“Lupakan apa yang tadi saya katakan, Pak. Maaf, saya mengantuk. Jadi perkataan saya melantur.” Amaya tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur setelah puas menangis. Lebih tepatnya, menangisi masa lalu yang masih menyisakan luka menganga hingga detik ini. Semenjak dipertemukan kembali dengan Respati, luka-luka itu kian menyiksa Amaya. Kerap membuat pertahanan diri Amaya runtuh. Padahal semua sudah berlalu dan tidak ada yang bisa Amaya kembalikan. Kesucian dirinya? Bayi tak bersalah yang turut menjadi korban? Hingga kematian bapaknya? Itu semua diluar kendali Amaya sebagai manusia biasa. Amaya hanya bisa menerima takdir Yang Maha Kuasa dan terus percaya bahwa setelah badai akan ada langit cerah seperti sedia kala. Kepala Amaya pusing, tapi Amaya harus bangun dan memeriksa situasi