9. Bukti

1805 Kata
--- Menatap punggungmu di kejauhan, --- Laksana sebuah maghnet yang menarikku untuk memelukmu, --- Andai aku bisa, inginku mendekapmu seharian ini! *** Beberapa hari berlibur di Bali, membuat pikiran Ghibran menjadi refresh, selama disana dia merasa cukup gembira, tak hanya Lila yang berlibur karena dia pun begitu, dia menikmati berbagai hal yang mereka lakukan di pulau dewata yang sangat Indah tersebut. Tak ada rasa bosan atau jenuh karena banyak hal yang telah Lila rencanakan yang akan dikunjunginya, Lila memang membuat satu buku tentang traveller berdasarkan info dari google dan catatan liburan dari blog orang – orang yang karyanya dia baca, sehingga dia sedikit banyak, tahu tempat-tempat Indah yang dikunjungi oleh mereka. Hari ini Ghibran harus masuk kerja karena ada rapat dengan Vincent juga beberapa manajer lainnya mengenai perkembangan wahana permainan dan budaya yang ada di Jawa Tengah. Perusahaan Vincent memang mengembangkan sayap, membuat taman bermain raksasa, juga penginapan dan berbagai cagar budaya yang dijadikan dalam satu kawasan yang sangat luas di Jawa tengah. Vincentius Land, menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat di gandrungi saat ini. “Bagaimana liburannya?” tanya Vincent saat dirinya bertemu dengan Ghibran di depan ruang meeting lalu berjalan bersama memasuki ruangan besar tersebut. “Menyenangkan, Lila juga terlihat senang,” jawab Ghibran. Vincent menepuk punggung Ghibran dan tersenyum padanya. “Terima kasih,” “Untuk apa?” “Telah berusaha membahagiakan Lila,” “Itu kewajiban saya sebagai suaminya kan Pah,” Ghibran menoleh dan tersenyum pada ayah mertuanya itu. Vincent mengangguk senang kepada menantunya. Mereka sudah masuk dalam ruang rapat dimana telah banyak manajer yang hadir, semua berdiri menyambut Vincent dan Ghibran. Ghibran memandang ke sekeliling ruang rapat, hampir semua kursi penuh kecuali miliknya dan milik Vincent yang berada berdampingan, sekitar ruang rapat berdinding kaca, ruangan yang terletak di ketinggian itu menampilkan pemandangan langit yang Indah juga cerah. Namun senyum Ghibran luntur ketika melihat seorang wanita, dengan rambut dikuncir tinggi, memakai anting cukup besar, Blazer dan celana berwarna putih, dengan tanktop ketat berwarna abu – abu, tersenyum padanya. Bunga, tersenyum percaya diri di sebrang sana menatap Ghibran. Vincent mengajak Ghibran duduk, diikuti oleh seluruh peserta rapat. “Silakan, rapat ulang tahun Vincentius Land dibuka,” ucap Vincent pada moderator rapat. Lelaki berkacamata itu mulai membacakan agenda rapat yang salah satunya akan dibacakan oleh Bunga selaku salah satu manajer di Vincentius Land. Moderator tersebut memperkenalkan Bunga sebagai manajer baru yang terpilih karena presentasinya saat mengajukan berbagai saran dan ide cemerlang yang cukup membuat Vincentius Land semakin dikenal masyarakat, apalagi dia yang memang dancer tarian tradisional mempunyai wawasan sangat luas tentang budaya Indonesia. Ghibran sangat mengetahui itu, Bunga memang selalu tertarik dengan keberagaman budaya Indonesia sejak dulu, hal yang membuat semakin memotivasi untuk mempelajari berbagai tarian tradisional sejak dulu. Bunga berdiri dan menggantikan tempat moderator, Ghibran bisa melihat sudut mata Bunga yang masih sedikit membiru, meskipun telah di poles make up. Wanita itu tersenyum ceria, memperkenalkan dirinya dan memulai presentasi mengenai rancangan acara yang akan digelar untuk menyambut ulang tahun Vincentius Land yang ke – tiga tahun itu. Setelah selesai memaparkan presentasinya, Vincent pun tampak menyetujui ide itu, lalu menoleh berbisik pada Ghibran. “Lila belum tertidur panjang kan?” tanyanya. Ghibran menggeleng. “Kamu bisa pegang proyek ini?” tanyanya pelan, Ghibran membeku dan terdiam, Vincent tersenyum miring, “Buktikan pada saya kalau kamu telah melupakan wanita itu,” ucap Vincent, Ghibran tidak terkejut sama sekali, karena dengan kekuasaan Vincent tentu dia bisa tahu masa lalu Ghibran. Ghibran tak mau mertuanya meragukannya karena itu dia mengangguk. “Ya saya bisa,” Vincent tersenyum dan menepuk bahu Ghibran. “Bagus, saya suka lelaki yang optimis,” ucapnya. Lalu Vincent mulai berbicara dengan Microphone yang berada di hadapannya, bahwa proyek ini akan ditangani oleh Ghibran. Karenanya setelah rapat usai, Ghibran masih berada bersama Bunga, Ghibran sengaja mengambil tempat duduk cukup jauh dari Bunga. Sementara peserta rapat yang lain telah meninggalkan mereka termasuk Vincent yang ada urusan lainnya. Bunga memaparkan beberapa hal dan rancangan acara secara mendetail pada Ghibran, dia terlihat sangat professional ketika membahas itu. Dan setelah selesai membahas hal yang penting, Bunga menutup laptopnya dan tersenyum riang pada Ghibran yang dibalas dengan tatapan tajam dari pria itu. “Bukankah seharusnya gaji kamu cukup besar sebagai manajer?” tanya Ghibran dengan nada menyindir. Bunga tersenyum, tahu kemana arah pembicaraan Ghibran bermuara. “Aku memang sedang mengumpulkan uang menebus diriku sendiri, namun jauh dari cukup, bahkan untuk hutang pokoknya saja belum cukup.” “Pastikan berapa biaya semuanya, aku akan berusaha membantu kamu keluar dari lintah darat itu.” “Kamu masih sayang aku?” tanya Bunga, Ghibran tak menjawab, menyenderkan tubuh pada sandaran kursi dan mengancingi jasnya, lalu berdiri. “Tulis apa saja yang perlu kita persiapkan seccara lebih mendetail, lalu kirim melalui sekretaris aku,” ucap Ghibran tanpa menjawab pertanyaan Bunga, berdiri dan berniat meninggalkan Bunga. “Ya, kamu masih sayang sama aku, aku pun begitu,” putus Bunga. “Aku tidak mempunyai hak untuk menyayangi wanita lain selain istriku, aku harap kamu professional, atau aku akan keluar dari proyek ini!” tegas Ghibran, meninggalkan Bunga seorang diri. Bunga memegang dadanya, rasanya cukup menyakitkan, padahal dia sudah menguatkan diri sejak semalam tadi, bahwa jika dia bertemu Ghibran dia tak akan membahas masa lalu, namun dia tak kuat. Dia sangat ingin memeluk lelaki itu lagi, dan mengungkapkan penyesalannya yang mendalam karena telah meninggalkan lelaki itu dan menuruti keinginan orang tuanya. Jika waktu bisa di putar, mungkin dia akan memilih meninggalkan orang tuanya dan hidup bersama Ghibran meski dengan segala kekurangan, jika saja dia tahu bahwa orang tua nya mengorbankan anaknya untuk menutupi hutangnya, tak akan dia sudi menuruti keinginan mereka. Bunga hanya bisa terdiam, memejamkan mata agar tidak menangis, lalu mulai mencatat beberapa hal yang perlu dilakukan dengan Ghibran yang menyangkut pekerjaannya nanti. *** Ghibran pulang ke rumah saat sore menjelang, mencari Lila yang ternyata ada di dapur bersama uncle Ko, Ghibran memeluk Lila dari belakang, Lila sedang mengaduk sesuatu dengan spatula di atas wajan. “Lho kok sudah pulang?” tanya Lila, menoleh dan melihat Ghibran yang sudah melingkarkan tangan di perutnya. “Kangen kamu,” ucap Ghibran, Lila tersipu lagi dibuatnya. “Jangan peluk dulu, aku bau bawang belum mandi,” usir Lila halus, menggerakkan badannya agar Ghibran menjauh namun Ghibran justu mengecupi leher Lila dan bahunya berkali-kali hingga Lila tertawa kegelian. “Mana nggak ada yang bau,” ujarnya. Uncle Ko hanya tertawa melihat kemesraan sepasang pengantin baru itu. Sementara pelayan lain saling tersipu malu sambil berbisik iri kepada majikannya yang terlihat harmonis. “Masa sih nggak bau, pasti kamu bohong,” cebik Lila, Ghibran tak jua mau melepaskan pelukannya di perut Lila. “Masak apa hari ini?” tanyanya tepat di telinga Lila hingga hembusan nafasnya terasa di kulit Lila. “Belajar bikin udang saus tiram, kali ini pasti berhasil,” ujar Lila optimis. “Oke, aku menunggu, mandi dulu ya,” Ghibran mengecup pipi Lila dan melepas pelukannya. Lila mengangguk dan membiarkan Ghibran meninggalkannya untuk mandi. Uncle Ko terus saja meledek Lila yang sudah tersipu malu. Uncle Ko selama ini tak pernah melihat Lila sebahagia itu, dan dia cukup senang, kehadiran Ghibran membuat Lila bahagia, sebagai pelayan terlama di rumah itu, Uncle Ko berharap Ghibran selamanya berada di sisi Lila dan membuat majikannya terus tersenyum bahagia seperti ini setiap saat. *** “Gimana?” tanya Lila saat Ghibran menyuap udang saus tiram buatannya, rasanya pasti enak, belajar dari yang lalu, kali ini dia mencoba terlebih dahulu masakannya, dan rasanya cukup enak di lidah. “Enak, enak banget, nih aku suapin,” Ghibran menyodorkan sendok berisi nasi dan potongan udang  ke mulut Lila. Lila membuka mulutnya dan menerima suapan itu. “Lumayan, seenggaknya nggak asin kayak kemarin,” ucap Lila sambil mengunyah makanan yang disuapi Ghibran. “Aku yakin, kalau kamu terus belajar, lama-lama kamu akan ngalahin Uncle Ko,” tutur Ghibran, “Mana mungkin, dia kan sudah puluhan tahun jadi Koki,” ucap Lila yang ingin mengambil piring dan menyendok nasi untuknya sendiri namun Ghibran mencegahnya. “Kamu sudah capek masak, biar kali ini aku suapin,” Ghibran meminta Lila membuka mulutnya, Lila menerima suapan itu, bergantian dengan Ghibran yang menyuap untuk dirinya sendiri. Dan setelah makanan itu habis, mereka pun kembali ke kamar, meninggalkan para pelayan yang membereskan meja makan besar itu. Lila memutuskan untuk mandi, sementara Ghibran membuka laptopnya, ada beberapa pekerjaan yang tadi belum rampung, namun dia memang ingin cepat meninggalkan kantor, dia tak mau bertemu Bunga lagi saat ini. Karena hatinya masih terlalu bimbang, dan dia tak mau berlama-lama bersama Bunga, dia takut akan jatuh lagi pada pelukan wanita itu, Ghibran tak sekuat kelihatannya, tak sekuat ucapan ketusnya pada Bunga, karena itu demi ketenangan hatinya, dia memilih pergi dan menghindari wanita itu. *** Lila sudah selesai mandi, dan kini memakai gaun tidurnya yang berbahan satin, berwarna putih gading. Naik ke ranjang dan duduk di samping Ghibran yang masih fokus pada laptop di hadapannya, Ghibran mematikan laptop itu dan meletakkan di atas meja tak jauh dari ranjang, lalu kembali ke ranjang, berbaring di paha Lila, Lila mengusap rambut Ghibran dengan penuh kasih sayang. “Bagaimana tadi rapatnya?” “Yah begitulah, aku dipercaya jadi penanggung jawab acara ulang tahun Vincentius Land,” “Oiya?” “Ya, kemungkinan aku akan ke Jawa Tengah selama beberapa hari, membentuk tim dan memberi arahan pada panitia lainnya,” “Perginya kapan?” “Lusa,” ucap Ghibran, Lila bisa melihat wajah Ghibran yang tampak tertekan namun dia tak tahu karena apa? “Kalau berat, aku minta papa ganti penanggung jawabnya,” ujar Lila, Ghibran mendongak dan mengusap pipi Lila. “Aku bukannya berat tanggung jawab acara itu, aku berat karena akan ninggalin kamu sendirian,” tutur Ghibran, Lila memegang tangan Ghibran di pipinya dan mengecup telapak tangan Ghibran. “Kan cuma beberapa hari aja, lagipula aku nggak akan kemana-mana, dan Eros bisa stand by jika hanya beberapa hari,” ucap Lila menenangkan Ghibran. Ghibran tersenyum terpaksa membuat Lila terkekeh karena wajahnya yang tampak lucu. Lila mengambil cream di atas nakas, lalu membuka tutupnya, mengoleskan di telapak tangan Ghibran. “Ini apa?” tanya Ghibran, Lila masih mengoles cream itu dan memijitnya. “Ini biar tangan kamu lebih lembut,” ucap Lila mengusap jemari Ghibran yang penuh parut. “Mulai sekarang, setiap malam aku pakaikan cream ya, kamu juga harus merawat diri, aku yang akan rawat kamu,” ucap Lila tulus. “Aku takut,” “Takut apa?” tanya Lila. “Takut tambah ganteng, nanti kamu jadi banyak saingan, masih mending kalau saingannya cewek, kalau cowok gimana?” kekeh Ghibran, Lila tertawa keras sampai menutup mulutnya. “Apa sih? Liat aja nanti aku singkirin semua saingan aku,” “Gimana caranya?” “Aku suruh Eros lawan mereka,” “Huu dasar,” Ghibran mencemoh, Lila menjulurkan lidah meledeknya, lalu meniupi tangan Ghibran agar creamnya cepat kering. Lila memindahkan kepala Ghibran ke bantal, dia berjalan menuju meja rias, dimana terletak banyak sekali alat make up nya, mengambil satu botol toner dan juga kapas. “Pejamkan mata kamu,” suruh Lila, Ghibran menurut dan Lila mengusap wajah Ghibran dengan kapas yang telah di basahi toner tersebut. Rasanya dingin namun menyegarkan. Dia cukup senang Lila sangat memperhatikannya seperti ini. “Kamu nggak takut?” tanya Ghibran. “Takut apa?” “Saingan sama aku? Barangkali nanti aku jadi lebih cantik dari kamu,” “Iban astaga, apaan sih ih,” Lila tertawa. Ghibran membuka matanya dan melihat wajah Lila yang bersemu saat tertawa. Rona wajah bahagia membuat pucatnya wajah Lila tertutupi. “Aku senang lihat kamu tertawa,” ucap Ghibran. “Kenapa?” “Ya aliran darahnya jadi lancar nggak kelihatan pucat lagi,” Lila memegang pipinya yang memanas, ya tertawa memang membuat aliran darahnya lancar, sehingga wajahnya tak seputih kapas lagi dan dia senang, berada di samping Ghibran selalu membuat harinya menjadi ceria. ***  bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN