09. Perburuan di Mulai

1929 Kata
Cit. Suara rem berbunyi saat mobil itu berhenti tepat didepan rumah megah diujung kota. Si pengendara keluar dengan setelan jas abu-abu dan kacamata. Tapi, ia belum sempat mendorong gerbang saat dua orang penjaga rumah itu mencegah. “Siapa kamu? Dan ada urusan apa kemari?” tanya salah satu dari penjaga itu. “Aku ingin bertermu Madam.” “Apa sudah membuat janji.” “Biarkan aku masuk. Aku rekan bisnisnya.” Berulang kali ia mencoba masuk, tapi penjaga-penjaga itu tetap nggak mengijinkannya masuk menemui pemilik rumah. Tapi, tiba-tiba lonceng disisi kiri pintu gerbang berbunyi tiga kali dan terakhir mengencang, itu pertanda bahwa si tamu diperbolehkan masuk. Pintu gerbang dibuka, dan dengan langkah mantap ia masuk kedalam. Sudah lebih dari 15 tahun ia nggak menginjakkan kaki ditempat itu. semuanya nggak ada yang berubah sedikitpun. Patung-patung manusia dan hewan berjejer dipekarangan, semen-semen berlumut yang dibuat menyerupai pohon tumbang ikut membuat suasana rumah itu cukup menguras pikiran, tapi ada satu bagian yang membaut orang akan menarik diri untuk mendekat, sebuah gubuk kecil disamping rumah dengan puluhan kelopak bunga mawar putih dan lilin kecil membentuk lingkaran, serta patung dewa. Tempat sesembahan. Pelan, dibukanya pintu rumah itu. Dan nampak seorang wanita berbaju panjang hitan tengah menyilakan kakinya dilantai. “Setelah bertahun-tahun kau baru mengunjungi wanita tua ini, Candra.” Kata Madam tanpa membuka matanya, sementara ia tersenyum. Candra mendekati wanita itu lalu didepannya. “Dulu hampir setiap minggu aku ketempat ini, sekarang...” “Sekarang kau sibuk mengurus pasien-pasienmu. Kau sibuk dengan anak tampanmu yang mulai tumbuh dewasa. Apa aku benar?” “Kau tak pernah salah menduga, Madam. Kau tahu semua tentangku. Tapi, aku kesini mau meminta bantuan padamu.” “Apa yang kau butuhkan? Apa kau ingin memperkuat pisau perakmu?” Cadra menggeleng. “Aku ingin tahu dimana siluman yang tengah aku incar saat ini. Siapa dia dan dari ras apa?” “Siluman?” tanya Madam bingung dengan omongan Candra. Bagaimana siluman itu masih ada, sementara Madam tahu migrasi besar-besaran tengah terjadi. “Apa maksudmu siluman? Bukankah seharusnya mereka bermigrasi?” “Migrasi? Apa maksudmu?” tanya Candra bingung. “Dua minggu lalu aku melihat siluman kecil dengan bau alami dirumah sakit, dan salah satu membunuh mantan asistenku, Asta. Bagaimana mungkin mereka bermigrasi?” Madam berdiri dari tempatnya menuju sebuah lemari kayu dan mengambil sebuah peti kecil. Diletakkannya peti itu didepan Candra, lalu dibuka. Didalamnya ada sebuah gulungan kertas usang yang nggak lain perkamen perhitungan dan nujum. “Menurut tanggal langit, tepat satu bulan lalu pantulan planet biru bercincin menyebabkan gerhana selama satu jam. Saat dimana para siluman itu sangat kuat, mereka memutuskan untuk bermigrasi jauh, karena gerhana itu telah mereka tunggu selama hidup. Mereka tak mungkin meninggalkannya.” Candra semakin terheran-heran dengan apa yang diucapkan Madam. Ia nggak salah melihat gadis kusut itu adalah siluman, dari aroma tubuhnya saja ia nggak mungkin perlu menduga lagi. Tapi, saat Madam mengatakan bahwa kemungkinan saat ini para siluman bermigrasi, apa pikirannya salah? “Jadi apa aku salah?” “Tidak semua. Mari, biar kulihat.” Madam menutup matanya perlahan, dengan tangan yang berada diatas lutut seperti orang yang sedang Yoga. Dalam penglihatannya banyak hal terjadi. siluman kecil yang tertinggal, gadis siluman yang menyerang Asta dan semua hal yang berhubungan dengan siluman-siluman itu. Tubuh madam berguncang, penglihatannya hampir berhasil tapi saat ia mencapat titik dimana siluman kecil itu tinggal, tiba-tiba saja sekelab bayangan hitam menutupinya. Ada yang menjaganya, sesuatu tembok tebal. “Aku melihatnya,” lanjut madam. “Siluman kecil itu tersesat dan tertinggal dari rombongannya. Sementara gadis siluman yang menyerang Asta adaalah siluman yang menjemput siluman kecil itu. Tapi, sang siluman menolak.” “Jadi siluman itu berulah untuk tetap tinggal.” “Benar. Lagi pula kenapa kau masih mencari siluman-siluman itu, bukankah kau sudah tah menjadi pemburu lagi.” “Sampai sekarang dendam karena kematian Winda masih membekas dibenakku, Madam. Semenjak melihat siluman itu dendam itu terbuka kembali, dan aku berniat menghabisi siluman-siluman itu, bagaimana pun keadannya.” “Aku tak bisa membantu, tapi aku hanya ingin memberi saran padamu. Sekarang penjagaan siluman kecil itu ketat, bahkan aku sendiri sulit menemus tembok sihirnya.” Kata Madam. Tapi, ada saat dimana gerhana bulan merah semua siluman berubah wujud mereak dan membuat merekatak memiliki kekuatan apa pun. Saat itulah kau baru bisa menghabisinya. Hal itu terjadi 60 hari lagi. Bawa ia kegudang didekat hutan oak pada pukul sepuluh malam, biarkan ia terpapar sinar bulan langsung.” Candra hanya mengangguk-ngangguk mendengar omongan itu. “Saranmu akan aku lakukan, Madam.” Ada seulas senyum kini mengambang dibibir Candra. Semuanya kini akan menjadi mudah, dimuali dari siluman kecil itu, lalu semuanya akan dibunuhnya. Dendamnya akan terbalas. %%% Angin malam berhembus pelan, membumbung tinggi dilangit yang begitu cerah. Bintang nampak kerlap-kerlip dibarengi dengan cahaya bulan yang terlihat malu diujung langit. Sementara itu Luna masih diam membisu sambil duduk ditaman belakang rumah, pikirannya ikut terbang bersama angin. Saat itulah tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundak kanannya pelan. Luna menegok kebelakang dan mendapatkan wajah tangguh dengan seulas senyum manis yang mengambang tipis. “Papa, kenapa disini?” “Harusnya Papa yang tanya. Kenapa kamu disini?” “Mencari udara segar, Pa.” Tuan Aris ikut duduk dibangku bersama Luna. Dipandanginya wajah Luna yang lonjong kecil, diwajah itu banyak sekali hal yang sulit ia cera, kenapa siluman sekecil itu bisa tersesat ditempat ini? Rasanya tuan Aris ingin mengatakan semuanya, tapi ia masih ragu jika sampai Luna nggak menerimanya dan nggak pergi dengan takut. Tapi, jika nggak sekarang kapan lagi? “Luna,” “Iya, Pa?” “Beberapa hari ini Papa nggak lihat kamu ngobrol sama Igo, kenapa?” Ditanya Tuan Aris begitu, Luna menggigit bibir bawahnya sendiri. Memang benar kata Papa angkatnya, sudah seminggu lebih Vigo nggak menegurnya. Semua karena percek-cokan diruang tamu itu. Vigo seperti nggak menerima semua yang telah terjadi. Apalagi semenjak Vigo marah, Angga juga mendiamkannya. Dia nggak tahu kenapa manusia begitu perasan dengan hal seperti itu. “Sepertinya Vigo marah sama Luna, Pa.” kata Luna kemudian, Tuan Aris mengamati lagi mimik ragu diwajah Luna. “Marah kenapa?” “Nggak tahu, Pa. tapi, setelah Luna dekat dengan Angga dan mengatakan tentang persetujuan Luna dengan Mama, Vigo terlihat marah. Dan sudah seminggu Vigo nggak negur Luna.” Tuan Aris menarik nafas pelan. Ini benar-benar saatnya untuk mengatakan semuanya. Siluman kecil ini harus tahu tentang masalah dirinya, pemburu, dan kematian sahabatnya. Jika tidak semuanya akan bertambah runyam. “Luna, Papa mau bicara sesuatu yang penting padamu. Dan mungkin ini akan membuatmu sock.” “Tentang apa, Pa?” “Beberapa hari lalu Chaca bilang bahwa kamu siluman musang, dan dengan ekspresinya ia meyakinkan Papa dan Vigo.” Luna terdiam. memandang ekspresi Papa angkatnya yang terlihat serius dengan pembahasan siluman ini. Luna berpikir keras, apa sebenarnya yang disembunyian Papa angkatnya? Apa semua orang memang sudah mencurigainya sejak awal. “Papa tahu Chaca hanya menghayal, kan? Papa nggak bener-bener percaya, kan?” raut wajah Luna berubah, dia nampak gugup dan berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Tapi, Papa angkatnya hanya menggeleng. “Maksud, Papa?” tambahnya nampak bingung, tapi sungguh Luna benar-benar takut kalau Papa angkatnya akan berucap sesuatu yang membuatnya menundukkan kepala. “Sejak awal Papa sudah tahu Luna, sebelum Papa mengijinkan Mama Igo untuk membawamu kerumah ini. Karena disini kamu aman.” “Aman? Tunggu dulu... maksud Papa, Papa yang nyuruh Mama membawa Luna kerumah ini?” Tuan Aris mengangguk. “Bagaimana Papa bisa tahu kalau Luna ini...” katanya terpotong, dia belum kuat mengatakan siapa dirinya sebenarnya. “Kalau Luna siluman?” Tuan Aris menarik nafas berat, lalu menghembuskannya. Apa benar ini saatnya semua rahasianya terbongkar? Rahasia yang selama bertahun-tahun disembunyikannya. Entah apa yang dilakukan Luna setelah mengetahui tragedi berdarah itu. “Dua belas tahun lalu saat bulan sabit darah terjadi. Papa masih menjadi salah satu anggota pemburu siluman. Dengan beringas kami menyandera puluhan siluman, dan membunuh siapa pun yang menentang. Termasuk siluman musang putih.” Siluman musang putih? Mendengar nama itu jantung Luna berdebar sangat kencang, matanya mulai berkaca-kaca seperti hendak menangis. Bagaimana tidak. Siluman musang putih adalah ayah kandungnya yang terlah terbunuh dalam tragedi itu, dan pembunuh itu ternyata orang yang mengangkatnya sebagai anak. Enggak. Ini seperti sebuah mimpi buruk, nggak mungkin Tuan Aris yang begitu baik padanya ternyata... “Nggak, Pa! enggak!” seru Luna tiba-tiba, Tuan Aris menatap raut wajah Luna yang benar-benar berubah. “Papa bohong, kan?” Lagi-lagi Tuan Aris menggeleng. “Bagaiaman mungkin Papa bisa melakukan hal itu?” air mata Luna tumpah seketika. Tuan Aris tahu ia sangat salah baru mengucapkan hal itu. Kenapa nggak dari awal ia katakan bahwa ia pembunuh ayah kandung Luna? Seandainya hal itu ia katakan, mungkin semuanya nggak berlarut-larut seperti ini. “Papa tahu Papa salah Luna. Kamu berhak melakukan apa pun Papa.” Luna nggak bisa menahan tangisnya, air matanya terus saja keluar seperti nggak mampu terbendung lagi. Tiba-tiba tragedi dua belas tahun lalu melayang-layang diatas kepalanya sampai ia hampir saja terjatuh karena nggak kuat. Untung ada Tuan Aris yang menarik tubuh Luna ketempat semula. Tubuh Luna melemas, matanya terlihat sayu dan hampir saja menutup. Dia terlihat sock mendengar semuanya. Sumpah! Hal itu nggak pernah sedikitpun ia pikirkan selama tinggal dirumah keluarga itu. “Luna maafin Papa, tapi semua sudah terjadi.” dibelainya rambut Luna pelan, dengan penuh kasih sayang. Tuan Aris nggak mungkin mudah bertanggung jawab atas kematian ayah Luna, meskipun ia mengadopsi Luna seperti anaknya sendiri. Selain itu dari awal luna di bawahnya kerumah itu bukan karena rasa bersalahnya atas tragedi itu,tapi karena ada maksud lain.yakni untuk membuat anak-anaknya berubah. %%% Remang-remang mata Luna mulai terbuka pelan, ditatapnya langit-langit kamarnya yang masih terlihat terang. Lampu masih menyala dan bahkan seakan enggan untuk mati. Luna bangkit dari tidurnya dengan kepala yang sakit, persis seperti orang yang mabuk alkohol. Saat kepalanya masih sakit itulah, terlintas kejadian yang baru saja terjadi. suatu pembicaraan yang tak mungkin akan ia lupakan seumur hidupnya. Tapi, entah kenapa sedkitpun tak terlintas perasaan benci dibenaknya. Tidak untuk siapa pun. Meskipun dia tahu Tuan Aris lah yang membunuh ayah kandungnya. Entah apa yang kini dia rasakan yang pasti ada sesuatu yang lebih aneh. saat ini ditekuknya kakinya sambil merapatkan ketubuh, duduk diatas ranjangnya. Pelan, air matanya mengalir kepipi merah mudanya. Banda yang telah bertahun-tahun tak keluar, kini menjadi pelariannya untuk masalah ini. “Kamu sudah bangun, Luna?” Mama angkatnya berjalan mendekati Luna sambil membawa segelas air putih. “Kata Papa, kamu tadi pingsan ditaman belakang. Apa kamu sakit?” Luna menggeleng pelan. Nyonya Aris memberikan segelas air putih kepada Luna, sambil duduk disisi ranjang. Dibelainya rambut Luna sembari ditatapnya wajah yang lebih dari tiga minggu sudah bersamanya. Nyonya Aris sangat berharap dengan adanya Luna anak-anaknya berubah, tapi sampai sekarang belum ada hasinya. Bahkan Vigo jadi tambah nakal, sampai malam begini ia belum juga pulang. Nyonya Aris, ia tak boleh terlalu berharap dengan semua ini. Karena ia tahu Luna hanyalah gadis kecil yang tak jelas asal-usulnya. Meski berulang kali ia meyakinkan diri bahwa Luna adalah gadis baik, tapi siapa yang bisa menjamin semua itu. “Apa yang menganggu pikiranmu?” lanjut Nyonya Aris, setelah Luna selai meneguk setengah air digelas. “Tidak ada, ma. Tidak ada.” Kata Luna mencoba nampak tenang, meski rautnya tak bisa membohongi. “Bagaimana mungkin tidak ada, kalau kamu terlihat murung begini. ayo cerita sama Mama. Meskipun Mama bukan orang tua angkatmu, tapi alangkah baiknya kamu terbuka.” Luna kembali menggeleng, meskipun saat ini terasa sangat berat sekali. Tidak. Luna masih enggan untuk mengatakan apa yang telah terjadi, meski apa pun yang terjadi. Seperti ia selalu menutupinya dari banyak manusia. “Ma...” Luna menghamburkan diri lalu memeluk Mama angkatnya. Tangisnya kembali pecah dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Sulit sekali dia untuk tidak menangis, tapi tidak bisa. Apalagi saat Mama angkat membalas pelukan itu, rasanya ia benar-benar seperti bertemu dengan ibunya sendiri. Entah bagaimana kabar wanita yang telah melahirkannya itu, yang pasti dia sangat merindukannya. “Sudah tidak apa-apa, menangislah. Siapa tahu dengan menangis kamu bisa melupakan sedikit masalahmu.” “Ma, kenapa semuanya terasa sulit, kenapa Ma?” Luna terus merengek dipelukan Mama angkatnya. Sedangkan Mama angkatnya hanya bisa terus menenangkannya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN