10. Some Trouble?

1137 Kata
“Lo gila, Lang? Masa iya harus gue yang ngasih ini ke bokap? Kan ada lo, tugas lo itu sebagai asisten gue. Perantara gue sama siapa pun, biasanya juga kan lo yang ngasih berkas ke bokap. Kenapa harus gue sih? Nggak ah!” Langit terkekeh geli. “Lo itu ketemu ayah lo sendiri, Kasa, bukan orang lain. Wajar dong anak ketemu sama ayah sendiri, masa harus gue mulu yang pergi ke ruangan bokap lo? Yang salah lo, yang kena omel gue. Lo coba dulu, Sa, itung-itung ini itu masa pendekatan antara lo sama Om Raka. Lagi pula bokap lo itu nggak galak kok, nggak serem. Jadi kenapa mesti lo takut?” “Kalau gue yang ke sana pasti Papa langsung anjlok mood-nya. Nah lo nanti juga kena semprot kalau bokap gue udah bad mood. Udah lah, Lang, lo aja yang nganterin ke Papa. Nanti biaya tiket sama penginapan, gue yang bayarin deh. Itung-itung bonus lo udah merangkap jadi asisten pribadi gue, gimana? Lumayan lah, jatah uang tiket sama penginapan bisa buat makan atau beli oleh-oleh kan?” tawar Angkasa dengan menaik turunkan alisnya. Langit tersenyum miring lalu menjawab, “Gue suka nih bos kaya lo, Sa, kenapa nggak dari tadi lo nawarin gue kek gini? Sejak gue kerja sama lo, baru kali ini lo nawarin bonus buat gue. Lo hari ini kesambet setan apa, Sa?” “Gue baik lo sangka kesambet, gue pelit lo sangka kerasukan jin. Emang susah ya mau jadi manusia normal itu, heran gue.” “Makanya, Sa, kalau mau baik itu harus dari lahir seperti Aksara Langit. Lo wajib mencontoh temen lo yang satu ini,” jawab Langit dengan terkekeh pelan. Mata Angkasa melirik ponselnya, berdering nyaring. “Calon istri lo, Sa.” “Lo angkat aja deh, Lang, gue males denger suara dia. Bilang aja gue lagi sibuk gitu, nggak bisa di ganggu.” suruh Angkasa. Langit menggelengkan kepalanya, ia mengemasi berkas tersebut lalu meninggalkan Angkasa tanpa sepatah kata. “Eh k*****t lo, Lang. Gue suruh angkat telpon malah pergi,” “Halo, ada apa?” “Sayang, kamu di mana?” “Di apartemen, kenapa?” “Yang, cari martabak yuk. Tiba-tiba anak kamu pengen martabak manis.” “Lo kan bisa, Ag, cari sendiri. Mobil juga ada kan? Lo nggak ada duit? Gue transfer deh.” “Bukan masalah itu, Sayang. Aku pengen jalan-jalan sama kamu, emang kamu nggak pengen apa jalan-jalan sama anak kamu juga?” “Iya. Gue ke rumah lo! Bawel amat perasaan.” “Makasih, Sayang, aku tunggu ya.” Angkasa meraih jaket dan kunci mobilnya, kakiya terpaksa melangkah menuju rumah perempuan itu. Agni bisa saja melapor pada mamanya atau bahkan papanya jika dia tidak mau menuruti keinginan anaknya sendiri. Masalah tersebut jelas akan berbuntut panjang. “Om Tya, pengen sate. Beli sate, Om.” “Bara pengen sate apa? Om Tya beliin,” jawab laki-laki itu dengan tersenyum. “Aku ikut, Om. Bunda belum pulang.” Bara merentangkan tangannya meminta gendong pada laki-laki itu. ### Langit bertabur bintang, salah satu kenangan terindah bersama perempuan aroma mawar. Perempuan yang selalu memeluknya erat kala mimpi buruk itu datang. Bibirnya menyunggingkan senyuman saat wajah ayu itu melintas secara tak sengaja di ingatannya. Ah, pipinya pun ikut merona dengan bisikan cinta dari mbak aroma mawar itu. “Kasa, kamu denger aku nggak sih?” Angkasa menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. Agni memajukan bibinya, cemberut. “Lo mau martabak mana sih, Ag?” “Terserah.” Dasar perempuan, di tanya bukannya jawab yang spesifik malah terserah. Kan gue nggak tau selera lo, k*****t. Astagfirullah, Ya Allah. Ampuni dosa hamba. Angkasa berdehem. “Gue nggak tau tempat yang enak di mana, Ag, lo pengen yang mana sih? Dari tadi kita muter-muter doang di sini.” “Terserah, Sayang. Aku ngikut,” jawab Agni, pandangannya terpaku pada layar ponsel. Sumpah gue pengen lempar lo ke rawa-rawa, Ag, atau enggak ke penangkaran buaya. Nyebelin banget sumpah, emang perempuan kalau di ajak makan harus banget ya jawabannya terserah? “Nggak usah maki-maki, Kasa, semua yang kamu pilih aku pasti nurut kok. Anak kamu itu calon orang yang penurut.” Angkasa menganggukkan kepalanya, ia melihat penjual martabak di sebelah penjual sate. Ia menghentikan mobilnya di sana. Agni mengangkat kepalanya, menatap tempat itu jijik. “Sa, kok di sini sih? Kotor, Sa, anak kamu alergi tempat kotor kek gini.” “Bacot lo, Ag, tadi gue tanya di mana lo jawabnya terserah. Katanya nurut sama pilihan gue, ini pilihan gue. Kenapa lo alergi tempat kek gini? Makanan di sini enak-enak asal lo tau ya. Kalau lo pengen tempat lain, silakan cari sendiri. Gue nggak mau nganter,” jawab Angkasa dengan meninggalkan Agni. Agni bermuka masam, ia membuka pintu mobil setengah hati. Angkasa duduk di tikar yang sudah di sediakan. “Pak, martabak manis satu.” ucap Angkasa. Agni duduk di sebelahnya. “Katanya tempat ini kotor, anak lo jijik. Harusnya ya, Ag, kalau dia bener-bener anak gue dia nggak bakal milih tempat buat makan. Masih dalam perut aja udah nggak mirip sama sifat gue, apa lagi kalau udah lahir?” bisik Angkasa, ia tersenyum miring menatap wajah Agni yang memerah padam. ### “Om Tya, aku pengen sate yang itu!” teriak Bara, menunjuk pejual sate pinggi jalan. “Kamu yakin makan di sana, Ra?” Anak itu mengangguk semangat. Angkasa hanya menunggu Agni menghabiskan martabak tersebut, selera makannya tiba-tiba hilang begitu saja. Ia termenung, pikirannya kalut ke sana ke mari. “Sa, kamu nggak mau? Enak loh.” “Lo makan aja,gue nggak laper.” Agni tersenyum kecil. “Ini cukup kok kalau buat kita berdua, Sa. Aku tau kamu belum makan kan? Makan dong, Sa, nanti kamu sakit.” “Bukan urusan lo, Ag. Lo makan aja nggak usah banyak ngomong,” ketus Angkasa dengan bersedekap d**a. “Mama sakit, Sa, kalau lo sakit juga siapa yang bakal jagain beliau?” tanya Agni dengan nada rendah. Angkasa tersenyum miring. “Lo kalau mau perhatian sama gue lihat situasi dan kondisi, Ag, emang seharian ini gue nungguin mama? Lo jangan sok tau ya sama hidup gue! Mau lo bujuk gue sama cara apa pun, nggak bakal mempan.” “Sa, kamu kenapa sih nggak mau buka hati kamu sedikit aja buat aku? Ya setidaknya sama anak kita, aku sudah berusaha mendekati kamu dari cara paling halus tapi apa? Kamu kenapa sih, Sa, nggak pernah menghargai usaha aku sedikit pun? Emang aku sehina itu ya?” tanya Agni, air matanya telah membasahi pipi. Laki-laki itu terkekeh kecil lalu berkata, “Gue nggak pernah minta lo berjuang kan? Kenapa lo repot-repot berjuang? Buang waktu lo, Ag, di sini cuma lo yang kebaperan. Gue enggak! Lagi pula siapa sih yang nggak risih, terus-terusan di pantau terus? Lo kira gue nggak tau, selama ini lo nempel GPS di mobil gue?” Agni mengusap air matanya. “Emang kamu nggak minta aku untuk berjuang, tapi aku ingin berjuang untuk anak kita. Anak kita butuh kamu dan aku, rukun. Kita nggak boleh ribut terus, Sa, kasihan anak kita.” “Udah drama-nya? Lo denger baik-baik ya, Agni, gue bukan bapak dari bayi yang lo kandung! Gue cuma pelarian atas semua masalah lo,” bisik Angkasa. Ia beranjak dari duduknya, membayar pesanannya. Lalu, meninggalkan Agni sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN