Sore harinya Afif dan Ryan mendatangi pak Malik, tukang kebun di rumah yang mereka tempati. Untuk menuju rumah pak Malik, keduanya harus melewati kolam ikan, yang kelihatanya tidak terawat dan juga pohon pisang, serta pohon gandaria.
Setelah berjalan sekitar 10 menit, melewati jalan setapak, akhirnya mereka berdua, sampai juga di depan sebuah rumah yang terbuat dari kayu.
Afif mengetuk pintu rumah itu berulangkali, sambil mengucap salam. Namun, mereka tidak mendengar ada suara dari dalam rumah tersebut. Keduanya, baru saja akan membalikkan badan, ketika terdengar suara berat menegur dengan nada suara yang galak.
“Apa yang kalian lakukan di rumahku?” tegur pak Malik galak.
“Maaf, Pak! kami tidak bermaksud untuk lancang. Kedatangan kami ke rumah Bapak untuk menanyakan di mana alamat rumah pak RT, itu saja,” kata Ryan, dengan gugup.
"Sebenarnya pak Erte tadi sudah mengatakan kepada kami, di mana letak rumahnya. Hanya saja, kami tidak merasa yakin, karena kami pernah melalui tempat itu dan tidak terlihat adanya rumah," tambah Afif.
“Hmm! kalian dari sini lurus saja, nanti ketemu sungai ada pertigaan jalan, kalian belok kanan. Apabila kalian melihat rumah dengan dinding bata dan atap dari genteng berwarna biru, itulah rumah pak RT,” terang pak Malik. “Kalian tidak bisa menggunakan mobil ke sana, jalannya sempit dan rusak, kalau hujan.” tambah pak Malik lagi.
“Terima kasih, pak!” sahut Afif dan Ryan berbarengan.
Ryan dan Afif pun meneruskan perjalanan mereka menuju rumah pak RT menyusuri jalan setapak.
“Afif, sepertinya hujan akan segera turun, untung saja tadi kita sudah membuat persiapan dengan membawa perlengkapan untuk keperluan kita di jalan,” kata Ryan.
Afif mendongakkan kepalanya ke langit, awan senja yang tadinya masih berwarna jingga, sekarang sudah berubah warna menjadi hitam. “Benar yang kau katakan, Ryan. Mana jalanan di sini sepi sekali! sudah beberapa menit kita berjalan tidak menemukan satupun rumah.”
“Memang, sepertinya desa ini kekurangan penduduk, mungkin karena itulah jalannya tidak di aspal dan hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua saja,” sahut Ryan.
Mereka berdua pun mempercepat langkah, agar tidak kehujanan, sebelum sampai di tempat tujuan. Sayang sekali, titik-titik hujan mulai turun dan jalanan yang kiri kanannya di tumbuhi pepohonan yang tinggi dan lebat, membuat jalan yang mereka lalui tidak terlihat lagi. Di tambah dengan kabut yang mulai turun.
Afif mengajak Ryan untuk berhenti sebentar di bawah pohon gandaria, yang memiliki diameter pohon yang besar. Keduanya pun menurunkan ransel yang mereka bawa di punggung.
“Untung saja tadi, kita merasa perlu untuk membawa jas hujan dan senter,” kata Ryan.
“Afif, aku kok merasa dingin sekali dan bulu kudukku pun rasanya berdiri. Aku merasa, kalau ada yang mengawasi kita berdua. Namun, aku tidak tahu apakah itu,” kata Ryan.
“Jangan bercanda kamu Ryan! jangan bikin aku menjadi takut dong! sudah gelap, hujan dan kamu sekarang malah berkata seperti itu,” sahut Afif.
Tiba-tiba saja, keduanya mendengar seperti suara orang yang merintih. Ryan dan Afif pun hampir saja berlari karena ketakutan. Keduanya dengan cepat memakai jas hujan mereka dan kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah pak Erte.
Langkah kaki Ryan terasa berat, jarak pandang ke arah depan terbatas dan tanah yang dipjaknya tidak terlihat lagi.
Ryan tidak menyadari, kalau jalan yang diambilnya tidak sama dengan Afif, karena lampu senternya yang mati, membuat ia tidak bisa melihat apapun yang ada di depannya.
“Sial! sama saja bohong, kalau begini caranya. Kenapa aku tadi tidak survei jalanan dahulu, sekarang kalau sudah begini mau bagaiman lagi, kita terpaksa tetap meneruskan perjalanan kita. Mau putar balik lagi, rasanya sayang, sudah setengah jalan seperti ini,” kata Ryan.
Tidak mendapatkan jawaban dari temannya, ia pun membalikkan badannya dan tidak melihat ada Afif di belakangnya.
Ryan pun berteriak memanggil nama temannya itu, “Afif! di mana kamu? ayolah, kamu jangan bercanda di saat seperti ini!” Namun, tidak terdengar suara sahutan dari Afif.
Yang terdengar hanyalah suara petir yang sesekali menyambar di langit di dan menerangi jalan yang dilalui oleh Ryan. Tajuk pepohonan yang tebal, sedikit melindunginya dari air hujan yang turun. Namun, seiring semakin derasnya hujan yang turun, pakaiannya pun basah juga, meski ia sudah mengenakan jas hujan.
Dirinya pun memaksakan kakinya terus berjalan, dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
Ryan berjalan dengan menggunakan cahaya dari ponselnya. Ia tidak tahu lagi, apakah arah yang ditempuhnya sudah benar. Di tengah rasa frustrasinya, karena meski sudah berjalan jauh, ia belum juga menemukan adanya rumah.
Ia tidak berani berhenti di bawah pohon, dengan petir yang menyambar sesekali, bisa berbahaya untuk keselamatannya. Ia pun, juga tidak bisa menghubungi Afif, selain karena tidak ada sinyal. Juga paket data, yang telah dimatikannya.
“Mengapa jalan ini seakan tiada berujung? apakah aku yang telah salah dalam mengambil arah jalan?” tanya Ryan.
“Afif! di mana kamu?” teriak Ryan.
Tiba-tiba saja, dari arah belakang Ryan terdengar suara seperti orang yang tertawa. Ryan langsung saja berlari, ia tidak melihat ke belakangnya lagi. Akan tetapi, ia lupa jalanan licin dan tidak rata, sehingga kakinya pun terperosok masuk ke dalam lubang.
Suara tawa yang tadi didengarnya, semakin dekat saja. Ia hanya bisa diam, terduduk di tempatnya jatuh dengan jantung yang berdebar kencang. Ia tidak tahu, makhluk apakah yang akan dilihatnya nanti.
Samar-samar, hidung Ryan mencium aroma bau busuk. Ia pun memaksakan dirinya, untuk membuka mata. Ryan menahan jeritannya. Berdiri di hadapannya makhluk astral, yang menyerupai pria, dengan badan yang tinggi besar.
Makhluk itu hanya diam saja mengawasi Ryan, dengan matanya yang berwarna merah. Ryan tidak berani untuk memejamkan matanya, ia takut kalau makhluk itu akan melukai dirinya.
“Mengapa kau menatapku dengan tajam? apa mau mu dariku? apakah kau tidak bisa bersuara?” tanya Ryan, karena ia merasa penasaran dengan makhluk itu yang hanya melihatnya saja dengan matanya yang merah.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Ryan, makhluk itu justru menghilang begitu saja dan membuat Ryan merasa lega, sekaligus penasaran.
Ryan memijat kakinya yang terkilir, ia harus segera berjalan ke luar dari tempat ini. Baterai ponselnya hanya tinggal beberapa persen saja, sementara hari semakin tambah gelap. Ia tidak mau tersesat di hutan ini.
Diambilnya cabang pohon patah, yang kebetulan ada dekat dengan tempat dirinya duduk. Ia mencoba mengingat-ingat, jalan mana yang harus ditempuhnya.
“Bagaimana ini? semua terlihat sama. Aku harus memilih jalan yang mana?” tanya Ryan pada dirinya sendiri.
Dengan kaki yang pincang, Ryan pun berjalan lurus ke depan, sesekali ia berteriak memanggil nama Afif. Dirinya tidak takut kehausan, karena ada air hujan untuk menghilangkan dahaganya.
Sementara itu, Afif baru menyadari kalau Ryan tidak bersama dengannya lagi. Ketika ia merasa dirinya hanya berbicara seorang diri saja, tanpa mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
“Astaga Ryan kemana dirimu? apakah kau baik-baik saja,” gumam Afif. Ia lalu berteriak memanggil nama sahabatnya itu.
“Kenapa juga kita tadi berangkat ke rumah pak RT, sudah tahu tidak mengenal wilayah ini dan juga hari yang sudah mulai gelap, malah nekat tetap mencari rumah pak RT! gerutu Afif, sambil sesekali berteriak memanggil nama Ryan.
“Sialan, Ryan! Kau tidak boleh tersesat! Kau harus bisa menemukan jalan utama. Bukankah, kau sudah terbiasa berkemah dan menjelajah hutan? Kau harus bisa menggunakan instingmu, untuk bisa kembali ke jalan yang benar!” gumam Afif, yang tiada hentinya berteriak memanggil nama Ryan. Ia berharap mendengar suara sahutan dari teriakannya. Namun, hingga suaranya serak, tak terdengar olehnya sahutan dari Ryan
“Sial! Mana hujannya tidak berhenti, bagaimana suaraku dapat didengar oleh Ryan, begitu pula sebaliknya,” gerutu Afif.
Afif tidak berhenti berjalan, “Apakah Ryan justru sudah sampai di rumah pak RT? ataukah dia kembali ke rumah No. 13?” tanya Afif pelan.
Buku kuduk Afif berdiri, ia merasa ada yang mengamatinya. Ditolehkanya kepalanya ke belakang, tidak ada apapun juga. Ia juga melihat ke kiri dan kanannya, tetapi tidak ada sesuatupun yang mencurigakan.
Afif meningkatkan kewaspadaannya, ia tidak berpikir ada makhluk astral, tetapi ia lebih mengkhawatirkan, kalau yang mengamatinya adalah binatang buas.
Diambilnya ranting kayu yang kebetulan banyak terdapat di sepanjang jalan yang dilaluinya. Ia akan menggunakannya untuk mengusir binatang yang mengganggunya.
Jantung Afif, rasanya hendak melompat ke luar, ketika didengarnya suara berteriak dan bau busuk yang menusuk hidungnya.
“Keluarlah! aku tidak takut sama sekali denganmu!” teriak Afif dengan lantang dan berani menantang, apapun juga yang coba menakuti dirinya.
Afif merasakan sesuatu yang sedingin es menyentuh kepalanya. Namun, ia tidak berpikir itu hal yang aneh, karena bisa saja angin yang berhembus dan air hujan lah yang tadi dirasakannya. Namun, Afif menjadi terdiam dan menghentikan langkahnya. Ketika ia merasakan ada yang berbau anyir menetes di atas kepalanya dan mengalir ke wajahnya.
Ia menyesali telah menantang apapun, yang tadi ia rasa mengawasinya. Namun, ia tidak boleh memperlihatkan rasa takutnya dan membuat, sesuatu yang belum diketahuinya merasa senang, karena sudah berhasil membuat ia menjadi ketakutan.
“Argh! Afif berteriak dengan kencang. Matanya tidak bisa berkedip melihat apa yang berdiri di depannya. Kakinya seakan terpaku, tidak mau diajak berlari. Mulut Afif terbuka, melihat betapa seramnya makhluk yang berdiri di hadapannya ini.