih kita?” gumamku, lebih kutujukan pada diriku sendiri.  Sebagai pembenaran karena mengijinkan seorang supir memelukku mesra!  Dia mengangguk.  “Apa Nona keberatan?” “Tidak, teruskan,” cicitku nyaris tak terdengar. Dia tersenyum lembut, lalu menempelkan dagunya di bahuku.  Perasaanku semakin hangat dibuatnya, spontan aku bersandar di tubuhnya,  Tubuh kami semakin rapat, menyebabkan jantungku berdebar kencang.   Ya Tuhan, apa yang kurasakan ini?  Aku lumer dalam pelukan hangat seorang lelaki dengan aroma parfumnya yang memabukkan!  Ini gila, tapi fantastis.  Kurasa Ardo berhasil mengaburkan akal sehatku.  Apa karena ketampanannya yang menghipnotis diriku?  Sontak aku menoleh ke samping, ingin menkmati keindahan wajahnya.  Ardo ikut menoleh padaku.  Pandangan kami terbetot kuat, membuat sekeliling kami bagai tak berarti.   Bibir kami saling mendekat, menempel, dan menyentuh ringan.  Lalu berpagut mesra, membuatku lupa diri.  Aku berbalik padanya, mengalungkan kedua lenganku di lehernya.  Lalu kucium Ardo sepenuh hatiku.  Bibirku mengulum bibirnya dan menggigit kecil dengan gemas.  Begitu bibir Ardo terkuak, lidahku menyeruak masuk untuk mencari kehangatan didalam sana.  Ardo tak tinggal diam, ia balas menciumku.  Lidahnya memilin lidahku kuat.  Kami terus b******u dengan hasrat bergelora, hingga akhirnya berhenti saat nyaris kehabisan pasokan oksigen.  Dengan napas memburu aku menatapnya galau.  Bingung akan apa yang kurasakan padanya.  Apa aku betul-betul menyukainya?  Tapi dia ... supirku!  Dia hanya orang yang kumanfaatkan untuk menggagalkan rencana pertunanganku dengan Dion.  Aku seharusnya tak boleh jatuh dalam pesonanya! Ardo tersenyum manis padaku, tangannya terulur merapikan rambutku yang diterbangkan angin nakal.  “Bella, kau manis sekali,” pujinya lembut. Aduh, aku semakin gundah gulana dibuatnya.   OMG, sepertinya aku terlarut dalam peranku seperti!   ==== >(*~*)               Malamnya aku tak bisa tidur, mataku nyalang menatap plafon kamarku yang bermotif langit berbintang jika di malam hari.  Siang hari plafon kamarku secerah langit biru.  Dad sengaja mendatangkan desainer kondang dari Jerman untuk merancang desainnya.  Tapi aku tak bisa tidur bukan karena tengah mengagumi plafon kamarku.  Bayang-bayang kejadian tadi siang terus terekam dalam benakku.             Mengapa semakin lama Ardo semakin memikat di mataku?  Apa ia telah mengguna-gunaiku?  Jangan-jangan ia pergi ke dukun untuk memeletku!  Hingga aku yang terbiasa ketus dan angkuh pada orang lain menjadi jinak padanya.  Ini aneh, tapi memabukkan.  Mengapa dia berubah menjadi candu bagiku?  Segalanya tentang dia begitu menawan, membuatku selalu ingin berdekatan dengannya.  Dan tadi siang, ciumannya ... wow, aku ingin merasakannya lagi.              Aku ingin diciumnya lagi, aku ingin berada dalam dekapannya, aku ingin membaui parfumnya yang maskulin, aku ingin menatapnya wajah tampannya, aku ingin ... kurasa aku telah tergila-gila padanya!             Dddrrrttt .... drrrttttt ....             Terdengar nada pesan masuk di ponselku.  Meski malas, aku membukanya.  Mataku membulat melihat pesan yang masuk.  Dari Ardo!  Dia mengirimkan foto kami.  Kapan dia memfoto kami sedang berciuman?  Bukannya ini saat kami di Lover Cave?  Bukannya dia bilang tak suka selfie?  Ternyata diam-diam Ardo memfoto adegan ciuman kami, meski banyak wajahku yang terekspos!             Hatiku bergelora melihat foto ini.  Mendadak aku merasa rindu padanya!  Pasti dia belum tidur kan?  Buktinya dia bisa mengirim pesan ini padaku!  Aku memang gila, seperti kerasukan, aku bergegas bangun.  Aku hanya melapisi piamaku dengan sweater tebal, lalu mencarinya.  Sebelumnya kusempatkan merapikan rambutku dan menyemprot tubuhku dengan parfum kesayanganku.             Aku melihatnya saat dalam perjalanan menuju kamarnya.  Ardo duduk di taman belakang, membelakangiku.  Meski demikian aku yakin itu dia, aku sangat hafal silhoute tubuhnya.  Mengendap-ngendap, aku mendekatinya dari belakang.  Lalu menutup matanya dengan kedua tanganku.  Saat melakukannya, tanganku menyentuh sesuatu yang panas hingga aku memekik lirih.             “Auw!”             “Nona, astaga!”             Spontan dia berbalik, meraih tubuhku dan menariknya kedalam pangkuannya.  Ia memegang tanganku yang seperti terbakar sesuatu,             “Apakah sakit sekali?  Maaf, saya tak menyangka Nona akan melakukan ini, dikala saya sedang ....”             “Kamu perokok Ardo?” tanyaku dengan nada kecewa.  Aku melihat puntung rokok yang  terbuang di dekat kakinya.  Mungkin rokok itu terjatuh saat aku menyenggolnya tadi.              Aku tak suka perokok, asap rokok membuatku mual.  Kini mengetahui Ardo merokok, membuatku galau.             “Tidak, Nona.  Sumpah, saya bukan perokok.  Biasanya saya tak pernah melakukannya.  Tapi tadi, Pak Amin menawarkan saya.  Katanya rokok dapat menenangkan orang yang sedang gelisah.  Saya hanya  mencobanya, ternyata ... “  Dia mengamati ekspresi kecewa di wajahku, “Saya tak akan melakukannya lagi jika Nona tak suka.”             “Bagus!  Karena aku tak suka mencium perokok.  Bau rokok membuatku mual,”  sahutku lega.  Tapi sejurus kemudian, pipiku merona begitu menyadari sesuatu.  Apakah kalimatku tadi secara tersirat mengungkapkan keinginanku untuk menciumnya sewaktu-waktu?  Astaga!              Aku semakin malu karena menyadari pandangan menggoda di mata Ardo.  “Bukan berarti aku mengatakan ingin menciummu, Do!” timpalku sok ketus.             Dia tersenyum geli.  “Saya tahu, Nona.”             Dia terus tersenyum, membuatku jengah.  Untuk mengalihkan perhatian, aku membahas sesuatu yang lain.             “Tunggu, apakah kamu sedang gelisah?  Tadi kau bilang, butuh rokok untuk menenangkanmu.  Apakah yang membuatmu gelisah?” tanyaku kepo.             Senyum Ardo memudar, dia nampak gugup.  “Tak ada, Nona.  Hanya kejadian kecil di kampung.  Tak usah dirisaukan.”             “Aku rasa bukan itu,” bantahku, sembari menyikut dadanya.  “Katakan padaku, kau harus jujur pada majikanmu!”             Mendadak raut wajahnya berubah serius, ia menatapku lekat hingga membuatku gugup.  Tololnya aku baru sadar bahwa sedari tadi aku belum beranjak dari pangkuannya!  Bukannya posisi kami ini sangat tak wajar dengan status hubungan kami sebagai majikan dan supir?             “Nona, Anda bertanya pada saya dengan status sebagai majikan atau wanita biasa?” tanyanya dengan suara rendah.             Aku menelan ludah kelu.              “Kalau sebagai majikan?”             “Saya tak akan menjawabnya, karena ini masalah pribadi saya,” sahut Ardo lugas.             “Jika aku bertanya sebagai wanita?” cicitku pelan.  Habis aku sudah terlanjur penasaran ingin tahu penyebab kegelisahannya.              Mendadak Ardo merapatkan tubuhku padanya hingga membuat napasku tercekat.  Jarak kami semakin menipis, udara terasa sarat ... membuatku sulit bernapas.  Mataku menatapnya nanar.              “Wanita macam apa?  Apa wanita yang penasaran akan diriku?  Wanita yang ingin menciumku?  Wanita yang langsung mencariku begitu aku mengirimnya pesan?”             Ingin sekali aku membantahnya, namun aku hanya terdiam dengan mulut ternganga.  Dia mencubit pipiku gemas, sialan!              “Jika demikian aku akan menjawabnya, wanita inilah yang membuatku gelisah.”             APA?!  Mataku membola menyadari diriku adalah sumber kegelisahannya.  Apa ini berarti kami sama-sama gelisah akan hal yang sama?  Jadi, apa arti semua ini?             “Ardo ...” tak sadar aku memanggilnya lembut.             “Iya, Bella.  Perasaan kita sama,” sahutnya didepan bibirku.             Perasaan apa?   Batinku sebelum ia menciumku mesra.  Aku langsung meleleh karena ciumannya, dan sedetik kemudian menghangat.  Kubalas ciuman Ardo tak kalah panasnya.  Lenganku memeluk lehernya, jari-jariku meremas rambutnya.             Kami berpagut mesra di tengah remang-remang taman belakang.  Di malam senyap, dengan disaksikan langit malam bertabur bintang diatasnya.  Aku terbuai, terlena, hingga lupa jika yang kucium adalah supirku sendiri!   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN