Hanya Senja-Lembar Keenam

1127 Kata
06:53 Waktu Indonesia bagian Barat.   [Papa] Papa : Mengenai perbincangan kita semalam … jika sampai pukul tujuh nanti, Papa masih belum mendapat jawaban apapun dari kamu, hari ini juga, surat permohonan pencabutan SIP milikmu akan segera diajukan. Pikirkan baik-baik! Karena yang saat ini sedang dipertaruhkan, adalah karir dan masa depanmu. Usai membaca sederet pesan masuk dari sang Ayah, Sharga, yang tengah berbaring di atas tempat tidur ruang istirahat dokter, hendak memejamkan mata untuk beberapa menit saja, seketika mengembuskan napas panjang. Dia tak habis pikir, rupanya, kegilaan ini benar-benar berlanjut. Sharga kira, jika sudah berganti hari, semuanya pun selesai.  Ternyata … tidak! Sharga harus kembali menahan rasa sesak dalam dadanya. Belum lagi, kepala yang terus berdenyut nyeri, ketika pikirannya semakin bertarung dengan hati yang tak henti-hentinya menolak hal gila ini. [Papa] Anda : Kenapa Papa harus berbuat sejauh ini, sih, Pa? Papa : Waktumu hanya tersisa lima menit. Pikirkan baik-baik, dan segera putuskan pilihanmu! Anda : Pa … Sharga punya hak untuk menentukan masa depan Sharga! Sharga ingin bahagia dengan wanita pilihan Sharga sendiri. Tolong, hargai keputusan Sharga! Papa : Jadi, keputusan yang kamu ambil … kamu menolak perjodohan ini, dan setuju untuk pengajuan pencabutan SIP? Anda : PA!! Semua ini gak ada sangkut pautnya dengan karir Sharga di dunia kedokteran. Tolong, lah, Pa … jangan mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan! Papa : Waktu kamu sudah habis! Papa : Jadi, apa keputusanmu? Anda : Sharga bener-bener kecewa sama sikap Papa. Papa : Loh, kamu hanya tinggal memilih. Papa tidak memberatkan. Semua keputusan, ada di tangan kamu. Jika kamu menolak perjodohan ini, maka karir kamu di dunia kedokteran, selesai. Tapi, kalau kamu menerima perjodohan ini, tidak hanya karir yang bisa kamu pertahankan, Papa, pun, akan memberikan lima puluh persen saham milik Papa di Rumah Sakit Jidala, untuk kamu. Sesimpel itu permintaan Papa. Membaca pesan terakhir dari sang ayah, membuat Sharga yang terlihat semakin frustasi, mengacak rambutnya dengan kasar. Dalam posisi duduk di tepi ranjang susun, pria tampan itu mengepalkan kedua tangannya sangat erat, berusaha menahan amarah yang semakin memuncak. Sejak kecil, Sharga bukanlah tipe anak pembangkang. Apapun yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya, pasti akan ia laksanakan. Apapun yang orang tuanya inginkan, pasti akan ia turuti, selama itu masih dalam tahap wajar. Karena dia yakin, semua yang dilakukan oleh Ayah dan Ibunya, pasti demi kebaikan diri Sharga. Terlebih sang ayah. Lelaki yang paling ia hormati, dan sangat disegani. Akan tetapi, untuk kali ini, Sharga benar-benar dilema dengan permintaan orang tuanya. Dia dihadapkan pada dua pilihan yang cukup berat oleh sang ayah. Pria itu dituntut untuk memilih, antara karirnya di dunia kedokteran, atau cintanya pada Arista. Jika Sharga memilih karir, maka dia harus benar-benar ikhlas melepas wanita yang sangat dicintainya, dan mengubur semua mimpi-mimpi indah bersama Arista, untuk menikahi perempuan pilihan sang ayah. Namun, jika Sharga memilih kekasihnya, karir yang selama ini ia idam-idamkan, bidang pekerjaan yang selama ini digelutinya dengan sungguh-sungguh, harus ia lepaskan demi kebahagiaannya bersama Arista. Ya … serumit itu pilihan hidup yang harus dipilih oleh Sharga. Karena sebagaimanapun ia menolak, jika Sangaji sudah memutuskan sesuatu, tak akan ada yang bisa membantah, atau mengubahnya. Termasuk sang ibu. “Gila! Gila! Gila! Gila! Semua ini benar-benar gila!” *** “Assalamualaikum.” Sapaan dari seorang lelaki paruh baya, kala pintu ruang perawatan terbuka, seketika mengalihkan perhatian Senja dan Adya yang tengah bersiap, memasukkan barang bawaannya ke dalam sebuah tas besar. Keduanya saling melempar tatap satu sama lain, sebelum akhirnya menjawab secara bersamaan, “waalaikum salam.” Mendengar hal itu, Alfarezi, yang tengah berdiri di balkon kamar perawatan, menerima panggilan dari Direktur tempatnya bekerja, pun, ikut menoleh, menatap pada lelaki bersetelan jas lengkap, yang kini sudah berdiri di hadapan ibu dan adiknya. Tatapan mata pria tampan itu begitu tajam, diikuti suara desahan panjang, ketika teringat perkataan ibunya semalam. Karena khawatir sesuatu terjadi pada Senja, Alfarezi segera menyudahi panggilan pentingnya dengan menyetujui perintah sang Direktur, lalu bergegas masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendampingi Ibu dan adiknya. “Bagaimana kondisi Senja hari ini? Sudah baikan?” tanya Sangaji pada Adya, tetapi matanya justru menatap pada Senja. “Alhamdulillah, Mas, sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dokter yang menangani Senja, pun, sudah mengizinkan pulang hari ini,” jawab Adya, dengan ramah. “Alhamdulillah. Syukurlah kalau keadaannya sudah lebih baik. Saya sangat senang mendengarnya,” balas Sangaji. Pria paruh baya itu berjalan mendekati Senja yang tengah berdiri mematung di samping brankar, menggenggam kedua tangannya dengan lembut, persis, seperti yang biasa almarhum Haris lakukan, ketika Senja berhasil melewati masa-masa kritis di rumah sakit. Begitu pula tatapan sendu yang diperlikatkan oleh Sangaji, saat menatap mata sayu gadis cantik di hadapannya. “Ternyata … Haris tidak berbohong. Dia benar-benar mempunyai seorang putri yang sangat cantik, dengan netra yang begitu indah,” bisik Sangaji, lebih kepada dirinya sendiri. Senja yang cukup terkesiap mendengar perkataan Sangaji, hanya bisa tertegun di tempatnya. Karena entah kenapa, yang dia lihat dari lelaki paruh baya di hadapannya itu, bukan ‘Om Aji’ yang pernah ia temui lima tahun lalu. Melainkan, sosok sang ayah yang telah tiada tengah tersenyum hangat padanya. “O-Om ….” “Om tahu, kamu lelah menjalani semua ini. Tapi, Om amat sangat berterima kasih sama kamu, karena kamu bisa sekuat ini, dan tidak pernah menyerah untuk tetap hidup.” Perlahan, Sangaji melepas genggaman tangannya dari jari jemari Senja, kemudian membelai puncak kepala gadis itu dengan lembut, seperti seorang Ayah yang tengah memberikan kekuatan pada putrinya. ‘Ternyata selama ini, keluargamu berada di sekitarku, Ris. Padahal, aku sudah mencari mereka kesetiap penjuru kota kelahiran kita, sejak lima tahun yang lalu. Tapi ternyata, berkat benang merah putrimu dan putraku, lah, akhirnya mereka bisa berdiri di hadapanku, saat ini.' Monolog Sangaji dalam hati.  Namun, hanya berselang beberapa menit, seorang pria tampan dengan raut wajah kelelahan, mengenakan seragam scrub berwarna navy, baru saja berjalan masuk ke dalam ruang tersebut, sembari mengalungkan nametag pada lehernya. Pria itu melirik pada Sangaji, yang juga tengah menoleh, menatap ke arahnya, kemudian berdiri, tepat di belakang pria paruh baya itu. Untuk sesaat, pandangannya beradu dengan tatapan tajam Alfarezi, yang sedang menatap penuh selidik padanya, kemudian beralih menatap pada Senja–gadis cantik bertubuh pendek, yang perlahan berjalan mundur, untuk bersembunyi di balik tubuh kekar sang kakak–kemudian menundukkan kepalanya satu kali, memberi hormat. “Perkenalkan … saya, Sharga Aezhar Mandala, dokter bedah toraks dan kardiovaskular di Rumah Sakit Jidala, putra pertama dari keluarga Mandala.” Walau tidak begitu jelas, senyuman hangat yang terulas sangat tipis kembali terlihat dari kedua sudut bibir Sangaji. Pria paruh baya yang terlihat sangat senang karena kehadiran Sharga, mulai berjalan menghampiri putranya, kemudian merangkul pundak Sharga, sembari mengusap bahu lelaki itu. “Dia … adalah putra pertama Om, lelaki yang sudah dijodohkan dengan Senja sejak delapan tahun yang lalu, dan akan menikahi Senja dalam waktu dekat ini.” *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN