Vigo menarik gas motornya yang belum dimasukkan gigi dengan kencang, membuat suara yang nyaring beradu dengan kenalpot. Salah seorang rivalnya melakukan hal yang sama, saat yang lain menyoraki mereka.
Para remaja tanggung berkumpul ditempat itu sambil terus berteriak tak tentu. Seorang cewek dengan celana jeans hitam, baju kotak-kotak panjang yang terbuka, mengacungkan tangannya lalu menurunkannya dengan cepat.
Kedua motor yang beradu itupun melaju dengan kencang, menggeliat dijalanan yang sepi tanpa hingar-bingar kendaraan lain.
Vigo semakin beringas menarik gasnya, bahkan seakan spidometernya berputar tak beraturan saking cepatnya. Ia mulai balapan untuk malam itu, semua karena banyak masalah yang terus terjadi. ditumpahkannya amarahnya dengan cara kebut-kebutan. Ia tak peduli meskipun ada yang terjadi nanti. Meski ia tahu ini semua salah, tapi dari pada ia terus pendam semuanya.
Vigo terus saling kejar-kejaran dengan pebalap baru yang mau mencoba kehebatannya, tapi meskipun baru, kelihaian rivalnya memang harus ia akui. Bahkan berulang kali rivalnya itu menyenggol-nyenggol bagian body moge Vigo untuk menjatuhkannya.
Tapi, jangan panggil Vigo jika hal itu tak bisa ia cegah. Saat rivalnya hendak melakukan senggol lagi, dengan mendadak Vigo merem, ahlasil ia tertinggal, tapi hal itu malah mengakibatkan rivalnya terguling kearah samping dan terjatuh.
Ia tersenyum sinis melihat hal itu saat telah berada jauh didepan. Bagaimana nungkin hal itu mempan padanya yang memang sudah memiliki jiwa kebut-kebutan dijalan.
Dulu hampir seminggu sekali ia menyambangi tempat seperti ini, tapi semenjak kecelakaan yang mengakibatkan motor dan dirinya rusak, semuanya disita sang Papa bahkan kemana-mana ia selalu diantar jemput oleh supir. Ah s**l. Apalagi supir itu sudah seperti CCTV yang mengawasinya dan Luna setiap saat.
Luna? Tiba-tiba nama itu terngiang lagi diotaknya. Tidak mungkin. Sudah hampir dua minggu ia tak menegur Luna, semua karena sikap egoisnya yang seperti anak-anak. Bersikap seakan ia paling benar diantara yang lain. Tapi, jujur ia tak pernah suka siapa pun ikut campur dalam urusan dirinya dan keluarganya, termasuk Luna.
Baru satu bulan cewek itu itu sudah seakan seorang malaikat yang membuat keajaiban. Bayangkan saja.
Memikirkan hal itu, Vigo hampir kehilangan konsentrasi padahal beberapa ratus meter lagi ia sampai dan menang, meskipun ia tak akan mendapatkan hadiah apa pun selain kepuasan diri sendiri.
Hilang semua rasa frustasinya jika sudah memegang stang motor itu, ya itu memang hidupnya, benar-benar hidupnya.
Dari jauh terdengar teriakan teman-temannya yang menyorakinya, suara itu sangat ia rindukan selama satu bulan. Dan... Cit.
Vigo merem dengan bangga, ia menang lagi dan disusul rivalnya sepuluh menit kemudian. Rivalnya langsung turun dengan wajah garang.
“Turun loe!” teriak rivalnya sambil menujuk wajah Vigo.
“Weh, santai bro. kenapa nih?” Vigo berusaha tenang menjaga amarahnya.
“Loe curang. Loe senagaja jatuhin gue kan?”
“Loe sendiri kali yang mau nyurangin gue.”
Teman-temannya berkerumun melihat adu mulut itu. rival Vigo terlihat tidak sabaran sementara Vigo memasang wajah tidak peduli, karena ia tahu teman-temannya pasti akan membelanya. Tapi, belum sempat pertengkaran itu berlanjut, sebuah suara sirine dari sisi belakang membuat kerumunan itu bingung dan..
Doorr!
Lagi. Kerumunan itu semakin riuh berlarian, saat polisi semakin dekat dengan mereka, termasuk Vigo. Ia berulang kali mencoba menyalakan motornya tapi tak berhasil, motornya seperti mati secara mendadak.
Dua serdadu polisi berdiri didekatnya dengan memasang wajah yang seolah disangarkan. Sangat s**l. Harinya tidak baik. Ia harus merasakan amarah polisi malam ini, bahkan akan ada marah part dua dari Papa dan Mama. Ah itu sudah pasti.
Vigo dan motornya digiring keats mobil polisi yang disana telah ada teman-temannya, termasuk rival yang mengajaknya beradu mulut tadi.
%%%
Plak!
Sang mama menampar wajah Vigo begitu keras hingga meninggalkan bekas merah disana. Vigo baru saja pulang dari kantor polisi bersama sang papa saat Mamanya dengana arah memuncak melakukan hal itu. Sudah berulang kali Vigo balapan dan sudah kesekian kali pula Vigo harus dijemput di kantor polisi. Hal itu terus ia lakukan seakan tak peduli dengan resiko yang ia dapatkan.
Mendapatkan tamparan dari sang mama ia hanya diam saja, tak mungkin ia marah karena itu kesalahannya. Apalagi wajah sang mama seperti orang kesurupan yang memerah. Saat sang mama hampir melakukan tamparan yang kedua kalinya, Papanya mencegah tangan itu.
“Sudah Ma, Vigo baru saja datang. Besok saja marahnya, lagian anak-anak sudah pada tidur.” Kata Papa Vigo menenangkan sang mama.
“Biarin Pa, biarin! Anak nakal kayak dia sudah seharusnya Mama pukul. Mau jadi apa dia, dikasih semuanya malah ngelunjak! Dikira duit yang dikasih dia harus dipakai buat keluyuran dan balapan tiap malam! Nggak ada berubahnya!” teriakan sang mama begitu kencang hingga membuat Chaca dan Luna hingga keluar kamar untuk mengintip. Chaca yang dari lantai atas terpaku diam, ah kakaknya berulah lagi, mencari masalah disaat yang tidak tepat. Smenatar Luna hanya bisa menutup mulutnya karena bingung, apa yang sebenarnya terjadi.
“Cukup Ma cukup. Kalau tetangga sampai denger bagaimana?”
Omongan sang papa yang menenangkan mamanya, seperti tak akan berhasil karena sang mama terus saja marah-marah dengan suara yang sengaja ditinggikan. Sedangkan Vigo terus saja diam tanpa tahu harus berbuat apa. Ini bukan kali pertama ia dimarahi, karena biasanya yang melakukan hal itu sang papa, tapi sekarang sepertinya tingkahnya sudah keterlaluan hingga membuat Mamanya habis kesabaran.
“Terus aja Mama marahin Igo. Igo tahu Igo salah, tapi ini semua cara terbaik untuk ngelupain semuanya.” Kata Vigo ikut marah.
“Kamu mau bilang dengan cara kamu bisa ngelupain malahamu? Nggak ada gunanya, Igo.”
“Sudahlah Papa sama Mama gak bakalan ngerti apa yang dimau Igo.”
Vigo berlalu menuju kamarnya, sambil berjalan penuh kekesalan.
Memuakkan! Semua diluar ekspektasinya, nasibnya sedang tidak bagus. Rasanya ia hampur saja bunuh diri dengan semua ini. Bahkan rasanya sindiran orang-orang masih teringang jelas ditelinganya, bagaimana mereka mengucikannya begitu nampak. Itu semua yang dibencinya dan mebuatnya menumpahkan dengan cara yang tidak baik.
Vigo meleparkan jaket hitam kulitnya kemeja belajar, lalu membuka kaos yang kini hanya tersisa celana jeans biru malam. Dijatuhkan tubuhnya diranjang dengan bertelanjang d**a, AC senagaja ia nyalakan sedingin mungkin agar memulihkan tubuhnya terasa seperti terbakar bara api panas.
Saat ia melakukan hal itu, pintu tiba-tiba saja dibukang seseorang. Luna menghampiri Vigo yang masih disana, tapi Vigo malah meleparkan bantal kearah wajah Luna. Vigo bukannya kesal, tapi ia menunggu waktu selama ini untuk Luna menegurnya lagi. Dan hal itu pasti terjadi.
“Vigo,” kata Luna pelan sambil duduk disisi ranjang.
Vigo tak merespon, ia malah memunggungi Luna.
“Aku tahu kamu marah, tapi aku mau minta maaf atas kejadian sore itu.” lanjut Luna.
“Bagus deh kalau loe sadar.” Vigo tetap saja memunggungi Luna, tanpa menoleh sedikitpun.
“Tapi, kamu nggak bisa terus seperti ini, Go. Kamu harus berubah, nggak seharusnya kamu bersikap kekanankan.”
“Apa, kekanakan?!” Vigo bangkit lalu menghadap Luna, ditatapnya Luna dengan tajam seakan mengatakan bahwa ia marah. “Apa yang kamu tahu tentang kekanakan? Apa kamu pikir aku melakukan hal ini untuk mendapatkan simpati dari semua orang? Kamu salah Luna.”
“Lalu jika tidak, kenapa kamu bertindak bodoh dengan membuat dirimu sendiri masuk kedalam masalah ini?”
Mendengar omongan Luna, Vigo malah diam. Benar apa yang dikatakan Luna, sikapnya masih kekakanakan yang tak tahu aturan. Berbuat semaunya agar semua orang menyadari kehadirannya. Tapi, ternyata semua itu menimbulkan masalah baru yang tak berkesudahan. Lihat saja betapa banyak musuhnya diluar sana, anak-anak jalanan yang menjadi rivalnya, anak-anak seusinya yang seiring berantem. Jadi takn heran, jika bekas-bekas babak belum masih tertinggal disudut bibir, pipi, pelipis dan samping alis mata.
Melihat Vigo terdiam Luna malah tersenyum. “Aku nggak mau kamu punya masalah lagi. Kamu kan masih punya hutang padaku.”
“Hutang?”
“Tiga permintaan jin Aladin, kamu masih ingatkan?”
Tiga permintaan? Vigo hampir saja lupa jika pernah mengatakan hal itu pada Luna, dan omongan ngasalknya itu ternyata ditanggapi serius sama Luna. Gadis itu ternayat tidak semudah itu melupakan omongan orang lain.
“Iya gue inget. Sekarang loe mau minta apa? Cepet selesaikan kelar urusan.”
“Eng... aku mau minta dua hal terlebih dahulu. Yang pertama aku mau kamu berhenti kebut-kebutan dan yang kedua aku mau kamu negur Angga disekolah besok dan seterusnya.”
“What?!” Vigo hampir tak percaya dengan apa yang diminta Luna, permintaan yang pertama mungkin akan ia pertimbangkan tapi permintaan yang kedua, nggak hal itu nggak mungkin terjadi. Bahkan ia sampai tak bisa membayangkan berjabat tangan dengan musuh bebuyutannya.
Angga, tiba-tiba wajah cowok itu terlintas dipikirannya dan seakan tersenyum penuh kemenangan. Senyuman yang sinis dan membuatnya hampir bergidik sendiri ketika membayangkannya.
“Hii. Loe pasti mau buat gue kaget kan, Lun? Enggak mungkin gue nyapa anak konyol itu setiap hari.” Lanjut Vigo semakin geli.
“Aku nggak buat kamu kaget Vigo, itu permintaanku yang harus kamu mau.”
“Oke-oke, permintaan pertama mungkin bisa gue pertimbangin, tapi yang kedua...”
“Ah atau kamu nggak tahu gimana caranya nyapa orang, karena selama ini kamu kan terlalu kaku. Gini-gini aku praktekin.” Luna kemudian berdiri didepan Vigo dan memerakan gerakan alay dengan tangan yang melambai. “Hallo Angga, selamat pagi. Setelah itu kamu ngedipin mata.”
Sumpah. Vigo benar-benar geli melihat gaya alay Luna yang dibuat menyerupai b*****g dipinggir jalan. Astaga, ternyata Luna bisa melakukan hal segila itu.
“Lun, loe gak bener-bener gue mau ngelakuinhal itu kan?” tanya Vigo memastikan bahwa yang dilihatnya dari Luna tidak akan benar-benar ia lakukan besok.
Tapi, yang dilakukan Luna hanyalah mengangguk. Tanda bahwa Vigo harus melakukan itu. Tidak! Ia ingin menolak, namun rasanya sangat sulit bahkan ada satu dirinya yang malah memaksanya ikut melakukan hal itu. Wah bagaimana ini? Membayangkan saja ia tak sanggung apalagi sampai melakukan. Bisa-bisa ludes semua usahanya untuk menjadi cowok tergarang tahun ini (?)
Vigo tiba-tiba menjentikkan jarinya, sepertinya ia memiliki sebuah ide bagus. “Atau gini aja, gue nyapa Angga seperti teman-teman yang lain setiap pagi. Ya? Yang pentingkan teguran sama dia.”
“Engga-enggak,” Luna tetap saja menggeleng, bukan itu yang dia mau untuk kedekatan Vigo dan Angga. “Kamu tetep harus ngelakuin apa yang aku mau. Ingetkan tiga permintaan jin Aladin? Itu baru yang kedua.”
Vigo sampai tak habis pikir apa sebenarnya yang dimau cewek itu, sampai ia begitu excitednya untuk membuat ia menegur Angga setiap hari. Ah, ia tak mungkin melakukan hal itu kan? Omongannya pada Luna tempo hari itu hanyalah omongan ngasal yang tak berarti apa-apa. Sepertinya tidak. Ia sudah bilang kalau itu janji yang harus ditepatinya, harus dan tidak bisa digugat lagi. Titik.
Setelah melihat ekspresi tidak mengenakan diwajah Vigo, Luna berjalan pelan menuju pintu keluar. Ia tak mau menggangu Vigo yang masih berpikir dengan apa yang akan terjadi besok. Bagaimana Vigo berpikir jika ditempatkan dalam keadaan yang tidak mungkin?