12. Kunjungan Dion

1111 Kata
“Pagi, Nona,” sapa Ardo sopan.             Aku mendengus kasar menanggapinya.  Masih kuingat tuduhan dari pria yang gemar beronani ini semalam.  Tersingung aku.  Dianggapnya apa diriku?  Meskipun aku telah melamarnya sebagai My Cinderella Man, tapi aku bukan w************n yang mau melakukan segalanya untuk memuaskan hasratnya!  Biarlah, akan kuabaikan dia hari ini supaya dia bisa merenungi kesalahannya.             Ardo tengah mencuci mobil, dengan memakai tshirt putih tipis yang mencetak tubuh atletisnya karena semprotan air yang nyasar ke tubuhnya.  Dia mengenakan celana jeans ketat yang menonjolkan p****t bahenolnya.  Aduhai, dia terlalu indah dan s*****l untuk diabaikan.  Dan menyebalkannya, setelah menyapaku dan tak mendapat tanggapan, dia memilih konsetrasi melanjutkan tugasnya.  Ck, mengapa dia tak mau berusaha sedikit keras mendapat perhatian dariku?             Terpaksa aku berbalik untuk menegurnya.  Kuketuk kap mobil yang sedang dilap olehnya.  Tuk, tuk, tuk.  Wajahnya terangkat dan menatapku heran.             “Ada apa, Nona?”             “Apakah kau tak bisa lebih agresif?  Kamu itu pria!” sindirku kasar.             Astaga, mengapa tingkahku mirip kekasih yang sedang ngambek?  Apa-apaan ini?  Kekanak-kanankan sekali!             “Saya tak paham maksud Nona.”             “Hei, pria yang tak sensitif!  Seharusnya kamu tahu aku sedang marah padamu, seharusnya kau tahu aku sedang mengabaikanmu, seharusnya kau berusaha supaya aku tak marah dan tak mengabaikanmu!” tuntutku geram.             Menyebalkan sekali, dia tetap tenang dan santun menghadapi kemarahanku.             “Saya tak tahu salah saya dimana.  Apa ini berkaitan dengan semalam?”             “Tentu saja!” bentakku spontan.  Tanganku berkacak pinggang untuk menegaskan kekuasaanku atas dirinya.             “Maaf kalau Nona salah mengerti, saya tak pernah berpikir kalau Nona menawarkan diri untuk mengonani saya,” sahut Ardo lugas.             OMG!  Perlukah dia bicara sevulgar itu?!  Pipiku memanas seketika, tak sadar pandanganku tertuju ke selangkangannya.  Seberapa besar miliknya?  Tonjolan disana nampak mengundang.   Mengundang?  Astaga, pikiranku korslet!!             “Hei, perlukah kau mengatakannya seterbuka itu?!  Aku ini seorang gadis!  Meskipun sekotor apapun pikiranku, tak usah kau ... “  Aku terdiam begitu menyadari sesuatu.  Apa aku baru saja mengakui aibku sendiri?  Jiahhhhhh!             “Bukan berarti pikiranku kotor!!  Aku hanya mengatakan SEANDAINYA pikiranku kotor, paham?!” sambungku menekankan.             Ardo mengangguk sembari tersenyum dikulum.  “Iya, Nona.  Saya paham kata SEANDAINYA.”             Aku mengangguk, karena kehabisan bahan pembicaraan.  Dia kembali melanjutkan pekerjaannya, membuatku sedikit terabaikan.  Mengapa ia tak berinisiatif memulai pembicaraan denganku?  Gemas, aku pun naik keatas kap mobil.  Dia mengerutkan dahi melihat tingkahku.             “Apa lagi Nona?”             “Apakah pekerjaanmu lebih menarik daripada diriku?”             Ardo menghela napas panjang.  “Bukan begitu, Nona.  Bukankah Anda menggaji saya karena saya bertanggung jawab pada pekerjaan saya?”             “Juga untuk memperhatikan majikanmu!”  tandasku cepat.             Aku terkesiap ketika mendadak Ardo menarik tubuhku sehingga kakiku mengangkang di pahanya.  Dia mengurung tubuhku dengan kedua lengannya yang menancap di kap mobil.  Posisi kami begitu intim, wajahnya sangat dekat dengan wajahku.  Nyaris tak berjarak.  Aku terpukau menatap pahatan indah wajahnya.             “Ma-mau apa kau?” tanyaku gugup.             “Memperhatikan majikanku,” jawabnya dengan suara rendah nan s*****l.  Dari sorot matanya nampak ia menahan geli.  Seharusnya aku tersinggung, tapi suara menggodanya membuatku berpikir yang tidak-tidak.             Aku menelan ludah kelu, mengapa aku mengharap ia menciumku saat ini?  Sepertinya aku sudah gila!  Dan sebalnya, dia tak segera melakukannya.  Hingga suara dehaman dingin menyadarkan kami.             Ternyata yang muncul adalah Dion.  Dia menatapku acuh tak acuh dengan tatapan dingin.  Sungguh kebetulan sekali, aku teringat akan misi pribadiku untuk menggagalkan rencana pertunanganku dengannya.  Kutarik dagu Ardo yang masih menoleh kearah Dion, lalu kupagut bibir supir sekaligus pria yang kuplot menjadi My Cinderella Man.  Mata Ardo membulat kaget, tapi untungnya ia tak menolak ciumanku.  Ia merespon ciumanku dengan baik, bibirnya mengulum bibirku lembut ... menularkan kehangatannya.  Aku terlena hingga tak sadar Dion telah beranjak pergi, aku terus mencium Ardo penuh hasrat.             “Nona, dia telah pergi,” gumam Ardo lirih memberitahku.             Aku melepas ciuman kami dan menatapnya rikuh.  Apalagi ketika menyadari sesuatu yang mengeras di s**********n Ardo.  Dia b*******h padaku, benar kan?  Jadi bukan hanya aku yang terpengaruh akan ciuman panas kami.             “Jangan kau anggap aku modus padamu,” ujarku berusaha setenang mungkin.                 “Saya tak mengatakan begitu, Nona.”             “Bagus, sekarang lepaskan aku.”             “Sudah, Nona.  Anda yang belum melepas saya,” beritahu Ardo pelan.             Astaga, dia benar!  Justru aku yang masih memeluk dan memegang tengkuknya.  Apa-apaan ini?  Tanganku sungguh laknat!  Buru-buru kulepaskan dengan wajah merah padam.  Dia menepi, jadi aku bisa turun dari atas kap mobil.  Kami berdiri berhadapan dengan sikap canggung.             “Kak Bella, Dad memanggilmu,” mendadak ada yang menginterupsi kami lagi.  Kali ini adik tiriku, Sheila, yang tengah menatap kami curiga.              “Ya,” sahutku singkat.  Aku bergegas pergi masuk kedalam rumah.  Namun sebelumnya kutarik Sheila masuk bersamaku karena aku tak ingin ia berduaan dengan Ardo.  Habis tatapannya pada My Cinderella Man terlalu jalang.  Aku tak suka!  Ardo adalah milikku.                     ==== >(*~*)               Melihat Dion duduk di sebelah Dad dan berbincang dengan akrab, membuatku muak.  Ingin muntah.  Dia berlaku seakan ini rumahnya sendiri dan telah menyatu dengan semua keluargaku.  Terkecuali diriku tentunya!  Dipikirnya siapa dirinya?               “Duduklah disini, Princess.”  Dad menunjuk kursi di sebelah Dion.             Tak sudi aku menempatinya, aku memilih duduk di samping ular betina yang biasa kuhindari.  Ibu tiriku.  Dad menatapku tak suka, tapi belum sempat protes.             “Aku ingin dekat Mom,” cicitku pelan.             Dad menghela napas, lalu mengalihkan tatapannya pada Dion.             “Kau lihat sendiri kan, Son.  Itu salahku yang selalu memanjakannya, Bella sangat kolokan dan kekanak-kanakkan.  Kuharap nantinya kau bisa menjaga dan mengarahkannya menjadi lebih baik.”             “Jangan khawatir, saya akan mengurusnya dengan baik,” sahut Dion, memamerkan senyum terbaiknya.             Apa-apaan ini?!  Aku meradang melihat pemandangan memuakkan itu.             “Dad!  Aku bukan barang yang sembarangan bisa diserahkan ke orang lain,” protesku gusar.             “Setuju.  Dion bukan sembarang orang.  Dia calon suamimu, Bella,” tegas Dad.             Mendengarnya membuatku syok.  “APA?!”             “Dion telah menyatakan dia setuju menikahimu setelah kalian bertemu dan bersepakat mewujudkan rencana pertunangan kalian.”             Siapa yang sepakat dengannya?!  Dasar ular beludak!!  Apa dia tak punya hati?  Aku jelas-jelas menolaknya!  Masa ia tetap nekat memintaku menikah dengannya setelah melihatku mencium pria lain didepan matanya?!             “Aku menolaknya!” teriakku kesal.             Dad mendelik padaku, tak biasanya ia bersikap keras terhadapku.  “Tak ada penolakan!  Suka tak suka kau akan menikah dengan Dion.  Pertunangan kalian dirayakan bulan depan.”             Oh no!!  Aku menghentakkan kakiku kesal. Lalu berlari meninggalkan mereka.  Masih kudengat teriakan Dad memanggil namaku.             “Bella!!”             “Biarkan saja, Tuan Besar.  Bella butuh menenangkan diri,” Ibu tiriku berusaha menenangkan Dad.             Huh, munafik!  Tak usah berpura-pura baik didepanku, tapi di belakangku menusukku dengan kata-kata berbisanya.   Aku galau berat dengan perasaan berkecamuk.  Pada saat ini ada seseorang yang masuk dalam pikiranku.              Ardo, aku harus mencarinya.  Kami perlu mempercepat proyek Cinderella Man.   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN