9. Gagal Ketemu

721 Kata
Perempuan rambut hitam itu termenung, ia menatap gedung-gedung yang terlihat di jendela apartemennya. Tangannya menggenggam sebuah kalung berinisial D. Air matanya mengalir begitu saja, berkali-kali ia menghapusnya namun selalu saja gagal. "Apa kamu masih ingat sama aku, Wa?" "Wa, anak kita udah gede. Kamu nggak pengen lihat gitu?" Ia menghembuskan napasnya pelan, lalu menghapus air matanya. "Wa, dia mirip sama kamu. Seenggaknya kalau kamu nggak pengen ketemu sama aku, ada kloningan kamu yang bisa mengobati rasa rindu ku." "Bunda!" Perempuan itu menoleh dengan tersenyum lebar. Ia menggendong putra semata wayangnya. "Kenapa, Sayang? Lapar?" "Bun, ke taman!" "Kamu ada apa sih, setiap hari ke taman? Sama Mbak Arin ya?" Bocah laki-laki itu menggelengkan kepalanya kuat. "Sama Bunda!" "Pokoknya sama Bunda!" Perempuan itu akhirnya mengangguk pasrah, anaknya memang selalu saja keras kepala. Di sudut lain, Angkasa merebahkan tubuhnya ranjang tidur. Ia mengacak-acak rambutnya, banyak hal yang selalu berkeliaran di pikiran. Semua berhasil membuatnya puyeng tujuh turunan dan empat puluh tanjakkan. "Gue harus apa sama Agni? Kenapa semua jadi rumit gini sih, Mama pasti kecewa kalau gue ninggalin lo gitu aja. Tapi gue yakin, bayi dalam perut lo itu bukan anak gue." "... harusnya gue dulu stay sama Lena, bukan malah nyuruh dia gugurin kandungan dia. Lo cowok bukan sih, Sa?!" lanjut Angkasa dengan menjambak rambutnya. Ia melirik jam pada dinding, seulas senyum kecil terbit di bibirnya. Dengan tergesa-gesa ia mengambil jaket dan kunci mobilnya. Hatinya ingin mencari penenang, Al, sasarannya. "Bunda, aku mau ketemu Om." Perempuan itu terus saja di tarik oleh anak laki-lakinya menuju bangku di depan danau. "Om Tya itu kerja, Bara, dia nggak ada di sini." "Bukan Om Tya, Nda. Dia Om Asa." Matanya menyipit ketika anaknya berlari mendekati laki-laki berkemeja lusuh, tiba-tiba jantungnya berdebar hebat. Ia tak siap jika harus saat ini bertemu dengan masa lalunya, suhu tubuh secara dadakan naik derastis. Kalaupun hari ini harus bertemu, siap tak siap ia pasrah pada scenario Tuhan. ### "Lo dimana, Sa? Gue di apartemen lo. Cepet lo pulang sekarang, ada klien yang demo sama lo. Kalau sampai bokap lo denger, gue sama lo pasti kena semprot. Gue nggak mau gaji gue ke potong, Sa, gaji bulan ini gue mau liburan sama Mega." "Gue mau cari udara, Lang. Lo nggak bisa tangani sendiri apa? Gue udah sampai taman nih," jawab Angkasa dengan mengacak-acak rambutnya. “Kalau lo nggak mau pulang, besok lo terima surat pengunduran gue. Dan jangan anggap gue sahabat lo lagi.” Angkasa berdecak kesal. “Iya, gue pulang sekarang. Puas lo? Lo tunggu sepuluh menit lagi.” Dengan terpaksa ia melajukan mobilnya kembali, pulang. Angkasa takut pada marahnya Langit yang tak pernah main-main. Ia selalu berpegang teguh pada ucapannya, kali ini ia menyampingkan urusan pribadinya. Selain masalah Langit, jelas papanya lebih murka. Apalagi menyangkut masalah kantor, ia tak bisa berkutik jika berhadapan dengan papanya. Di taman itu, anak kecil duduk termenung dengan bibirnya manyun ke depan. Ia kesal dengan laki-laki yang ingin ia temui hari ini. “Kita pulang aja ya, Bara, udara udah dingin.” Anak itu menggelengkan kepalanya pelan, matanya berkaca-kaca. “Tapi, Om Asa nggak ke sini. Mungkin sibuk, Nak, kita jemput Om Tya aja gimana?” “Nggak mau! Pengennya Om Asa, Nda. Om Asa pasti datang, udah janji.” Perempuan itu menggelengkan kepalanya, ia memeluk tubuh anaknya. “Bara, nurut sama bunda kan? Kita pulang ya? Nanti main sama Om Tya, bunda telpon Om Tya biar datang ke apartemen.” “Om Tya, suka malah-malah sama aku. Nggak mau sama Om Tya!” Perempuan itu menghela napas panjang. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Bara adalah duplikat dari mantan pacarnya. “Bara, kamu nggak mau main sama Om Tya?” Suara berat mengusik telinga Bara, anak kecil itu menoleh dengan wajah cemberut. Laki-laki dengan jas hitam itu tersenyum kecil, ia mengacak-acak puncak kepala Bara. “Kita pulang ya, Om Asa itu masih sibuk. Hari ini ada pekerjaan yang mendadak, Bara, kamu sama Om Tya aja ya?” Bara tetap menggelengkan kepalanya, kuat. Laki-laki itu berdecak kesal. “Bara, Om Asa itu masih sibuk. Besok aja ya kamu ketemu Om Asa. Hari ini Om Tya ajak ke mall, beli mainan baru. Kamu mau nggak? Om Tya beliin robot baru sebanyak yang Bara mau deh.” “Benelan ya, Om? Aku mau beli lobot balu banyak, mau habisin uang Om Tya. Nda, aku ikut Om Tya ya? Bunda pulang aja,” ucap Bara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN