10. Vincentius Land

1572 Kata
--- Andai kamu ada disini, --- Aku akan tenang,  --- Meskipun hanya dengan mendengar deru nafasmu saja. *** “Minum ini!!” ucap pria tua dengan suara beratnya, Lila kecil tak bisa melihat wajahnya karena silau. “Nggak mau!!” Lila kecil meronta dan melepaskan pegangan dari orang itu, berlari kencang dan terus bersembunyi, nafasnya terengah, dia tak tahu harus bersembunyi kemana lagi? Dia menemukan taman bermain, dimana ada perosotan yang berbentuk seperti lorong, siang ini sangat sepi tak dijumpai satu orang pun di sekitarnya, dia pun berlari masuk ke lorong itu, memegangi jantungnya yang berdegup kencang. Lila berharap dia dapat tidur, agar lepas dari ketakutannya. Karena saat tidur, dia akan sering menjumpai ibunya yang telah meninggal, yang hanya dapat di kenalnya dari foto saja. Doa Lila kecil terkabul, dia pulas tertidur sambil duduk, di dalam lorong mainan itu. “Hhhhhhh! Mimpi itu datang lagi,” Lila membuka mata, peluh membanjiri keningnya, dia memang sering memimpikan hal itu, dimana dia masih berusia lima tahun, namun dia tak tahu apa dia pernah mengalaminya hingga terbawa mimpi, atau memang itu hanya mimpi liarnya saja. Hal yang pertama Lila cek ketika bangun tidur adalah lengannya, jika telah terinfus berarti dia tidur panjang, jika tidak, berarti dia tidur biasa saja. Lila lega karena di tangannya tak ada jarum infus. Mentari telah bersinar tinggi, mungkin sudah jam sembilan saat ini. Lila menoleh ke arah ponsel di atas nakas, di samping ponselnya di ketemukan sticky note dan juga baki sarapan. Lila mengambil kertas kotak kecil berwarna kuning itu dan membaca tulisannya dari Ghibran. “Pagi Lila sayang, saat kamu membaca pesan ini, itu berarti aku sudah terbang ke Vincentius Land, aku sudah buat sarapan, nasi goreng plus telur dadar special untuk kamu, mungkin rasanya tak seenak masakan uncle Ko, tapi pasti bisa dimakan hehe, susunya jangan lupa diminum ya, aku mau cepat selesaikan proyek ini, biar segera peluk kamu lagi sebelum tidur, love you,” Lila terkekeh, tulisan ini begitu rapi dan panjang, sampai menghabiskan satu kertas. Lila mengambil nasi goreng juga s**u putih di gelas yang disediakan Ghibran, sudah cukup dingin, mungkin memang dia terlalu lama tertidur dan Ghibran sudah pergi dari pagi sekali. Lila berjalan ke meja di sudut kamarnya, meja yang biasa dia gunakan saat menulis cerita, lalu mulai menyuap nasi goreng buatan Ghibran, cukup enak di lidahnya, dia pun menghabiskan nasi goreng itu lalu susunya, setelahnya dia sangat kekenyangan, berjalan ke ranjang dan mengambil ponselnya, mengetik pesan untuk suami yang sangat dicintainya. *** Ghibran sampai pada siang hari, berdiri di gerbang Vincentius Land, gerbang yang sangat besar, nampak bangunan seperti istana yang paling mencolok disana, yang ternyata merupakan sebuah bangunan besar yang diperuntukkan sebagai aula pertemuan atau bisa dipakai sebagai tempat resepsi pernikahan. Vincentius Land memang sangat besar luasnya, selain wahana permainan dari permainan untuk anak balita sampai dewasa, dari yang level biasa sampai ekstrem ada disana, dirawat dengan sangat baik oleh tenaga ahli dan wahanan permainan yang di datangkan dari luar negeri. Ada pula cagar budaya dimana terdapat banyak bangunan – bangunan yang berada di beberapa sisi disebut anjungan, ada contoh rumah dari setiap suku, layaknya museum dengan televisi yang mempertontonkan tradisi dan budaya dari setiap suku di Indonesia tersebut. Tak perlu takut lelah menjelajah seluruh Vincentius Land, karena disini, ada mobil-mobil dan juga kereta mini yang akan mengangkut kemanapun pengunjung mau. Yang tak kalah keren dari Vincentius Land adalah, adanya kebun binatang  mini yang disulap mirip dengan taman Safari, hanya saja pengunjungnya berkeliling dengan menaiki kereta khusus, melewati tempat-tempat dimana terdapat aneka satwa, sedangkan untuk satwa liar, kandangnya terlindungi dari kaca tebal. Ghibran disambut Bunga di depan gerbang, Bunga memperkenalkan beberapa orang yang menjadi manajer bagian di tempat itu. Sementara Ghibran datang berdua dengan Panca, sekretaris merangkap asistennya. Panca merupakan salah satu orang kepercayaan Vincent, usianya baru menginjak tiga puluh tahun ini, karenanya Panca di percaya memegang jabatan sekretaris sekaligus asisten untuk Ghibran yang memang baru terjun ke dunia bisnis seperti ini, dari yang sebelumnya hanya staff biasa. Pria berkacamata itu memang terlihat kaku, namun untuk urusan kerjaan dia sangat cakap, manajemen waktu dan sebagainya sangat handal. Bunga mempersilakan Ghibran naik ke mobil golf berwarna cokelat di hadapannya, saat Panca ingin duduk di belakang, Ghibran segera melarangnya, meminta Panca duduk di bagian belakang bersama Bunga, sementara Ghibran duduk di samping supir mobil tersebut. Bunga hanya tersenyum canggung pada Panca yang menatapnya bingung. Bunga mulai menjelaskan pada Ghibran saat mobil itu melaju melewati berbagai wahana, hari ini karena termasuk hari kerja, maka tak terlalu banyak pengunjung yang hadir, beda jika saat weekend atau saat hari libur besar tiba, pengunjung dijamin akan berdesakkan di dalam sana. “Pada acara ulang tahun, kami merencanakan buka sampai pukul sepuluh malam Pak Ghibran,” ucap Bunga, memajukan sedikit tubuhnya, agar Ghibran yang berada di depannya mendengar suaranya. “Lalu?” Ghibran memandang ke sekeliling, sedikit memikirkan apakah Lila sudah banyak mencoba wahana-wahana disini? Selanjutnya dia akan kesini bersama Lila, pikir Ghibran. “Ya, hari itu seperti yang telah disetujui pak Vincent, kalau kami akan melakukan diskon, dan bekerja sama dengan banyak sponsor dan marketplace online, harga tiket yang di potong lima puluh persen pasti membuat banyak sekali pengunjung yang datang,” Mobil telah memasuki pelataran dari rumah-rumah adat yang berasal dari berbagai suku, yang mana di depan rumah itu ada berbagai patung mengenakan baju adat sebagai ciri khasnya. “Satu jam sekali akan ada pertunjukan tari di setiap rumah itu, tarian adat dari berbagai daerah,” “Apakah cukup satu jam sekali? Bukankah banyak sekali suku di Indonesia? Ubah jadi tiga puluh menit sekali, undang banyak penari juga,” tutur Ghibran, bunga mencacat di tabnya ucapan Ghibran sebagai notes. “Selain tarian, kami juga akan menyediakan makanan adat dari berbagai daerah, di rumah – rumah tersebut agar banyak yang lebih mengenal ciri khas dari berbagai suku di Indonesia.” Ghibran mengangguk mengiyakan ide itu. “Cari yang benar-benar profesional untuk membuat makanan itu, karena kemungkinan besar jika kita mengiklankan besar-besaran akan ada banyak pengunjung dari berbagai daerah juga, mereka pasti tahu jika makanan itu tidak sama dengan yang biasa mereka makan,” “Siap pak,” Bunga masih mencatat notes yang diucapkan Ghibran ketika mobil berhenti didepan sebuah gerbang bertuliskan ZOO Land, Ghibran dan Bunga turun dari mobil itu berjalan ke arah pintu masuk, para staff mengangguk sopan pada Ghibran, mereka telah diberitahu bahwa Ghibran adalah menantu Vincent yang merupakan pemilik tunggal Vincentius Land. Sama seperti di mobil, Ghibran pun duduk di depan bersama pengemudi kereta, kereta ini tidak berjalan otomatis, karena terkadang pengunjung menginginkan berhenti lebih lama di depan kandang satu hewan Favoritnya. Bunga meminta pengemudi kereta berhenti di depan kandang macan putih, macan itu tampak gemuk dan sehat, juga kulitnya yang bersih sekali. “Itu macan putih milik Bu Lila, hadiah ulang tahun dari teman pak Vincent lima tahun lalu, saat itu masih kecil sekali, hewan kesayangan Bu Lila, bahkan Bu Lila paling sering mengunjunginya, karena kesukaan Bu Lila pada hewan dan aneka wahana permainan, membuat Pak Vincent membuka tempat ini, sejak dibuka, Macan putih yang diberi nama Tiger itu ditaruh disini bersama hewan lainnya, kabarnya sejak dimiliki Bu Lila, Macan itu sebelumnya ikut tinggal di rumah milik Pak Vincent,” jelas Bunga, Vincent mengambil ponselnya dan memotretnya, lalu mengirim foto itu ke Lila dengan caption, “Say Hello untuk kucing kecil kamu,” tulis Ghibran, memasukkan ponsel itu ke saku jas nya lagi dan meminta melanjutkan perjalanan. Bunga berada di belakang Ghibran, tentu dia dapat melihat pesan cinta yang Ghibran kirim kepada istrinya, apalagi nama Lila jelas ditulis, Lila istriku sayang, hati Bunga terasa tercubit. Tak seharusnya dia melirik apa yang dikerjakan Ghibran. “Semua ini akan di dekorasi dengan berbagai balon dan juga pita-pita, dan di depan nanti akan ada pertunjukan dari para hewan yang sudah terlatih,” ucap Bunga menghakhiri sesi jalan mereka di dalam kebun binatang mini tersebut. “Acara puncak dimana?” tanya Ghibran, “Disini, setelah pertunjukkan hewan,” ucap Bunga.  Ghibran nampak berpikir keras. “Sebaiknya di aula istana di depan, disini terlalu dekat dengan kandang hewan, kamu tahu kan pendengaran mereka tajam? Saya tidak mau mereka stres mendengar suara dari kembang api dan petasan yang akan di nyalakan di malam puncak,” “Baik Pak,” Bunga merubah notes itu lagi, dan kini mereka berjalan ke kantor Vincentius Land, sebuah gedung empat lantai tempat para karyawan bekerja, ruang meeting telah siap, dan banyak penanggung jawab dari berbagai tempat di Vincentius Land telah hadir disana. Hari sudah semakin sore, saat Ghibran memasuki ruang meeting tersebut. Setelah diperkenalkan Bunga di hadapan para penanggung jawab, Ghibran pun mengambil microphone di hadapannya. “Selamat sore semuanya, karena hari sudah semakin sore dan sebentar lagi jam pulang kantor, karenanya saya akan mempersingkat meeting hari ini dan melanjutkan esok pagi,” ucap Ghibran berwibawa. Para penanggung jawab itu mengangguk dan mendengarkan penuturan Ghibran dengan khidmat. “Bu Bunga telah membagi menjadi beberapa acara dan kegiatan, karena itu saya akan membaginya lagi menjadi berbagai kelompok untuk menangani berbagai kegiatan itu, dan berikut nama-nama yang saya himpun untuk bertanggung jawab pada bagian masing-masing, silakan kalian bentuk tim, ajak anak buah kalian untuk bekerja sama demi suksesnya acara ulang tahun ini, kabari saya nama-nama dari tim kalian pada esok hari, sekarang silakan kalian pulang dan beristirahat, karena mulai besok kita akan banyak bekerja keras. Selamat Sore,” ucap Ghibran berdiri dan meninggalkan ruangan bersama Panca. Bunga tersenyum pada para penanggung jawab yang mulai berdengung seperti lebah, menggumamkan nama-nama yang akan mereka cantumkan di dalam kelompok mereka. Bunga berjalan keluar dan melihat Ghibran yang akan naik mobil golf lagi menuju penginapan yang biasa di sebut cottage di dalam Vincentius Land tersebut. “Ini kunci cottage khusus milik Bu Lila,” Bunga menyerahkan kunci itu pada Ghibran dan Ghibran menerimanya, lalu meminta supir itu menjalankan mobil, dia cukup lelah setelah berkeliling seharian ini. ***    bersambung        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN