Sharga Aezhar Mandala.
Ya ... itulah namanya. Seorang pria tampan bersneli, yang begitu mencintai pekerjaannya, sebagai Dokter Bedah Toraks dan Kardiovaskular. Berkat kepintaran, dan tangan terampilnya, tak sedikit nyawa yang berhasil diselamatkan olehnya. Terlebih, para pasien dengan penyakit jantung bawaan, transplantasi jantung, penyakit katup jantung, tamponade jantung, hingga pasien dengan infark miokard akut yang membutuhkan tindakan operasi jantung. Dan itu, menjadi kebanggaan tersendiri baginya, karena telah berhasil membantu para pasien melewati masa-masa kritis. Apalagi, ketika mendengar embusan napas lega, disertai tangis haru dari keluarga pasien, saat mengetahui operasi telah berjalan dengan lancar. Rasanya, seperti mendapat semangat baru, usai berperang dengan waktu, dan nyawa seseorang di atas meja operasi.
*** (Tamponade jantung adalah kondisi gawat darurat, karena terganggunya fungsi jantung dalam memompa darah akibat adanya tekanan yang kuat pada jantung).
*** (Infark miokard akut, adalah serangan jantung mendadak yang terjadi saat aliran darah ke arteri koroner jantung mengalami penyempitan. Kedua hal ini akan membuat otot jantung kekurangan oksigen dan mengalami kerusakan).
Bidang pekerjaan yang dipilih oleh Sharga memang sangat beresiko besar, dan pastinya menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Tak jarang, rasa lelah tiba-tiba menggelayuti tubuhnya di waktu yang tidak disangka-sangka. Belum lagi, jika ada panggilan darurat di tengah malam, yang mengharuskan dia kembali ke rumah sakit untuk menangani pasien kritis. Walau baru saja memejamkan mata, mau tidak mau Sharga tetap harus pergi, dan kembali ke rumah sakit, demi memenuhi panggilannya. Itu pun berlaku ketika dirinya sedang menghabiskan waktu libur dengan sang kekasih. Jika ada panggilan darurat, Sharga sangat sulit untuk bersikap acuh, dan akhirnya pergi untuk memenuhi panggilan tersebut, dan meninggalkan wanitanya sendirian.
Namun kali ini berbeda. Sejak perdebatannya dengan sang Ayah beberapa jam lalu, Sharga yang tengah duduk di atas kursi sebuah restaurant, memilih mengabaikan panggilan masuk pada ponselnya yang sedari tadi bergetar tanpa henti. Hatinya masih belum benar-benar tenang. Kesal … kecewa, dan rasa sakit hati, masih menggelayuti perasaannya. Apalagi, ketika melihat wanita yang kini tengah duduk di hadapannya, menikmati hidangan makan malam, sembari tersenyum begitu lebar, karena bahagia bisa bertemu dengan Sharga.
‘Ya Tuhan … kenapa semua ini harus terjadi? Arista, adalah wanita yang menemaniku selama ini, melewati pahit manisnya kehidupan selama lebih dari lima tahun. Di setiap doa yang aku panjatkan, aku meminta yang terbaik untuk masa depan bersama Arista. Tapi, kenapa harus ada perjodohan seperti ini?’ Monolog Sharga dalam hati.
Satu desahan panjang, kembali terlepas dari mulut Sharga. Pria yang tengah mengaduk-aduk makanan di hadapannya itu semakin tidak berselera makan, ketika perkataan Sangaji terus terngiang-ngiang dalam indera pendengaran. Ditambah, pesan singkat yang dikirim oleh sang Ayah, berikut sebuah lampiran surat permintaan pencabutan SIP atas nama dirinya. Membuat kepalanya semakin berdenyut nyeri.
Menyadari ada yang janggal dari helaan napas sang kekasih, Arista pun menghentikan kegiatan makannya, menaruh kembali pisau steak dan garpu di atas piring, lalu meraih tangan lelaki itu, dan menggenggamnya.
Sharga yang sedang melamun, seketika terperanjat, lalu menatap pada Arista dengan napas tertahan.
“Sayang!” tegur pria itu tanpa sadar.
Melihat sikap sang kekasih yang semakin aneh, rasa penasaran Arista semakin besar. Ia tahu, ada yang sedang dipikirkan oleh Sharga. Entah apa itu.
“Aku perhatiin, daritadi kamu gak fokus, dan lebih banyak ngelamun. Ada apa, sih, By? Ada masalah di rumah sakit? Atau … ada pasien yang meninggal?” tanya Arista, menebak-nebak.
Sharga menggelengkan kepala. “Gak ada apa-apa, kok, Yang,” jawabnya. Ia benar-benar belum siap untuk menjelaskan segalanya pada Arista. Terlebih, soal perjodohan gila itu. Sharga takut, jika kekasihnya mengetahui rencana ayahnya, justru membuat wanita yang sangat dicintainya itu terluka.
Hingga pada akhirnya, mau tidak mau Sharga harus berbohong demi menutupi apa yang sedang terjadi. Dia tidak ingin merusak hubungan yang telah dibangun bersama Arista selama ini. Dia tidak ingin menghancurkan semua rencana masa depan yang sudah mereka rancang bersama-sama. Dan Sharga benar-benar tidak ingin melepas wanita yang sangat dicintainya itu, untuk menikah dengan wanita tidak jelas pilihan sang Ayah.
Namun, jika dirinya membangkang … menentang keputusan Sangaji, bagaimana nasib karirnya di dunia kedokteran? Sharga benar-benar tidak rela, jika harus kehilangan segalanya. Karena bagaimanapun, posisi yang ditempatinya saat ini, adalah cita-cita Sharga sejak dulu.
“Aku cuma kecapekan aja, kok.” Sharga berdalih.
“Yakin?” tanya Arista, penuh selidik.
Karena tidak ingin kekasihnya semakin curiga, Sharga, pun, terpaksa menampilkan seulas senyum hangat dari kedua sudut bibirnya, kemudian mengacak puncak kepala wanita di hadapannya. “Aku yakin. Mana mungkin aku bohong sama kamu,” jawabnya, berbohong.
Walau Arista masih belum merasa puas dengan jawaban Sharga, tetapi wanita itu memilih menyudahi pembahasan tersebut, dengan embusan napas panjang. Dia berusaha mempercayai perkataan kekasihnya, karena Arista tahu, Sharga bukanlah tipikal lelaki buaya seperti pria-pria lain di luaran sana, walau dia memiliki segalanya.
Lagipula, lelaki super sibuk seperti Sharga, mana mungkin punya waktu untuk mendekati wanita lain. Toh, yang ada dipikirannya hanya perihal pemulihan pasien-pasiennya di rumah sakit. Itu yang dipikirkan oleh Arista.
“By, tadi sore, salah satu pelanggaan* aku datang ke butik. Awalnya, sih, aku pikir dia mau ubah model baju pengantin yang sebelumnya udah aku rancang, ternyata … diluar dugaan. Dia datang ke butik cuma buat ngabarin, kalau pernikahan dia batal, karena calon suaminya malah ngehamilin cewek lain yang baru dikenalnya beberapa bulan. Aku sampe syok, By, dengernya.” Arista mencoba mengalihkan pembicaraan mereka dengan menceritakan kejadian tak terduga yang dia alami sore tadi, di butiknya.
“Oh, ya?”
Arista mengangguk. “Hmm.”
“Berarti, cewek itu termasuk beruntung, karena dia mengetahui kebusukan calon suaminya, jauh sebelum mereka menikah. Bayangin aja, kalau sampai cewek itu tahu, si calon suaminya menghamili wanita lain, setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri, sakit hatinya pasti jauh lebih parah lagi,” ujar Sharga, berpendapat.
“Nah, iya.” Arista pun mulai menceritakan dari awal, apa yang terjadi pada calon pengantin tersebut, pada Sharga. Dimulai saat pelanggaannya* itu datang ke butik sambil menangis tersedu-sedu, hingga pihak keluarga yang datang untuk menjemputnya.
Dan, ya … seperti biasa. Lelaki itu kembali menjadi pendengar setia Arista, ketika wanita itu mulai bercerita. Tatapan matanya begitu dalam, seakan tidak ingin melewatkan waktu sedetik, pun, untuk memandangi wajah cantik nan lembut sang kekasih. Sharga bahkan berhasil melupakan masalahnya, hanya dengan mendengarkan celotehan sang kekasih.
Sementara di tempat lain, seorang gadis cantik berwajah pucat yang masih tetap terjaga di sebuah ruang perawatan, nampak tengah berbaring, menatap langit-langit kamar, sembari mengembuskan napas panjang.
Sesekali, gadis itu menoleh ke sisi kiri dan kanan, melihat dua orang yang sangat dicintainya, tengah tertidur pulas di atas sofa yang terlihat tidak begitu nyaman. Ah … kenapa rasanya sakit sekali, Tuhan? Apalagi, ketika sebuah kenyataan tiba-tiba menampar gadis itu. Ia pun memejamkan matanya sesaat, hingga setetes air mata tiba-tiba saja terjatuh dari kedua sisi netra indahnya.
‘Sejak dulu, aku tidak pernah lelah untuk berdoa, memohon, dan meminta. Ikhlas pun sudah menjadi hal yang biasa. Tapi, kenapa selalu ada satu rasa mengganjal, setiap kali kenyataan menamparku?’
‘Tuhan, jika ternyata jodohku dengan kematian lebih dulu menghampiri, dibanding jodohku dengan seseorang, izinkan aku mengukirkan senyum indah penuh keikhlasan dari kedua sudut bibir Bang Kiki dan Bunda, sebelum aku kembali kepada-Mu.’
Gadis cantik itu semakin rapat memejamkan netranya, ketika air mata justru semakin deras berjatuhan di kedua sisi wajah.
‘Jika tenyata memang aku belum mampu membahagiakan orang-orang yang aku sayang di dunia ini, maka izinkan aku memohon kebahagiaan untuk mereka melalui doa-doa yang setiap harinya selalu aku panjatkan. Agar suatu saat nanti, ketika aku sudah pergi, Tuhan mengabulkan doaku, dan akhirnya mereka lupa, bagaimana caranya bersedih, karena kehilangan aku.’
***