Hanya Senja-Lembar Ketujuh

1369 Kata
Selama pertemuan dua keluarga berlangsung, baik Sharga, maupun Senja … tak ada satupun yang berbicara. Bahkan, ketika ditanya pendapat oleh Adya, Sharga hanya menjawab dengan seadanya. Begitu juga dengan Senja. Gadis cantik yang masih terlihat pucat itu, hanya menanggapi pertanyaan Sangaji dengan seulas senyum saja. Hampir satu jam berbincang, hanya Alfarezi dan Adya yang menanggapi pembicaraan Sangaji. Mereka bahkan mulai terlihat asyik berbincang dengan santai, membahas kesehatan Senja, hingga bidang pekerjaan yang tengah digeluti Alfarezi. Sesekali, Sharga melirik pada Senja, memandang gadis itu dengan tatapan yang begitu tajam, hingga menumbuhkan rasa benci yang begitu besar terhadap gadis itu. Apalagi, saat sosok Arista terus membayangi dalam pikiran, dan semua kebahagiaan bersamanya. Seakan, tidak ada rasa ikhlas untuk melepas semua itu, demi gadis pilihan sang ayah. Menyadari tatapan tidak suka dari lelaki di hadapannya, Senja yang sempat beradu tatap, hanya bisa menghela napas dalam. Ingin rasanya berteriak di depan wajah lelaki menyebalkan dengan tatapan mengerikan itu, jika dirinya pun amat sangat tidak setuju dengan perjodohan ini. Tetapi, Senja berusaha menahan diri, untuk menjaga nama baik ibu, dan Alfarezi, di depan Sangaji. Terlebih, nama almarhum ayahnya. “Kemarin, saya juga sudah sempat berbicara empat mata dengan Suci—istri saya—perihal perjodohan ini. Dia bahkan ingin segera bertemu dengan calon menantunya, dan memaksa saya untuk mengadakan pertemuan dua keluarga secara resmi,” ujar Sangaji begitu antusias pada Adya. Mendengar seluruh pihak keluarga Sharga sudah sangat setuju dengan perjodohan ini, Adya yang semula bimbang, akhirnya bisa kembali tersenyum dengan lebar. Dia yakin, ini adalah pilihan terbaik yang sudah disiapkan oleh suaminya untuk masa depan Senja. “Alhamdulillah, saya sangat senang, dan saya sangat bersyukur, keluarga Pak Aji bisa menerima Senja.” Dengan tatapan yang begitu tulus, Adya beralih menatap pada Sharga, yang juga tengah menatap padanya, kemudian tersenyum. “Terutama, Nak Sharga.” Mau tidak mau, Sharga terpaksa membalas senyumannya, dengan mengulas senyum hangat, sembari menganggukkan kepalanya satu kali. Walau dalam hati, Sharga merutuki kebodohannya sendiri. ‘Lo bener-bener bodoh, Sharga! Lo bener-bener gak punya pendirian!’ *** Usai pertemuan dengan keluarga calon istrinya, Sharga yang masih memiliki waktu beristirahat hingga pukul satu siang nanti, memilih pergi menuju poliklinik salah satu rekannya yang berada di lantai dua, untuk menenangkan diri, sebelum jadwal konsultasi dengan beberapa pasiennya, tiba. Karena tahu, jika temannya sedang tidak memiliki jadwal konsultasi dengan pasien, tanpa mengetuk terlebih dahulu, Sharga mendorong handle pintu di hadapannya, lalu berjalan masuk, dan berbaring di atas brankar pemeriksaan, tanpa berbicara sepatah katapun. Darey Bumantara—seorang dokter umum di Rumah Sakit Jidala—yang tengah duduk di kursi meja kerjanya, menatap kebingungan pada Sharga, hingga ia kembali menutup data pasien yang tengah dibacanya, hanya untuk sekadar mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada lelaki itu. “Lu kenapa?” tanyanya, penasaran. “Gak apa-apa,” jawab Sharga, singkat. “Lu kekurangan duit?” “Enggak.” “Iya, sih, mana mungkin lu kekurangan duit. Gaji lu, kan, jauh lebih besar dari gue,” gumam Darey, lebih kepada dirinya sendiri. “Hmm.” “Terus, lu ada masalah sama Arista?” Sembari menaruh lengan kanan di atas kening, Sharga menggelengkan kepala. “Didiemin Arista, dan gak dikabarin sama dia?” tebaknya lagi. Sharga mengembuskan napas panjang, dan lagi-lagi ia menggelengkan kepala. “Terus, kenapa lu kaya lagi cosplay jadi mayat hidup?” Biasanya, mendengar pertanyaan absurd seperti itu, Sharga akan mendelik tajam pada temannya. Akan tetapi, untuk pertama kalinya, pria itu malah membalas dengan embusan napas panjang, sembari mengusap wajahnya, kasar. Se-frustasi itu Sharga saat ini. “Gue bener-bener stress, Rey. Gue bingung, apa yang harus gue lakuin sekarang?” Bukannya menjawab, Sharga malah mengeluh pada Darey, hingga membuat pria bersneli itu semakin penasaran. “Lu bingung kenapa, sih?” tanya Darey, mendesak. Sharga kembali terdiam. Dia sendiri benar-benar bingung, harus mulai dari mana menceritakan semuanya. Ini bukan hal yang patut untuk dibanggakan, karena di satu sisi, ia harus menyakiti perasaan seorang wanita yang sudah lima tahun mendampinginya, dalam keadaan susah, ataupun senang. Wanita yang selalu memaafkan segala kesalahannya. Wanita yang tidak pernah menuntut apapun, selain kabar, setiap kali Sharga berada di tengah kesibukan rumah sakit. Wanita baik-baik, yang amat sangat Sharga sayangi. Lagi-lagi, Satu desahan panjang kembali terlepas dari mulut Sharga, membuat Darey akhirnya berinisiatif untuk menghampiri pria itu. Ia bawa sebuah kursi kecil yang disediakan untuk pasien berkonsultasi, lalu mendudukinya tepat di samping brankar pemeriksaan, sembari menyilangkan kedua kakinya, dan bersidekap. “Gue tanya sekali lagi. Lu bingung kenapa? Ada masalah sama Arista?” tanya Darey penuh selidik. “Dalam waktu dekat ini, gue mau nikah,” ujar Sharga, sembari menaruh kembali lengan kanannya di atas kening. Mendengar pernyataan Sharga, mata Darey seketika membulat sempurna. “Ha? Serius? Kok, lu baru cerita, sih, soal ini?” Pria bersneli itu menarik lengan Sharga yang menutupi kening, lalu menatap wajahnya. “Jadi, orang tua lu akhirnya setujuin hubungan kalian?” Entah untuk kali ke berapa, Darey harus mendengar Sharga menghela napas berat. Dan itu, justru semakin menimbulkan kecurigaan. Pasalnya, Sharga baru saja memberitahukan kabar bahagia. Akan tetapi, raut wajah pria itu justru memperlihatkan hal yang sebaliknya, hingga membuat Darey sangsi pada pernyataan Sharga beberapa saat lalu. “Zhar?” panggil Darey, namun lebih terdengar seperti pertanyaan, ketika temannya kembali terdiam, dan malah memejamkan mata. “Gue masih nunggu jawaban dari lu!” “Pertanyaan terakhir yang lo ajuin, adalah harapan gue sejak lama. Dan sampai detik ini, masih tetap menjadi sebuah harapan.” Perlahan, Sharga bangkit dari posisi berbaringnya, lalu duduk di atas brankar, menundukkan kepala. “Harapan yang gak akan pernah terwujud. Karena hubungan gue dan Arista, terhalang sama restu dari Mama dan Papa.” Lirihnya. “Gue masih belum paham.” Darey menjeda perkataannya, sebelum akhirnya melanjutkan. “Lu bilang, dalam waktu dekat ini, lu mau nikah. Kalau restu menjadi penghalang hubungan lu sama Arista, terus, lu mau nikah sama siapa?” “Gue dijodohin sama anaknya temen Papa, Rey. Dan kami akan menikah dalam waktu dekat,” jelas Sharga, pelan. “Ha? Kok bisa? Terus, Arista gimana? Dia tahu soal ini?” tanya Darey, dengan nada sedikit tinggi. Sharga menggelengkan kepala. “Gue gak sanggup ceritain kenyataan ini. Gue gak bisa lepasin Arista, Rey! Gue sayang sama dia.” “Tapi, lu mau nikahin cewek lain, Aezhar! Lu gak bisa egois kaya gini. Pikirin perasaan cewek lu!” sanggah Darey. “Kalau lu mau pertahanin hubungan lu sama Arista, jelas … lu harus nolak perjodohan ini.” “Lo pikir, gue gak mati-matian nolak perjodohan ini? Gue bahkan menentang Papa, Rey! Gue mohon sama beliau, untuk menghentikan ide gilanya. Tapi yang gue dapet, malah ancaman.” “Ancaman?” Sharga mengangguk. “Ya, dan karir gue yang menjadi taruhannya. Lo tahu, kan, sekeras apa gue berjuang untuk sampai di titik ini? Gue mati-matian belajar, sampai gue lupa makan, dan kurang tidur, demi mewujudkan cita-cita gue selama ini. Setelah gue dapatkan semuanya, dan menjadi spesialis bedah toraks kardiovaskular, apa gue sanggup untuk melepas semuanya? Enggak, Rey. Perjuangan gue sangat berat untuk berada di titik sekarang. Maka dari itu, gue terpaksa menerima perjodohan ini, hanya untuk sekadar melindungi karir gue di dunia kedokteran,” jelas Sharga. Ya, semua yang dikatakan oleh Sharga, benar. Darey akui, perjuangan Sharga untuk menjadi dokter bedah toraks dan kardiovaskular, itu memang tidak mudah. Banyak hal yang dia lewati untuk mencapai gelarnya saat ini. Dan Darey, benar-benar menjadi saksi hidup perjuangan temannya itu. Hingga akhirnya, setelah dijelaskan seperti ini, Darey, pun, paham, alasan Sharga seberantakan ini. Pilihan yang diberikan oleh Sangaji memang terdengar begitu sederhana, namun sangat berat jika dilakukan. Melepas cinta … atau karir yang diimpikan. “Gue yakin, Tuhan punya rencana di balik semua hal yang terjadi saat ini. Dan gue juga yakin, jodoh yang sudah ditentukan oleh Tuhan, tidak akan pernah tertukar.” Darey menepuk pundak Sharga, berusaha memberikan semangat, agar pria itu lebih kuat menjalani semuanya. “Gue tahu, sesakit apa perasaan lu saat ini. Tapi gue harap, lu bisa mengambil keputusan terbaik, dari yang terbaik untuk masa depan lu.” Sharga menatap nanar pada pria bersneli di hadapannya itu. Sementara Darey sendiri, hanya bisa tersenyum, menguatkan. “Gue bakal rahasiain ini dari Arista, sampai lu sendiri yang mengatakan semuanya sama dia. Lu orang yang cerdas. Gue percaya, lu gak mungkin bertindak gegabah,” lanjutnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN