Dalam ruang Komisaris rumah sakit Jidala, pria tampan yang masih mengenakan setelan seragam scrub berwarna hijau tosca, tengah berdiri berkacak pinggang, membuang muka ke sisi lain, usai mendengar permintaan tegas, tak terbantahkan yang baru saja dikatakan oleh sang ayah—lelaki paruh baya yang sedang duduk di kursi kerja, dengan papan nama bertulis ‘Sangaji Mandala’ bertengger di atas sana, menghias meja kaca besar tersebut.
“Papa akan segera mengurus semua berkas penting untuk pendaftaran pernikahan kalian di Kantor Urusan Agama. Jika semuanya sudah selesai, tidak perlu menunggu lama lagi, kita adakan pesta pernikahan kecil-kecilan, mengingat kondisi kesehatan calon istrimu masih belum stabil, karena sedang pemulihan,” cetus Sangaji, tegas.
“Pa! Hidup Sharga … Sharga yang atur. Begitu juga perihal pendamping hidup. Ini bukan jaman Siti Nurbaya, Pa. Sharga punya hak untuk memilih, siapa yang akan menjadi istri Sharga, kelak. Papa gak bisa seenaknya menentukan secara sepihak kaya gini!” sahut Sharga. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha menahan diri, agar intonasi saat berbicara dengan pria yang paling diseganinya itu, tetap rendah dan tenang.
“Keputusan Papa sudah bulat, dan tidak dapat dirubah lagi. Sebagaimanapun kamu berontak, dan menolak perjodohan ini, kamu tetap akan menikah dengan gadis pilihan Papa, anak dari Om Haris,” balas Sangaji, lugas.
“Pa! Papa jangan egois kaya gini, dong. Apa harus, Papa mengorbankan perasaan Sharga, hanya karena Papa sudah berjanji dengan almarhum Om Haris? Sharga laki-laki. Sharga punya jalan sendiri. Menikah itu bukan perkara mudah, Pa! Apalagi, harus tinggal serumah dengan wanita asing yang belum jelas, dan gak pernah Sharga temui. Sharga gak mau mempertaruhkan masa depan Sharga! Papa juga tahu, kan, Sharga paling gak suka diatur kaya gini!” Pria tampan itu masih berusaha menolak permintaan Sangaji, dengan tenang dan tetap berpikir rasional.
“Dan kamu juga tahu, kan, Papa paling tidak suka dibantah? Jadi, apapun yang sudah Papa putuskan, kamu sudah tidak bisa melawan lagi, Sharga! Termasuk Mama-mu.”
“Sharga anggap, Papa tidak pernah mengatakan hal ini sama Sharga. Maaf, untuk kali ini, Sharga benar-benar gak bisa ikutin, apa maunya Papa.”
“Jika kamu menolak perjodohan ini, Papa tidak akan segan-segan mengajukan pencabutan surat izin praktekmu, dan memecat kamu dari rumah sakit ini, secara tidak hormat! Papa juga akan mengambil kembali semua fasilitas hidup yang sudah Papa berikan, dan membekukan black card yang saat ini sedang kamu gunakan.” Akhirnya, mau tidak mau, Sangaji melayangkan ancaman untuk putranya, karena dia tahu, Sharga tidak akan bisa berkutik lagi, jika sudah menyangkut karirnya di dunia kedokteran.
“Jangan becanda, Pa! Persoalan ini tidak ada sangkut pautnya dengan karir Sharga.”
“Papa sedang tidak bercanda, dan tidak main-main, Sharga!”
Karena emosinya mulai tersulut, Sharga yang terus berusaha untuk tidak ingin lepas kendali, memilih memutar tubuhnya, dan pergi meninggalkan ruangan tersebut, tanpa sepatah katapun. Wajahnya begitu memerah, menahan amarah yang semakin memuncak.
“Kalau aku nolak perjodohan, surat izin praktek Dokter dicabut? Ha! Yang bener aja! Ide gila Papa udah gak masuk akal!” gerutunya, sembari mendengkus kesal.
Sementara di tempat lain, Adya Maharani, seorang wanita paruh baya berhijab coklat, mengenakan gamis berwarna selaras, tengah duduk di atas sofa sebuah ruang perawatan, sembari mengupas satu buah apel merah kesukaan putrinya. Ia potong buah tersebut dalam ukuran kecil memanjang, kemudian menatanya di atas piring kecil. Setelah selesai, wanita paruh itu mulai menyuapi putri, dan putranya secara bergantian, sambil bercerita, “tadi, Bunda ngobrol banyak, loh, sama Om Aji. Sahabat Ayah kalian, yang sering almarhum ceritakan, dulu.”
Baik Senja, maupun Alfarezi, hanya melirik sesaat pada sang ibu, sebelum akhirnya kembali pada kegiatan mereka masing-masing.
“Terus?” tanya Alfarezi, penasaran.
“Ternyata, beliau pemilik rumah sakit ini, loh. Dan anaknya, Dokter bedah toraks dan kardiovaskular terbaik di rumah sakit ini,” jawab Adya. Sepertinya, wanita paruh baya itu masih bersiap-siap, melakukan pemanasan, sebelum memulai pembahasan yang jauh lebih penting lagi.
“Oooh.”
Hanya itu tanggapan dari kakak beradik yang tengah benar-benar sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, apa yang dikatakan oleh sang ibu, hanya separuh yang benar-benar didengar oleh mereka. Terlebih Senja. Gadis cantik berpakaian pasien rumah sakit itu, nampak serius menggambar pada drawing tablet untuk bab terbaru komik online-nya. Mewarnai detail gambar yang sudah dibuat, lalu menyisipkan beberapa buah balon kata untuk dialog. Dia benar-benar sangat sibuk saat ini. Apalagi, setelah menerima pesan singkat dari Editor Akuisisi yang bertanggung jawab atas pekerjaannya tersebut.
Sedangkan Alfarezi, pria tampan berkacamata itu nampak sedang terfokus pada layar laptopnya, memeriksa beberapa laporan dari para bawahannya, sembari memijit kening yang terasa berdenyut nyeri. Terlebih, saat ia mulai membaca badan laporan permasalahan dengan point-point seperti: pemulihan lingkungan, reboisasi, hingga penebaran bibit ikan di laut, yang masih belum mendapat persetujuan dari pimpinan perusahaan, tetapi sudah ditanyakan oleh pengurus desa sekitar. Rasanya … ah, sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata.
“Bunda pernah denger dari beberapa penceramah, mereka mengatakan … jika dua orang telah mengikrarkan sebuah janji, namun salah satu dari dua orang itu dipanggil Tuhan terlebih dahulu, maka satu orang lainnya yang masih hidup, harus menepati janji yang sudah mereka buat. Karena janji sifatnya mengikat, jadi … janji itu harus ditepati dan dipenuhi,” ujar Adya, mulai akan membahas topik utama pembicaraan malam ini.
Namun sayang, dua buah hatinya yang terlihat begitu sibuk, lagi-lagi hanya menjawab celotehannya dengan gumaman, tanpa ingin tahu, apa yang sebenarnya akan Adya ucapkan saat ini.
Wanita paruh baya itu menghela napas dalam, sembari menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menatap langit-langit kamar perawatan, mengingat percakapannya dengan sahabat sang suami, beberapa saat lalu. Ia yakin, walau kedua anaknya sedang sangat serius, mereka pasti masih mendengar, apa yang sedang dibicarakannya.
“Kalian tahu, kan, kalau Ayah kalian sahabatan sama Om Aji sejak mereka kecil?” Adya menjeda ucapannya, mencoba meyakinkan diri, jika semuanya akan baik-baik saja. Ia kuatkan tekadnya, hingga akhirnya berani melanjutkan perkataannya. “Ternyata, Ayah kalian dan Om Aji membuat sebuah perjanjian, untuk menikahkan Sharga, putranya, dengan Senja, setelah usia keduanya benar-benar matang untuk berumah tangga.”
Awalnya, kakak beradik itu hanya menanggapi ucapan Adya dengan gumaman singkat, karena sebenarnya pikiran mereka lebih terfokus pada kegiatan yang sedang dilakukan. Tetapi, di detik berikutnya, Alfarezi dan Senja seketika menoleh secara bersamaan, menatap pada sang ibu, dengan kedua mata membulat sempurna.
“Bun?” panggil Alfarezi, namun lebih terdengar seperti pertanyaan.
“Are you okay, Mom?” Kini, giliran Senja yang mengajukan pertanyaan. Dia pikir, mungkin ibunya sedang tidak baik-baik saja, hingga mengoceh tidak jelas seperti ini.
“I’m fine. Darah tinggi Bunda juga lagi gak kumat, kok. Normal semua,” jawab Adya, merengut. Dia benar-benar merasa risi ditatap sebegitu intens oleh kedua anaknya.
“Bunda yakin, Bunda baik-baik aja?” tanya Alfarezi.
“Yakin, atuh, Abang!” jawab Adya lagi.
“Terus, maksud dari omongan Bunda barusan, apa? Abang bener-bener gagal paham.”
Adya yang juga kebingungan, hanya bisa mengembuskan napas panjang, lalu mencoba menjawab, “Bunda juga bingung, Bang, gimana cara ngejelasinnya. Sebenernya, sebelum Ayah meninggal, Ayah kalian juga sempet cerita soal perjanjian yang dia buat dengan salah seorang sahabatnya. Bunda pikir, itu hanya celotehan biasa aja. Tapi ternyata, saat bertemu Om Aji, beliau pun menceritakan, apa yang pernah Ayah kalian ceritakan sama Bunda. Bahkan, Om Aji masih menyimpan rekaman percakapan antara Ayah kalian dengan beliau, beserta surat perjanjian yang ditandatangani oleh keduanya, dan Bunda, pun, mau tidak mau harus percaya, jika yang diceritakan Mas Haris saat itu, adalah sebuah kebenaran.”
Mendengar jawaban yang diberikan sang ibu, stylus pen yang sedari tadi berada dalam genggaman Senja, tiba-tiba terjatuh, dengan mulut menganga. Entah harus senang, atau sedih. Gadis itu benar-benar bingung dengan situasinya saat ini.
Menikah … itu memang salah satu hal yang sempat Senja idam-idamkan. Apalagi, jika itu dilakukan dengan lelaki yang sangat dicintainya. Ia ingin merasakan pernikahan, sebelum Tuhan benar-benar memanggilnya. Tetapi, jika pernikahan itu dilakukan tanpa didasari rasa cinta, dan kasih sayang, kebahagiaan seperti apa yang akan ia dapatkan? Senja benar-benar dibuat cukup terkejut dengan kabar mendadak yang dibawa oleh ibunya. Hingga ia tidak dapat berpikir jernih untuk saat ini.
“Abang gak tahu lagi harus ngomong apa, Bun. Sumpah, Abang bingung,” gumam Alfarezi, dengan raut wajah kebingungan.
Di satu sisi, pria itu memikirkan, bagaimana nasib sang adik, yang harus hidup satu atap dengan lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Sedangkan di sisi lainnya, secara tidak langsung, almarhum sang ayah masih memiliki hutang yang cukup berat di dunia ini, karena janji yang pernah ia buat semasa hidupnya, bersama sang sahabat.
“Bunda juga bingung, harus jawab apa besok, ketika bertemu lagi dengan Mas Aji?” timpal Adya, pelan.
Melihat kebingungan keluarganya, Senja yang jauh lebih kebingungan hanya bisa mengembuskan napas berat, kemudian bertanya dengan nada suara lirih, “terus … Senja harus gimana sekarang, Bang? Bun?”
***